Kisah dari sahabat Vemale ini membuktikan kalau jodoh memang memiliki misterinya sendiri.
***
Tidak ada yang luar biasa dalam kisah ini. Hanya tentang dua orang, yang tak lama saling kenal, memberanikan diri untuk menikah. Memang bukan kisah cinta luar biasa yang aku idamkan, melainkan kisah cinta yang—menurutku—sesuai “jalannya” karena sejak mulai beranjak dewasa, terpatri dalam pikiranku, cinta yang akan menuntunku untuk memahaminya.
Dia datang dalam hidupku ketika seseorang telah melamarku. Keluargaku dan keluarga calonku sudah saling berkunjung, saling mengenal satu sama lain. Tinggal menentukan tanggal. Namun, ketika itu aku lebih dulu memperoleh pekerjaan tetap di ibu kota, sedangkan calonku masih berkelana mencari sumber penghasilan yang mumpuni.
Di ibu kota aku mengenalnya. Tiga bulan setelah kami kenal, dia menanyakan “status” hatiku karena ia berniat menjodohkan diriku dengan temannya. Ringan saja aku bilang bahwa aku sudah punya calon. Empat bulan kemudian, dia mengajakku makan malam dan bertanya, “Tanggal 29 Maret, ada acara nggak?”
“29 Maret, tahun depan?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya.
Itu masih 6 bulan lagi. Sambil kebingungan aku menjawab, “Sepertinya belum. Itu kan masih lama.”
“Bagaimana kalau kamu menikah denganku?” pungkasnya.
Aku terkejut. Dengan muka memerah, aku mengaduk-aduk gelas minuman di hadapanku. Lagi, aku bilang bahwa aku sudah punya calon. Orang yang sama dengan yang 4 bulan lalu aku ceritakan padanya.
Aku salut padanya, ia tak hanya berani berterus terang, tetapi ia juga mampu menerima dengan baik hal yang tidak menyenangkan baginya. Selepas penolakanku, kami tetap berteman baik. Ia sosok gentleman yang dewasa dan pengertian. Aku mengaguminya. Kendati demikian, ia bukan penyebab hubunganku dan calonku kemudian berakhir.
Entah bagaimana, Tuhan pilihkan jalan agar aku dan calonku mengubah haluan kami. Baiklah, aku tetapkan fokus pada karier. Aku giat kumpulkan pengalaman, mengejar impian. Menjelang akhir tahun, ternyata ia datang ke rumahku di kampung. Kali pertama, ia hanya mengajak orang tuaku berkenalan. Kali kedua, ia mengutarakan niatnya untuk meminangku. Aku terkejut. Tuhan, pria ini benar-benar pantang menyerah. Padahal tak banyak harapan yang aku janjikan.
Anehnya, tanggapan ayahku pada pinangannya tak sesulit pada calonku dulu. Mungkinkah ini pertanda? Hatiku membenak. Sejak saat itu aku lebih “melihat” dia.
Selang beberapa bulan, aku menerima lamarannya. Aku melakukannya karena satu alasan: aku tidak punya alasan untuk MENOLAK. Ia sosok pria baik yang bertanggung jawab. Kegigihannya menunjukkan ketulusan hatinya. Aku pun merasa ia memenuhi kriteria suami idamanku. Aa mencintaiku melebihi aku mencintainya, karena jujur, hingga janji suci kami terucap, hati ini belum sepenuhnya mencintainya.
Detik berganti menit, menit bergulir jam, dan jam bersilih hari.
Genggaman hangat tangannya memercikkan rasa itu. Seolah ia berkata tak akan pernah melepaskanku.
Rangkulan lengannya meyakinkanku bahwa ia tak akan membiarkanku jatuh.
Usapan lembutnya di kepalaku menunjukkan bahwa ia selalu memaafkanku, tak peduli seberapa menjengkelkannya aku.
Cerita-ceritanya membuatku tak ragu membagi mimpi dengannya, menjadikan mimpiku dan mimpinya sebagai cita-cita kami bersama.
Di penghujung hari, berada di pelukannya, mendengar degup jantungnya, membuat hatiku menyimpulkan, “Oh, ini yang namanya cinta."
(Untuk suami tercinta, terima kasih telah membuatku mengerti tentang cinta dan jatuh cinta setiap hari kepadamu.)
- Mamah Menunggu Izin Bapak untuk Embuskan Napas Terakhirnya
- Memperjuangkan Cinta Lama Itu Boleh, Tapi Jangan Sampai Jadi Orang Ketiga
- Menikah Muda dengan Pria Psikopat, Siksaan Fisik dan Psikis Kualami
- Dijerat Utang dan Dikhianati Suami Sendiri, Bolehkah Aku Bunuh Diri?
- Saat Poligami Jadi Prinsip Untukmu, Tapi Bukan Pilihan Untukku
(vem/nda)