Apa yang menyisakan dari sebuah perpisahan? Rasa sakit kah? Penderitaan? Tangisan? Rindu yang merasuk ke seluruh tubuh? Atau merasa dekat dengan kematian? Pertanyaan itu yang bergelayut di pikiranku ketika menyaksikan ibu ditinggal pergi selama-lamanya oleh ayah pada tanggal 10 Desember kemarin.
Tanggal 1 Desember 2017, hari itu Ayah meneleponku dan melalui video call Ayah memberitahu bahwa ia pusing dan ingin segera berobat ke dokter. Tetapi karena kasihan dan tidak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah, ayah mengurungkan niatnya. "Ayah tidak sanggup meninggalkan ibumu,” kata ayah. Tetapi dengan bantuan saudaraku yang lain, ayah segera diantarkan ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, ayah dinyatakan dokter harus segera dirawat. Setelah mengurus semua administrasi untuk rawat inapnya, saudaraku yang lain segera memberitahu ibu di rumah. Kami anak-anaknya melihat ibu terdiam dan raut wajah sedih terlihat dari ekspresi wajahnya.
”Ibu tidak tahu bagaimana nasib Ibu kalau ditinggal Ayah. Setiap hari kami selalu bersama dan sekarang kami harus terpisah! Hampir 60 tahun usia perkawinan kami, baru saat ini Ayahmu meninggalkan Ibu, esok tidak ada lagi minuman kopi buatan Ayahmu,” kata Ibu. Aku berusaha menenangkan ibu dan meyakinkan bahwa ayah akan segera sembuh dan segera berkumpul kembali bersama ibu. Perkataanku direspon ibu dengan duduk termenung sambil menangis, ”Antar Ibu ke rumah sakit!"
Sore itu ibu dan saudaraku membesuk ayah di rumah sakit. Ayah tampak bahagia sekali bertemu ibu dan mereka saling menggenggam tangan. Sekali-kali ibu menatap ayah sedih dan menanyakan kondisi ayah dan berharap ayah segera sembuh dan segera pulang. Ayahp un balik bertanya kepada ibu,”Bagaimana kondisimu? Bagaimana kopimu? Siapa yang membuatkan kopimu tadi sore?"
“Nggak usah dipikirin, Ayah. Yang penting Ayah segera sembuh dan cepat pulang. Ibu kehilangan Ayah," kata Ibuku. Ayah sangat mmperhatikan kesehatan ibu, karena selama ini ibu memang ringkih dan sering mengeluh sakit.
Sudah hampir 10 tahun ini ayah melayani ibu dan selalu mendampingi ibu. Aktivitasnya setiap pagi adalah membuatkan ibu bubur, membuatkan minuman kesukaan ibu, kopi dengan gula setengah sendok teh, mengingatkan ibu minum obat dan pola tidur siangnya, dan hal itu rutin dilakukan Ayah sejak 10 tahun yang lalu. Ayah tidak ingin kami anak-anaknya membantu. Karena kata Ayah, rasa cinta dan sayangnya membiarkan ayah rela melayani ibu di masa tua karena ibu adalah teman hidupnya. Ayah pun tidak akan mau diajak ke luar kota walaupun hanya sehari. Alasannya adalah, ”Ayah tidak sanggup meninggalkan Ibumu. Karena Ibumu sangat membutuhkan Ayah. Jangan biarkan Ibumu sendiri, biar Ayah yang merawat Ibumu sampai Ayah sudah tidak mampu lagi merawatnya,” begitulah janji ayah kepada ibu.
Selama dirawat di rumah sakit kondisi ayah naik turun. Terkadang ayah memberikan respon yang bagus dengan bercanda bahwa dia senang dirawat di rumah sakit karena perawatnya ramah dan dokternya pun baik, serta banyaknya makanan enak yang diberikan pada saat saudara, sanak family membesuk. Terkadang Ayah terdiam seperti memikirkan sesuatu, hingga hari ke-8 ia dirawat ayah memanggilku untuk mendekat pada saat aku membesuk Ayah. “Hari ini kamu nginap di rumah sakit?" tanya Ayah. “Iya Nanda putuskan menginap, kenapa? Ayah butuh sesuatu?" tanyaku.
“Ayah sebenarnya ingin pergi, tetapi Ayah masih berat dengan Ibumu, siapa yang membuatkan sarapan Ibumu? Minuman kesukaannya?Siapa yang merawat Ibumu kelak? Ayah sangat mencintai Ibumu, kelak tolong hibur Ibumu ya. Jangan bentak Ibumu kalau ia cerewet, satu hal harus kamu ingat bahwa mengurus Ibumu itu dengan cara diam, tutup telinga dan mulut ketika ia cerewet dan mengomel. Doakan Ayah, Nanda. Kalian harus tetap baik-baik tanpa Ayah dan jangan bertengkar ya, harus berbaik hati sesama saudara,” aku hanya tersenyum dan mengiyakan ucapan Ayah, karena aku pikir orang yang sedang sakit terkadang tidak tahu apa yang ia ucapkan dan aku pun berusaha menghibur ayah bahwa ibu akan baik-baik saja di rumah karena anak-anak ayah pasti sangat menyayangi ibu dan akan merawat ibu dengan baik. Tidak kusangka ternyata ucapan ayah hari itu menjadi ucapannya terakhir untukku.
Tanggal 10 Desember 2017
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, hari Minggu pagi ayah merasa baikan dan ingin segera pulang dari rumah sakit. Saudara kandungku Faria segera mengurus kepulangan ayah dan pagi itu ayah kelihatan sangat bergembira dan semangat untuk bertemu dengan ibu. Tiba di rumah ayah minta dibuatkan minuman, susu kesukaannya yaitu susu milo, sambil makan ia berkata, "Makanan ini adalah makanan kesukaan Ayah.”
Setelah makan ia ingin dimandikan oleh kakakku, Faria, “Ayah mau mandi, tidak mau diwashlap, ”pintanya kepada kakakku, dengan sabar kakakku memandikan ayah dan menggantikan pakaian ayah. Hari itu ayah nampak bahagia sekali, beliau duduk dan menatap seisi rumah dan sempat tertidur.
Pukul 15.50 ayah terbangun dan memanggil kakakku Faria, "Tolong panggilkan ibumu.”
Ibu segera menghampiri dan memegang tangan ayah, "Kenapa, Ayah?" air mata menetes dari kedua mata ibu.
Sayup-sayup kami anak-anaknya mendengar suara ayah lirih berkata kepada ibu, "Hampir 60 tahun kita menikah dan tidak sedikit pun Ibu membentak Ayah, masih ingat tidak di masa-masa susah kita, ketika kita baru menikah belum punya rumah dan kita masih mengontrak, Ibu ikut membantu Ayah mencari nafkah dengan menerima upah jahitan baju?"
Aku mendengar isak tangis Ibu yang hanya mampu mengatakan,”Iya saya masih ingat.”
“Hari ini Ayah berhenti mendoakan Ibu dan anak-anak, karena Ayah sebentar lagi mau pergi. Waktu Ayah sudah dekat, pegang tangan Ayah, bantu Ayah untuk ikhlaskan semuanya."
Dan Ibuku berkata, "Ayah, kalau Ayah pergi gimana nasib Ibu? Saya tidak tahu nasib saya kelak gimana."
Ibu melepaskan genggaman ayah dan menangis, tetapi ayah menarik tangan ibu dan berkata, "Bantu Ayah untuk pergi, ikhlaskan. Doakan saya terus, karena Ayah sekarang sudah tidak bisa mendoakan kalian."
Isak tangis pun pecah di ruangan kamarnya. Aku tidak sanggup melihat pemandangan ketika ibu dan ayah saling berpegangan tangan. Tangan ibu masih menggenggam ayah dan ketika ibu berkata, ”Ayah, kalau memang takdir memisahkan kita, saya ikhlaskan Ayah pergi. Pergilah duluan. Kelak kalau ditakdirkan, saya akan menyusul Ayah.” Dan seketika Ayah menghembuskan napasnya dengan tenang diiringi tangisan kami anak-anaknya, ayah meninggalkan kami semua dalam genggaman tangan ibu yang penuh cinta. Innalillahiwainnaillahi rojiun.
Setelah kehilangan ayah baru kusadari bahwa cinta ibu ke ayah dan cinta ayah ke ibu menguatkan mereka untuk ikhlas menerima perpisahan. Ibu hanya mampu berdoa dan mengenang semua pengalaman dan kenangan bersama ayah selama mereka hidup bersama. Cinta sejati ayah kepada ibu bukan cinta biasa karena mampu menerima kekurangan masing-masing, saling melengkapi, melayani dan menghormati.
Sejak kepergian ayah untuk selamanya, kuperhatikan hidup ibu berubah menjadi kosong. Hanya kenangan tentang kebaikan ayah, cinta ayah dan tanggung jawabnya kepada keluarga, doa yang tiada henti dilantunkan ibu setiap mengenang ayah yang mampu ibu ingat serta membuat ibu menjadi tegar.
Semoga Ayah damai di surga. Cinta ayah dan ibu mengajarkan kami anak-anaknya memahami akan arti sebuah kehilangan atas orang yang dicintai dan ikhlas adalah bentuk kekuatan untuk sebuah kehilangan.
Jakarta, 24 Februari 2018
- Suami Istri Ini Kaget dengan Dua Foto yang Diambil 11 Tahun Sebelum Menikah
- Meski Dikhianati, Wanita yang Telanjur Mencintai Takkan Bisa Membenci
- So Sweet! 13 Tahun Lalu Nikah Bohongan, Sekarang Nikah Beneran
- Berbagi Kebahagiaan, Pengantin Baru Fasilitasi 20 Orang Menikah Gratis
- Doa Orang yang Sedang Patah Hati Didengar Tuhan