Masa Depan Sendiri Perlu Direncanakan, Tapi Orangtua Janganlah Dilupakan

Fimela diperbarui 03 Mar 2018, 09:30 WIB

Cinta adalah rahasia dan makna yang selalu dicari oleh manusia. Rasa ini mampu mengubah segala keadaan menjadi terbalik. Sederhana menjadi begitu mewah. Senang menjadi susah. Bahagia menjadi tangisan kesedihan. Kosong menjadi berisi. Bahkan,  kesalahan menjadi kebenaran.

Cinta mampu merangkul seorang yang berduka dan putus asa menjadi berwarna dan bahagia. Cinta pula yang mampu memompa aliran darah penuh semangat menuju jantung dan membuat tubuh makin bersemangat. Cinta juga mengajarkan ketabahan nan luar biasa serta mampu menjadikan manusia lebih tangguh.

Ucapan dan tindak tanduk yang menggambarkan kata cinta  memiliki kekuatan yang hebat. Salah satunya, yakni orang tua. Mereka selalu memberikan cinta kasih bahkan pengorbanannya untuk buah hati. Saat sang buah hati menginjak usia remaja hingga dewasa, maka mulai timbul rasa egois yang begitu besar. Tangisan dan keringat yang dikeluarkan oleh orangtua mulai dilupakan sang buah hati. Ia terlalu sibuk mengurusi sesuatu yang disebut masa depan dan jati diri. Ia lupa mengabari orang tuanya. Lalai dalam sekedar menyapa orang tuanya. Ia hanya mengingat satu hal berupa masa depannya yang cemerlang.

Kelalaian ini juga pernah terjadi kepada saya. Sebagai manusia biasa, saya pernah melakukan kesalahan. Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2014 saya memutuskan untuk mengambil pekerjaan dan terlalu menikmatinya. Saya adalah perantau di Yogyakarta. Di kota ini, saya memiliki peran ganda yakni mahasiswi dan karyawan. Kesibukan tersebut yang membuat saya sering kelelahan. Dampaknya, saya jarang mengirim kabar kepada orang tua. Selalu mereka terlebih dahulu mengabari buah hatinya.

Kerinduan-kerinduan mereka pun sering saya abaikan. Pesannya kembali muncul di handphone saya. Isinya mengenai kerinduan keluarga beserta permintaan agar buah hatinya dapat pulang guna sekedar menengok kedua orang tua. Hati saya sudah buta oleh kenikmatan uang. Saya mengabaikan kerinduan mereka dengan dalih akademik dan karier. Waktu itu, saya lupa dengan kehadiran keluarga. Bagi saya, masa depan adalah segalanya.

Hampir setahun, saya terus menggeluti peran tersebut. Kelelahan sering menyapa. Aktivitas yang padat dan jam istirahat yang terasa kurang membuat efek tidak sehat bagi tubuh. Kesehatan menjadi semakin berkurang tiap harinya. Saya mengabaikan tubuh yang mulai protes karena kurang istirahat. Bisa dihitung, tiap bulan saya mengecek keadaan lambung.

Orangtua masih saja dengan setia menanyakan kabar saya baik berupa pesan hingga telepon. Ada rasa tidak enak hati saat ingin menyatakan kondisi tubuh yang sebenarnya. Malu sekali. Ada rasa yang mengganggu karena mereka sempat dilupakan oleh saya. Kesehatan saya semakin menurun. Mereka selalu menanyakan kesehatan karena mulai curiga. Saya memang menghindari pulang ke kampung halaman. Agar mereka tidak ikut sedih terhadap keadaan buah hatinya. Tubuh saya semakin kurus. Meski keadaan seperti itu, saya tetap memilih untuk meneruskan fokus dalam akademik.

Suatu malam, Bunda menelepon saya sambil terus menanyakan kesehatan dan mendesak pulang ke kampung halaman. Mereka sudah terlalu lama menanggung kerinduan. Saya pun tertegun dan tiba-tiba menangis. Kejujuran pun saya sampaikan kepadanya. Suara Bunda terdengar serak karena menahan tangis. Bagaimanapun, saya lebih memilih kejujuran tetap keluar dari mulut saya. Setelah itu, beberapa hari kemudian mereka datang ke Yogyakarta. Air mata nampak membasahi pelupuk mata. Saya pun menahan tangis. Waktu itu, tubuh saya pun memang benar-benar kurus. Bunda pun mengelus rambut saya sama seperti saat masih menginjak masa-masa di kampung halaman. Ayah pun ikut menangis.

Keesokan harinya, saya pulang ke kampung halaman bersama orang tua. Saya dirawat selama beberapa bulan. Dokter menyatakan lambung saya mulai lemah karena pola makan dan istirahat yang kurang optimal. Bunda pun menangis. Mereka  menanyakan alasan saya tidak jujur mengenai kesehatan. Saya pun tersenyum kecil.

Ketika saya sehat melupakan mereka, apakah saya harus merepotkan mereka dengan tubuh saya yang sakit? Mereka merawat saya dengan kasih sayangnya. Semua biaya rumah sakit dan obat ditanggung oleh mereka. Puluhan juta sudah melayang untuk mengobati saya. Saya sudah bilang ke mereka agar mengikhlaskan kepergian apabila saya sudah tidak tertolong. Mereka pun menangis terisak-isak. "Kami sangat sayang kamu, Nak. Belum bahkan tidak siap kehilanganmu," ucapan Bunda membuat saya hanya bisa tersenyum meski kesakitan melanda tubuh.

Hampir tiap pagi Bunda selalu menyuapi ketika tubuh ini tergeletak di rumah sakit. Rasanya sakit dan malu bercampur menjadi satu. Mereka merawat saya hingga benar-benar pulih. Tidak hanya tenaga, pikiran bahkan materi diberikan oleh mereka. Mereka tidak mempedulikan berapa banyak uang dan materi yang dikeluarkan agar saya kembali pulih dan menjadi buah hatinya yang seperti dahulu. Air mata saya menetes secara tidak sengaja melihat pengorbanan mereka.

Setelah kesehatan semakin pulih, mereka kembali mengikhlaskan kepergian saya ke Yogyakarta guna melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda. Saya pun menangis dan berat melepas mereka. Sepanjang perjalanan, air mata saya pun mengalir. Ketika tiba di Yogyakarta, saya pun dilanda kerinduan kepada mereka.

Hampir setiap dua minggu sekali, saya menyempatkan waktu untuk menghubungi orang tua. Mereka selalu takut apabila penyakit saya kembali datang. Saya selalu bersyukur memiliki harta yang berharga. Mereka adalah wujud cinta kasih sebenarnya. Saya pun mendapat ganti pekerjaan yang lebih baik.

Prinsip saya pun mulai berganti. Masa depan memang sebuah hal yang penting, namun orangtua adalah prioritas yang tidak dapat digantikan dengan apapun. Cinta mereka adalah sebuah pengingat bagi saya. Bahwa kasih sayang mereka selalu tidak terbatas.

Berbeda dengan cinta seorang anak yang masih memperhitungkan banyak hal untuk orang tua. Sayangi mereka selama masih ada di sisi. Manjakan mereka tanpa memandang laba dan rugi. Prioritaskan mereka selayaknya perlakuan mereka menganggap buah hatinya adalah hal yang utama. Selalu mengingat mereka agar bertahta di sanubari. Sebab, kekuatan dan harta mereka adalah senyum kebahagiaan dari sang buah hati.

(vem/nda)