Bodohnya Dibutakan Cinta, Aku Diperdaya Cowok 'Brondong'

Fimela diperbarui 01 Mar 2018, 11:15 WIB

Kalau sudah cinta, alasan apa saja tak akan jadi problema. Segala apapun tentang dia pasti kita terima apa adanya. Seperti itulah yang kupikirkan saat aku mencintai seorang cowok yang usianya empat tahun lebih muda dariku.

Saat itu dia duduk kelas dua SMA dan aku memasuki semester empat di bangku kuliah. Banyak teman yang bilang aku ini gila dengan 'brondong'. Mungkin saat membaca cerita ini kalian juga syok. Bagaimana bisa seorang perempuan lebih memilih seorang laki-laki yang usianya jauh lebih muda. Padahal aku mengenalnya lewat media sosial dan belum pernah bertemu sekali pun.

Kembali pada apa yang kukatakan, bahwa cinta itu buta tidak memandang usia. Semua manusia berhak untuk merasakan dicintai dan mencintai dengan memiliki. Perempuan dewasa apalagi yang sudah kuliah seharusnya memang memilih untuk mencari pasangan yang seumuran atau yang sudah bekerja. Karena perempuan seusiaku saat itu harusnya sudah memikirkan hal-hal penting tentang masa depan. Bukan malah memacari cowok ingusan yang masih meminta uang saku dari orangtua.

Aku mencintai laki-laki ini bukan karena aku gila melihat ketampanannnya. Bukan itu. Karena kulihat dia lebih dewasa dari umurnya. Dia bisa mengimbangi diriku yang lebih matang darinya. Dia bukan sekadar remaja biasa. Cowok kelahiran darah melayu ini aktif menjadi seorang gitaris band sekolah dan tergabung di sebuah sanggar budaya melayu. Suaranya emas dan mahir memainkan alat musik modern maupun tradisional. Berulang kali dia menyabet juara di bidang musik.



Dia juga seorang penulis yang puisinya sudah dibukukan secara antalogi di banyak penerbit ternama. Tidak hanya itu, dia juga seorang organisatoris yang mengikuti banyak kegiatan. Apalagi dia menjabat sebagai wakil ketua OSIS dan ketua organisasi remaja di sekolahnya. Ini yang membuat aku semakin mengaguminya. Apalagi aku ini adalah anak bungsu yang begitu manja, sedangkan dia adalah anak pertama yang bagiku begitu mengayomi.

Entah, setan apa yang secara halus merasukiku. Segala hal tentang dia amat menyenangkan. Dia pribadi yang teduh dan menenangkan. Aku menyukai suaranya saat bernyanyi sambil bermain gitar di saluran telepon. Aku juga amat merindukan setiap bait puisi yang dia kirimkan pada malam-malam sebelum aku berpamitan untuk istirahat. Segala hal tentang dia membuatku kecanduan.

Saat hubungan kami sudah hampir jauh, pernah suatu ketika kami masuk pada obrolan tentang masa depan. Dia menginginkan kuliah di Pulau Jawa agar lebih dekat denganku katanya. Yah, meski kami mencintai tanpa bertatapan langsung, tapi tak menyurutkan diri kami untuk selalu mempertahankan hubungan dan perasaan ini.

Dia mengungkapkan rencana ke depannya yang ingin membuat sanggar budaya dan aku mendirikan perpustakaan umum karena kesukaanku dengan buku. Kami membicarakan tentang rumah idaman dan lainnya. Setiap mengobrol dengannya, aku merasa ada ketenangan yang menjalar. Ada semangat yang tersuntikkan pada diriku bersamaan dengan harapan-harapan yang dia tanam pada hati ini. Karena terlalu sering diajak untuk merangkai rencana masa depan bersama, hatiku semakin berharap dengannya. Diriku semakin yakin bahwa dia adalah yang cocok untuk diriku. Bahkan, dia juga meyakinkan bahwa kami akan selalu bersama-sama.

Nyatanya, di balik itu semua ada hal yang kulupakan bahwa pada dasarnya dia adalah anak yang masih belia dan labil pemikirannya. Harapan yang dia tanam sudah mengakar pada hatiku dicabut secara kasar dengan ucapannya suatu malam, “Sudahlah, usia kita terpaut jauh. Aku takut, nantinya kamu lebih memilih laki-laki yang lebih mapan daripada menungguiku lulus sekolah.” Ucapannya saat itu seperti baja yang menghantam diriku. Aku tidak menyangka, laki-laki yang begitu aku percaya dan jaga, kini kepercayaannya telah hilang. Meski aku sudah meyakinkan bahwa aku akan tetap menungguinya sampai siap, dia tetap menolak untuk melanjutkan hubungan ini.

Dalam kegalauan yang membuat begitu hancur, aku sadari bahwa aku yang salah. Tidak seharusnya cowok belia itu kuajak untuk melompat jauh melebihi usianya. Dia masih ingin bersenang-senang dengan teman sepermainannya, bukan sibuk membicarakan rumah tangga. Aku ingin mengumpat dan memarahi diri sendiri, tidak seharusnya aku memacari laki-laki yang sebenarnya lebih pantas untuk menjadi adikku.



Dan yang lebih menyakitkan lagi, ternyata di luar sana dia mempunyai banyak teman perempuan spesial. Beberapa lama aku mengusut, hanya bermodalkan akun media sosial dan riwayat komentarnya di facebook, aku menghubungi kebanyakan perempuan yang sering mengomentari statusnya. Dari pengakuan para perempuan itu beserta bukti yang diberikan, ternyata laki-laki yang kupercaya itu dekat dengan banyak perempuan.

Rasanya aku ingin marah pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku ditipu dan diperdaya oleh anak SMA? Aku menyesal dan berulang kali merutuki diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tergila-gila pada puisi yang ternyata dikirim ke banyak perempuan. Perhatiannya tidak hanya istimewa kepadaku, tetapi juga kepada semua perempuan yang dikenalnya.

Dalam kerapuhan, aku berjuang move on tanpa kata maaf darinya. Dia malah memaki-maki karena aku ketahuan mengontak teman perempuannya. Dia tidak terima karena dia bilang aku begitu ikut campur dalam hidupnya. Aku meluapkan amarah karena telah dihianatinya, tapi tetap saja dia tidak mengaku bersalah dan malah melemparkan kesalahan itu padaku.

Karena aku sudah terlalu jengah, tanpa berbicara panjang lebar, aku blokir semua medsosnya. Dan aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi.  



(vem/nda)