Menjadi Ibu Tunggal dan Guru Honorer, Hidupku Sulit Tapi Aku Terus Berjuang

Fimela diperbarui 13 Mar 2018, 13:45 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Perkenalkan saya adalah seorang guru SMA di kampung saya. Selain mengajar anak SMA, saya juga mengajar anak-anak di PAUD. Saya hanyalah seorang guru honorer dan sampai saat ini saya juga masih berstatus sebagai seorang mahasiswa di salah satu institut keguruan di Cimahi. Selain seorang guru dan mahasiswa, saya juga seorang single mother.Karena semenjak saya ditinggalkan oleh almarhum suami, saya harus menghidupi anak saya dan berperan ganda  menjadi seorang ibu juga seorang ayah bagi anak saya yang semata wayang. Umur saya memang sudah tidak muda lagi di mana yang saya inginkan hampir sama dengan kebanyakan perempuan lain pada umumnya, yaitu mengurus suami dan anak.

Menjadi wanita karier memang menjadi salah satu keinginan saya juga. Sebagai guru honorer apalagi di tingkat satuan pendidikan yang tinggi segala keterampilan dan pengetahuan memang menjadi salah satu keharusan untuk memenuhi tugas dan tuntutan dari profesi yang saya jalani. Terkadang saya juga bingung, di mana jurusan yang saya ambil tidak sesuai dengan apa yang saya ajarkan di sekolah. Bukan berarti menyimpang  tapi setidaknya kurang selaras saja.

Saya adalah seorang mahasiswa tingkat 3 yang setahun lagi insyaallah akan menyelesaikan studi saya dan memperoleh gelar S1. Memang suatu kebanggaan tersendiri bagi saya dan keluarga untuk gelar tersebut. Tapi bukan gelarnya yang saya kejar, saya hanya ingin membuat hati orang yang saya sayangi bahagia dan tersenyum karena saya membuat mereka percaya dan bangga kalau saya pun mampu dan bisa berdiri walaupun tanpa sandaran dan dukungan dari seorang suami. Karena bila boleh jujur, saya tidak begitu nyaman dan suka dengan jurusan yang saya ambil terlalu rumit.

Sedangkan ketika saya di sekolah, saya adalah guru dan panutan bagi anak-anak didik saya maka saya pun harus bisa mengondisikan dan menempatkan diri saya semestinya. Tidak mudah memang menjadi seorang tenaga guru honorer. Iya bukan karena masalah mendidik saja yang di mana murid-murid saya pada umumnya ABG atau remaja yang sudah menginjak masa pubertas, tapi juga masalah gaji honorer. Bukan karena kecilnya gaji seorang honorer namun terkadang situasi dan kondisi saya yang juga seorang single parent kerap mengharuskan saya memutar otak untuk mengatur kondisi keuangan keluarga. Maka saya juga memutuskan untuk mengajar di salah satu PAUD yang letaknya juga tidak begitu jauh dari tempat saya tinggal.

Menjadi guru SMA dan PAUD adalah dua hal yang berbeda. Ketika saya mengajar di SMA yang muridnya remaja saya pun harus bersikap lebih dewasa dan mengerti akan keinginan dari murid saya. Lain halnya dengan saya mengajar di PAUD yang muridnya terdiri dari anak-anak dan itu jelas sekali menuntut untuk saya lebih bersabar menghadapi mereka. Bagi saya pekerjaan apapun itu yang penting saya bisa dan halal maka akan saya lakukan untuk bisa bertahan hidup. Anak-anak SMA dan PAUD, mereka memang berbeda tapi saya yakin jika keinginan dan tekad saya kuat saya pasti bisa menjadi seorang guru yang baik bagi mereka dan pada saat ini saya pun sedang belajar untuk itu.

Berbicara tentang anak-anak SMA dan PAUD, saya juga mempunyai seorang anak yang harus saya jaga, rawat dan didik di rumah. Sebagai seorang single parent, kehidupan ini memang untuk saya jalani, di zaman sekarang ini di mana segala hal sudah serba canggih dan modern maka kita pun jangan mau ketinggalan zaman. Dengan perkembangan IPTEK sekarang ini di mana smartphone dan hal lainnya yang sudah semakin mudah di akses baik itu oleh dewasa maupun anak-anak sekalipun, saya juga khawatir tentang pergaulan anak dan sebagai orangtua saya takut anak saya terjerumus kepada hal yang tidak semestinya. Maka dari itu saya pun membatasi keinginan dari anak saya dengan cara mengontrolnya dan memberikan bimbingan rohaninya juga dengan cara mengajari dia ilmu agama. Karena menurut saya selain ilmu dunia dia dapatkan, ilmu agama pun harus seimbang saya berikan.

Saya tahu, untuk sampai di titik ini saya telah melalui banyak proses yang memang tidak mudah, bukan karena sekarang saya merasa puas, tetapi saya pun merasa ini juga merupakan proses dari titik kehidupan dan merupakan bagian dari cerita kehidupan yang harus saya lalui. Saya nikmati proses ini karena saya yakin semua akan berbuah manis dan berujung kepada kebahagiaan pada akhirnya. Hanya semangat dan tekad yang kuat yang saya punya untuk meraih semua impian dan harapan itu semoga yang Maha Kuasa memberikan jalan dan kemudahan untuk meraih semuanya itu.

(vem/nda)