Impian Almarhum Ayah Jadi Motivasiku Sampai Bisa Kuliah ke Luar Negeri

Fimela diperbarui 12 Mar 2018, 13:00 WIB

Setiap wanita punya kisah hebatnya masing-masing. Banyak inspirasi yang bisa didapat dari cerita seorang wanita. Seperti tulisan dari sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Rayakan Hari Perempuan Sedunia ini.

***

Bercerita tentang sosok inspirasi, kedua orangtua lah inspirasi terbesar dalam mewujudkan impian saya menjadi seorang psikolog (Konseling dan Psikologi Klinis). Impian bisa ke luar negeri merupakan impian setiap individu, termasuk saya yang berasal dari ujung Pulau Sumatra ini.

Kisah ini berawal dari tahun 2004 setelah peristiwa tsunami meluluhlantakkan bumi Aceh membawa semua kenangan, tidak hanya tentang indahnya Aceh akan tetapi membawa juga indahnya kebersamaan saya dengan anggota keluarga yang ikut hilang bersama surutnya arus tsunami 2004 itu. Pada bulan September 2004, ayah mengirim saya ke Pulau Jawa untuk meneruskan tingkat sarjana di jurusan Psikologi, tepatnya di Universitas Diponegoro (UNDIP), Jawa tengah. Ternyata ini adalah perpisahan yang tidak disengaja, yang dirancang oleh-NYA kepada saya dan keluarga saya.

Berusaha Menyukai Psikologi
Saya lulus seleksi di UNDIP dengan jurusan yang disarankan oleh ayah, karena beliau sangat ingin saya menjadi psikolog. Menurutnya, Aceh akan sangat membutuhkan psikolog pada tahun-tahun yang akan datang, karena rasa cinta dan sayang saya pada ayah, akhirnya psikolog menjadi pilihan saya melanjutkan tingkat sarjana meskipun saya tidak begitu menikmati perkuliahan jurusan Psikologi. Menurut saya jurusannya membosankan. Tapi semua saya jalani atas nama cinta, sayang dan respek saya terhadap ayah.



Waktu terus berjalan, sementara ilmu psikologi masih susah untuk saya terima. Namun demi membahagiakan ayah, saya paksakan diri untuk suka. Akan tetapi, sesuatu yang dipaksakan pasti berujung jelek, itulah yang terjadi pada saya. Akhirnya semester pertama pun berlalu, itu tandanya saya akan menerima hasil kerja selama satu semester.

Saya hampir tak percaya ketika saya menerima lembaran hasil studi saya, sangat kaget dengan nilai indeks prestasi yang terpampang di kertas itu, yaitu 1.90. Saya pun mulai mengutuk diri karena kebodohan dan kemalasan saya belajar di awal semester, rasa malu terhadap ayah membebani pikiran saya. Belum habis rasa kaget saya, berita duka menyambar wilayah Aceh secara utuh. Tsunami berkekuatan 6.8 SR melanda Aceh dan menewaskan ribuan nyawa.

Saya kembali terpuruk, kaget, dan menangis. Kenapa cobaan datang sekaligus? Belum habis rasa sesal saya akan nilai, saya harus hadapi dengan peristiwa pahit kehilangan orang-orang yang saya cintai. Jangan tanya arti keikhalsan pada saya, karena saya tak paham arti ikhlas. Saya hanya berusaha melanjutkan hidup sebaik mungkin di saat saya kehilangan orang-orang yang saya cintai. Hanya ayah sisa penyemangat saya paska tsunami 2004, sementara ibu dan kakak serta keluarga lainnya sudah pergi bersama surutnya tsunami, yang tubuhnya saja tidak pernah kami temukan.

Mengubah Kebiasaan Buruk
Kembali ke Jawa, saya pun mulai mengubah kebiasaan buruk saya. Saya mencoba untuk belajar memperbaiki semuanya, karena saya ingin membahagiakan satu-satunya harta yang saya punya, ayah. Hari dan bulan berlalu, semester demi semester pun berlalu, benar adanya tiap semester saya pun menunjukkan peningkatan. Hingga akhirnya saya bisa juga merasakan yang dinamakan dengan kecemasan menghadapi sidang skripsi. Seminggu sebelum sidang, saya menelepon ayah dan menceritakan bagaimana cemasnya saya dan merasa was-was semakin mendekati hari H. Namun lagi-lagi ayah mampu menentramkan saya yang sedang gundah dengan objek yang tidak jelas bentuknya.



Salah satu omongan ayah yang masih saya ingat adalah, ”Nggak apa-apa. Semua orang telah melewatinya dan Ayah yakin kamu mampu, nanti setelah lulus Ayah akan ke Jawa dan ikut wisuda, Ayah bisa jalan-jalan ke Semarang dan kita akan jalan-jalan ke kota lainnya di Kawa." Iming-iming ayah mampu menenteramkan hati saya.

Sejak saat itu, rasa rindu jalan-jalan dengan ayah membuat saya semangat dan level kecemasan saya perlahan surut hingga akhirnya saya bisa melewati sidang dengan sempurna. Sebagai seseorang yang dulunya tidak suka psikologi, kini saya mampu lulus dengan nilai sangat memuaskan meskipun tidak tergolong cumlaude. Saya menelepon ayah dan saya sangat senang, dan ayah pun sangat bangga karena impiannya menjadikan saya lulusan psikologi berhasil, beliau selalu bertanya dan kapan tepatnya wisuda diadakan karena ia ingin sekali menghadirinya. Saya pun tak sabar membayangkan senyumnya merekah di saat menemani saya di hari wisuda nanti.

Subuh itu, ketika hendak mengambil wudhu, tiba-tiba ibu kos mengetuk pintu kamar, dan berkata, “Mbak Amna, tadi kakaknya Mbak dari Jakarta telpon, katanya suruh ke bandara untuk pulang. Ayah masuk rumah sakit karena terpeleset kamar mandi." Mendengar cerita ibu kos, seketika dunia berasa gelap mendengar kabar tiba-tiba ayah masuk rumah sakit. Seakan tak percaya karena malamnya saya baru saja bercerita dengannya, tentang impian kami tentang hari wisuda.

Dengan baju seadanya dibantu Ibu kos, saya menuju bandara, hanya Aceh tujuan saya saat itu. Saya sudah tidak peduli lagi dengan hari wisuda. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah kesembuhan Ayah. Akhirnya, setelah melewati perjalanan lebih kurang tiga jam, saya bersama mbak saya dari Jakarta tiba di Aceh. Kami langsung menuju rumah setelah tante menelpon memberitahukan ayah sudah keluar dari rumah sakit. Rasanya plong mendengar ayah sudah keluar dari rumah sakit karena ayah sudah tidak lagi merasakan sakit. Setelah sampai di rumah, banyak tamu yang menjenguk ayah, tanpa lihat kiri kanan saya lari dan masuk ke rumah, sambil berteriak, “Ayah saya pulaaaaang."

Siapa sangka, ternyata rasa kangen itu harus saya pendam untuk selama-lamanya bahkan sampai saat ini. Saat itu yang ada di hadapan saya hanyalah sosok yang sudah kaku, berbalut kain putih dengan wajah tersenyum tapi tak bersuara. Sudah siap untuk dikuburkan. Saya duduk dan entah apa yang terjadi saya pun tidak sadarkan diri. Saya pingsan sejam-an. Saya kaget, ternyata ayah sudah meninggal dunia dari semalam, beberapa jam setelah saya menerima telepon darinya. Rasanya tidak percaya, ayah justru pergi di saat impiannya terpenuhi, saya lulus kuliah di psikologi. Awalnya saya kehilangan Ibu, kakak-kakak dan sekarang Ayah, ingin rasanya berteriak padaNYA, “Ya ALLAH, apa rencanaMu?”



Mampukah saya melewatinya sendiri di saat usia saya belum menginjak dewasa? Rasanya semuanya hilang begitu saja. Hilang dan gelap.

Setelah ayah pergi, sebulan kemudian, saya masih terpuruk dan terpukul. Bayangan ayah, ibu dan kakak serasa bermain dengan sempurna dalam ingatan. Saya kehilangan semangat, hilang teman, hilang sahabat, juga hilang orangtua. Di saat saya ingin membahagiakannya, ayah pergi. Ayah tidak bisa melihat saya wisuda. Walaupun saya telah mewujudkan impiannya kuliah di psikologi, namun ayah sudah tiada. Rasanya sudah tidak berguna sarjana psikologi yang telah saya raih.

Melanjutkan Impian Ayah
Dengan susah payah saya berusaha melanjutkan mimpinya, saya mulai bekerja di bidang psikologi. Saya bekerja di sebuah perguruan tinggi di bidang psikologi sebagai asisten dosen. Karena untuk jadi dosen harus bergelar S2,  saya pun bertekad untuk bisa melanjutkan pendidikan Strata-2, meskipun saya sendiri belum tahu bagaimana caranya.

Seperti biasanya saya bekerja mulai pukul 08.00-17.00. Malamnya sepulang kerja, saya ikut kursus bahasa Inggris. Capek karena saya harus menguras energi siang dan malam, tapi saya harus membuat ayah dan mamak bangga. Sambil mengikuti kursus saya mengikuti beberapa seleksi beasiswa dari sebuah lembaga penyedia beasiswa di Aceh.



Hingga akhirnya saya mengajukan lamaran seleksi beasiswa ke sebuah lembaga penyedia beasiswa di Aceh dan memilih Taiwan sebagai destinasi melanjutkan strata 2 Psikologi. Setelah melalui proses yang panjang, berkas beasiswa saya dinyatakan lolos sebagai salah satu penerima beasiswa dari lembaga itu. Hati senang bukan main, saya sangat bersyukur, saya bahagia, karena saya akan sekolah master psikologi di luar negeri, Taiwan.

Setiap perjuangan pasti akan ada rintangan dan ujian, demikian juga dengan saya. Ujian demi ujian saya temui.  Ketika saya dinyatakan lulus dari sebuah lembaga penyediaan beasiswa tersebut, saya merasa keberhasilan sudah bisa saya genggam. Namun, ternyata Allah Ta’ala kembali menguji saya. Seminggu kemudian tim lembaga tersebut memanggil saya ke kantornya, seketika tiba di sana mereka menyatakan dikarenakan sesuatu nama saya terpaksa dicoret dari daftar penerima beasiswa, sehingga nama saya tidak masuk dalam penerima beasiswa tersebut. Terpukul dan kecewa, itulah yang saya rasakan pada hari itu.

Untuk menguatkan diri, dengan susah payah mulut dan hati menyemangati diri, “Mungkin Allah punya rencana lain, Amna. Yakinlah! RezekiNYA tidak akan tertukar.” Begitulah  kalimat yang keluar dari mulut saya untuk membesarkan hati. Impian melanjutkan kuliah di luar negeri pupus sudah. Namun, rasa pantang menyerah dan terus berusaha tetap saya jalani demi mencapai cita-cita almarhum Ayah.

Saya yakin bahwa sesungguhnya kesungguhan akan membuahkan hasil. Kata-kata ini menjadi motivasi buat saya untuk mencoba dan terus mencoba, sampai akhirnya saya mengirim berkas aplikasi beasiswa berikutnya ikut seleksi beasiswa di sebuah jejaring kampus tingkat international.

Bangkit Kembali
Setelah tiga bulan berlalu, saya sempat dihinggapi perasaan was-was karena belum ada kabar apapun tentang beasiswa tersebut.  Dengan sikap positif, terus berdoa dan saya serahkan semuanya kepada Allah sambil terus memegang kata-kata “ajaib” yang saya yakini benar, "Man jadda wa jadda. Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan hasilnya.”



Ternyata Allah menjawab doa saya. Ketika akhirnya hari Jum’at di bulan Juni, 2011 lalu saya mendapatkan telepon langsung dari Taiwan dan saya dinyatakan sebagai penerima tunggal beasiswa The Department of Social Welfare (DSW) of Taipei City Government untuk melanjutkan Master of Counseling and Clinical Psychology di Asia University of Taiwan untuk Master Psikologi. Rasa tidak percaya menghinggapi ketika saya dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa dari pemerintahan Taiwan. Tak berhenti di situ,  ternyata Allah SWT menambahkan kebahagiaan saya, dengan mendapatkan dua beasiswa sekaligus. Dari pemerintah Taiwan juga dari kampus di Taiwan tempat di mana saya memilih untuk melanjutkan master psikologi. Akhirnya, dikarenakan harus memilih, saya memilih DSW Scholarship dari pemerintah Taiwan.

Setelah sampai di Taiwan, saya mengikuti perkuliahan seperti biasanya, banyak hal yang saya dapatkan dari sana. Kejutan demi kejutan Allah datangkan dalam diri saya. Rasa syukur tak henti-hentinya saya ucapkan kepadaNya ketika saya diberi kepercayaan untuk bisa sekolah di luar negeri, mendapatkan kesempatan beasiswa international, bertemu dan belajar dengan orang asing yang belum pernah kenal sebelumnya, mengenal metode baru dalam dunia pendidikan. Setiap akhir semester, Allah seperti terus menerus memberi kejutan demi kejutan buat saya dalam bentuk angka-angka sempurna di lembar prestasi akademik seorang mahasiswa dan berhasil lulus cumlaude.

Alhamdulillah Rabbku, Engkau menyempurnakan kebahagiannku, menutup semester demi semester mendekati angka sempurna. That’s a gift from God that I never had before.



Kebahagiaan lainnya, di sejumlah agenda kuliah, saya kembali diberi kepercayaan sebagai penghubung sebuah maskapai terkenal Garuda Indonesia (kantor pusat di Taipei) dengan pelajar Indonesia yang berada di Taiwan, dalam penjualan tiket khusus mahasiswa Indonesia Taiwan yang sudah berjalan hampir setahun ini. Kesempatan yang lainnya saya dipercaya untuk magang di International Hospital Taichung, Ren-Ai Hospital sebagai Indonesia Services selama 5 bulan sebelum saya balik ke Indonesia, Juli 2013 lalu.

Di sisi lain, dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya terus berusaha membenahi bahasa Inggris, bertahan demi cita-cita, akhirnya tahun 2013 bulan Mei saya lulus menyandang gelar master dengan masa studi 1 tahun 7 bulan. Tuhan seolah-olah terus menerus menaburi saya dengan kebahagiaan dan kado-kado terindahnya. Something just happens when we believe.

Hari ini, pada saat menulis artikel ini, saya telah menjadi seorang psikolog klinis dan kisah ini berwujud dari impian mulia seorang ayah. Semoga kejutan lainnya mendatangi saya, karena masih ada satu impian ayah lagi yang ingin saya selesaikan, belajar di negeri Paman Sam, Amerika Serikat. I wish I can make it happen one day. Insya Allah. Man jadda wajadda. Thanks mom, thanks dad, I love you both.

“Jika apa yang saya dapatkan hari ini adalah sebuah keajaiban, maka keajaiban itu adalah bagian dari kerja keras.” 
(Zaujatul Amna Afganurisfa,  S.Psi., M.Sc. 2013).




(vem/nda)
What's On Fimela