Ini adalah kisah nenekku yang diceritakan padaku saat aku berumur belasan tahun. Nenekku meninggal di umurnya yang ke-63 tahun saat pernikahannya mencapai 50 tahun. Sampai sekarang kakekku sendiri dan memutuskan untuk hidup sendiri yang setiap minggunya pergi mengunjungi makam istri satu-satunya. Lalu pernah berkata, “Anak-anakku tidak mungkin sukses jika aku tidak menuruti istriku dulu."
***
Aku adalah seorang wanita yang bermimpi menjadi manusia berpendidikan tinggi di negeri jajahan ini. Di antara sekian banyak wanita aku termasuk golongan orang yang beruntung karena bisa masuk di sebuah sekolah dasar. Tidak ada yang berbeda dari biasanya, aku menyusuri jalanan becek di sekitar rumahku dari sekolah.
Rumahku berada di belakang pabrik gula, setiap hari mereka mengantar tanaman tebu dari sawah menuju pabrik. Mereka menggunakan kereta khusus untuk mengangkut tebu tersebut, dan tentu saja kereta tersebut memiliki jalur sendiri. Siang ini menjadi pertama kalinya aku bertemu laki-laki aneh dalam kehidupanku, sosok laki-laki sebayaku melambaikan tangannya padaku sebelum kereta pengangkut tebu melaju. Sejujurnya aku tidak ingin merasa, tapi tatapannya seperti mengarah padaku.
Kejadian itu pun berlangsung sampai aku mendapati dia melamarku, sehingga di kelas dua SD ketika umurku mencapai tiga belas tahun sudah menikah atas permintaan orang tua. Perjalanan rumah tangga tidaklah selalu mulus, tapi aku tahu dia adalah laki-laki yang tidak mudah menyerah. Aku masih hidup bersama orangtuanya karena dia tidak punya rumah dan masih bekerja menjadi pekerja kasar di sebuah proyek.
Sebelumnya dia pernah bekerja di pabrik, tapi hal itu justru membuatnya jenuh mengingat bidangnya bukanlah di situ. Ujian paling berat bagi kami adalah ketika aku keguguran pada kehamilan pertama, sulit bagiku dan dia untuk menerima semuanya. Namun semua itu tidak menyurutkan semangat kami untuk terus melanjutkan kehidupan.
Purnama demi purnama berlalu begitu cepat, aku mengandung janin kedua dan lagi-lagi aku mengalami keguguran. Padahal mestinya dia telah lahir dan memiliki nyawa di kehamilan ke tujuh bulan. Suamiku tak gentar, dia masih menemaniku dan terus menerus mengusahakan kami segera memiliki buah hati. Meski kehamilan ketiga mengalami keguguran dan kehamilan keempat anakku meninggal ketika lahir, akhirnya kami memiliki buah hati yang sehat pada kandunganku yang kelima.
Anak kelima kami sekaligus buah hati pertama yang menyinari kehidupan keluarga ini. Setelah anak perempuan lucu ini lahir, kami pun berpikir untuk segera memiliki anak kedua. Sayangnya, aku dan laki-lakiku harus kembali menangis karena anak kedua kami meninggal ketika lahir. Sama sekali tidak terdengar suara tangis darinya seperti yang kami harapkan.
Suamiku tidak pernah menyerah, aku bahkan tidak pernah menemukan cinta yang paling setia dari dirinya. Sampai pada akhirnya aku melahirkan anak kami yang ketujuh sekaligus yang kedua. Tahun demi tahun cepat berlalu, berkali-kali aku mengandung dan tidak ada hambatan ataupun kejadian keguguran. Sampai aku dan suamiku memiliki enam buah hati yang menjadi tumpuan harapan kami. Selama itu suamiku adalah orang yang pekerja keras, memiliki bengkel sendiri tidaklah mudah. Upah setiap hari menjadi pekerja kasar di sebuah perusahaan kontraktor ia tabung sampai ia bisa mendirikan bengkelnya sendiri.
Aku tahu dia bukan manusia yang gampang menyerah meskipun terkadang banyak orang mencibirnya karena ia tak pernah sekolah. Tapi buktinya, aku dan suamiku bertahan hidup dengan kecukupan lebih bersama enam anak kami. Bahkan kami mampu pergi ke waterpool yang pada saat itu hanya orang-orang berduit saja mampu pergi dan membayar karcis di sana.
Ujian terberat yang pernah aku alami adalah ketika memasuki tahun inflasi 1998. Bengkel suamiku mengalami kemunduran dan sepi pengunjung. Entah apa yang terjadi namun pada saat itu kami benar-benar jatuh. Aku pun memutuskan untuk membantu suamiku mencari nafkah dengan berjualan makanan dan lauk di pasar saat pagi hari dan menjual sembako saat sore hari. Setiap malam kami harus mencari kayu bakar untuk memasak dan kebutuhan yang lain karena pada saat itu semua dirasa mahal dan menyulitkan.
Tak hanya itu, suamiku yang pecandu rokok dinyatakan mengalami gejala sakit jantung oleh dokter. Aku berusaha keras untuk mencegahnya sampai seringkali bertengkar dengannya hanya karena aku menyembunyikan rokoknya.
Sampai suatu hari, aku berkata sembari memohon, “Kalau kau mati, siapa yang akan bersamaku dan anak-anakku?” Aku tidak tahu sejak kapan kata-kata itu keluar dari mulutku, tapi dia terdiam mendengarku. Sulit baginya untuk pergi dari asap rokok yang menggiurkan meskipun pada saat itu rokok juga menjadi barang yang mahal. Tidak sampai di situ, anak perempuan pertamaku mendapat lamaran dari seorang laki-laki. Bukan karena aku tidak menyukai laki-laki tersebut lalu menolak lamarannya, tetapi aku ingin anak-anakku menjadi pewujud impianku untuk menjadi orang berpendidikan.
Lagi-lagi terjadi pertengkaran antara aku dan suamiku karena hal itu. Dia bilang anak perempuan tidak butuh pendidikan tinggi dan lebih baik dia dinikahkan untuk kesejahteraan hidupnya. Aku tidak menyalahkannya karena kami memang sedang dalam masa yang sulit dan ia ingin anak-anaknya tidak menderita karena semua ini. Namun aku tetap bersikeras, mungkin saja hari ini sekolah menjadi hal yang tidak penting bagi perempuan tapi aku tidak suatu hari nanti. Toh, aku juga ingin anak-anakku berada di sebuah posisi yang lebih tinggi dari derajatku. “Aku bermimpi untuk bersekolah sampai akhir, siapa lagi yang akan mewujudkan mimpiku?” ungkapku padanya.
Aku tahu dia keras kepala dan aku tahu dia punya cinta. Seberapapun ia menolak dan marah, pada akhirnya dia memilih bertahan dan memperjuangkanku. Dia selalu menurutiku. Kehidupan demi kehidupan kita lewati. Hingga pada sebuah waktu ia memutuskan untuk benar-benar berhenti dari kecanduan rokoknya.
Semenjak itulah ia menjadi lebih lunak dan aku yakin dia lebih mencintaiku dari sebelumnya. Sampai pada suatu hari anak pertamaku menjadi seorang guru di Taman Kanak-kanak (TK) dan aku melihatnya hidup sejahtera. Kemudian kami menikmati masa di mana kami hanya duduk berdua menikmati hari-hari tanpa mencari kayu bakar tiap malam atau menjual makanan tiap paginya.
Aku tidak lagi melihatnya berkeringat setiap pagi sampai siang untuk bengkelnya. Karena melihat keenam anak kami tuntas pendidikannya dan telah melihat hidup mandiri. Bahkan kami tidak perlu lagi bekerja karena kesuksesan mereka.
- Jodoh Terbaik Akan Selalu Temukan Jalannya, Meski Menunggu Itu Menyakitkan
- Cinta adalah Ujian Kesabaran, Baru Dikaruniai Anak Setelah 8 Tahun Menikah
- Bodohnya Dibutakan Cinta, Aku Diperdaya Cowok 'Brondong'
- Jodoh Sejatiku Datang Saat Aku Sudah Dilamar Orang
- Terlambat Menikah Jauh Lebih Baik daripada Salah Memilih Pasangan
(vem/nda)