Tulisan Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini begitu mengiris hati. Sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang membawanya pada sebuah harapan.
***
Jujur saja, ada perasaan malu saat kutulis ini. Ini cerita tentangku, tentang perempuan yang kehilangan sesuatu yang paling berharga bagi seorang perempuan.
Saat aku berusia 17 tahun, aku menjalani sebuah hubungan dengan seorang lelaki yang usianya empat tahun di atasku. Selayaknya remaja yang baru pertama kali mengalami jatuh cinta, aku begitu berbunga-bunga, begitu terlena hingga lupa diri. Apalagi saat dia menghujaniku dengan berbagai perhatian dan kata-kata puitisnya.
Aku sangat mencintainya hingga aku tidak sadar bahwa aku telah diperbudak oleh perasaanku sendiri, membuatku melakukan apapun yang diinginkannya. Telah begitu banyak yang kuberikan kepadanya. Apapun yang dimintanya dariku, aku memberikannya. Seperti misalnya saat dia merayuku agar menyerahkan ponselku, kuberikan untuknya secara sukarela dan berkata kepada orangtuaku bahwa ponselku hilang, atau saat dia ingin jalan-jalan dan aku tak punya uang, dia memintaku menjual kalung pemberian ayahku dan aku pun menjualnya. Bodohnya aku.
Berbulan-bulan berlalu, dia hendak pergi bekerja ke luar negeri, namun beberapa hari sebelum itu dia mengajakku ke rumahnya, mengenalkanku pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Suatu hari aku ada di rumahnya, orangtuanya tidak ada di rumah, mereka pergi menghadiri sebuah acara, jadi tinggalah aku dengannya berdua. Apa yang terjadi di sana? Dia tiba-tiba menarikku ke dalam kamarnya dan terjadillah hal yang paling menjijikkan yang tidak pernah ingin aku ingat. Hal yang membuatku kehilangan kesucianku. Sesuatu yang amat berharga dari seorang perempuan yang seharusnya dijaga dengan baik.
Pergilah dia ke luar negeri untuk tiga tahun. Kami masih saling menghubungi lewat chat Facebook. Namun semakin hari, padahal baru berminggu-minggu dia pergi, dia semakin jarang menghubungiku. Pesanku terlalu lama dibalasnya hingga bahkan sampai berhari-hari. Aku resah, gelisah memikirkan hubungan kami. Aku pikir aku harus mempertahankan hubungan kami, apalagi aku telanjur menyerahkan hartaku yang berharga.
Gelisahku membuatku tak fokus sekolah. Aku dihantui perasan takut. Bagaimana jika aku hamil? Ingin kuceritakan ini kepada orangtuaku namun aku terlalu takut. Bagaimana jika mereka membenciku dan tak sudi menganggapku sebagai anak mereka lagi? Apalagi itu bukanlah pemerkosaan. Kuceritakan ketakutanku terhadapnya namun tidak digubrisnya, sampai pada akhirnya haidku datang. Aku amat bersyukur saat itu.
Kuceritakan bahwa aku mendapatkan haidku. Dia menjawabnya dengan kalimat yang masih kuingat hingga saat ini, “Syukurlah, berarti aku terbebas dari tanggung jawab. Kita akhiri saja hubungan kita,” lalu setelahnya dia memblokir akun Facebookku.
Aku amat terpukul, frustasi hingga ingin mengakhiri hidupku. Sekolahku berantakan. Aku sering menangis dan mengamuk tanpa alasan. Aku kehilangan rasa percaya diriku dan entah memang benar atau hanya perasaanku saja. Raut wajahku terasa berbeda sejak aku tidak suci lagi. Terasa kusam, tidak bercahaya. Aku bahkan tidak mau berlama-lama saat menatap cermin.
Kutinggalkan sekolahku, jelas membuat orangtuaku juga bertanya-tanya dengan sikapku yang berubah. Di akun Facebook, aku bahkan mendapatkan banyak pertanyaan dari teman-teman di sekolah, dengan polos dan tanpa berpikir bagaimana perasaanku, mereka bertanya apakah aku hamil duluan hingga putus sekolah.
Singakat cerita aku bukan lagi anak sekolah, aku yang biasanya ceria berubah menjadi tertutup. Bahkan orangtuaku tidak berhasil membuatku buka mulut. Aku menyukai musik. Mereka menawarkanku bersekolah musik di sebuah sekolah musik yang pendirinya cukup terkenal di indonesia. Aku setuju, aku tahu mereka berpikir mungkin ini akan membuatku kembali menjadi diriku yang dulu.
Sekolah musik itu punya jadwal dua kali pertemuan dalam seminggu. Saat itu mentorku adalah seorang lelaki berusia 27 tahun. Dia baik, mengajariku dengan sabar. Aku menyukai belajar musik di sana. Namun itu tidak membuatku berubah seperti dulu. Aku tetap menjadi pribadi yang tertutup, muram, dan pendiam.
Dua tahun aku belajar musik di sana dan berhenti saat tiba-tiba usaha keluargaku mengalami musibah. Aku mencari pekerjaan. Satu tahun aku bekerja dan tiba-tiba kudengar dia sudah kembali dari luar negeri. Luka yang hampir kering di hatiku terasa kembali basah. Apalagi saat tak lama kemudian kudengar dia akan menikah. Rasanya semakin menyakitkan, perih, seperti luka basah yang telah di siram air garam.
Setelah kutahu bahwa dia telah menikah, aku hampir kembali lagi seperti baru pertama kali dicampakkannya. Penyesalan karena kehilangan kesucianku begitu saja, hanya karena atas nama cinta, semakin menghantuiku setiap malam, membuatku sulit tidur dan sering menangis di malam hari.
Sejak saat itulah aku memutuskan tidak ingin lagi jatuh cinta. Bertahun-tahun aku membenci diriku sendiri. Menyesal telah jatuh cinta. Tapi kemudian aku menyadari bukan cinta yang salah, aku hanya telah menempatkan cinta pada laki-laki yang salah.
Di usiaku yang ke-22, di saat semua teman-teman seusiaku sudah menikah, orang tuaku bertanya, “Tidakkah kamu ingin menikah?” Apa yang kurasa saat itu adalah aku ingin menangis. Bagaimana mungkin akan ada laki-laki yang mau menerimaku? Mungkin ada jika aku tidak mengatakan keadaanku, namun bukankah itu sama saja berbohong?
Malamnya, dalam sujud salatku aku menangis. Hampir setiap malam dalam lima tahun lamanya aku meminta pengampunan kepada Tuhan. Malu dengan apa yang telah kuperbuat di masa remaja ku. Kuminta juga agar Tuhan mendatangkan laki-laki yang mau menerimaku. Tak perlu mapan ataupun tampan.
Suatu hari bibi dan paman datang ke rumahku, membicarakan hal yang serius dengan orang tuaku. Mereka mengajakku juga. Ternyata bibi hendak menjodohkan dengan seorang anak temannya. Hatiku menciut, tanganku berkeringat. Satu hal yang pada saat itu ada dalam benakku. Apakah aku siap? Siap mengatakan keadaanku kepada lelaki itu bila dia memang ingin menikahiku?
Bibi bilang dia sudah setuju untuk bertemu denganku lebih dulu. Dibeberkannya pula bahwa laki-laki itu cukup tampan dan mapan, akan tetapi dia pernah ditinggal menikah dua kali oleh perempuan yang berbeda sehingga membuatnya tidak mau lagi menjalin hubungan dengan perempuan. Itu membuatku merasa simpati karena merasa bahwa ada kemiripan di antara kami. Kami sama-sama dibuat patah hati dan tidak ingin lagi merasakan cinta. Di saat semua orang menunggu keputusanku, aku tidak tahu kenapa aku langsung mengiyakan dan setuju untuk bertemu dengannya.
Malam itu orang tuaku, bibi dan paman berada di rumahku. Kami bersiap-siap mengadakan sebuah pertemuan. Aku duduk di dalam kamar, merasa cemas. Sebuah mobil terdengar memasuki halaman depan rumah. Aku menengok keluar melalui kaca jendela kamarku dan terkejut saat melihat seseorang yang sudah kukenal dulu memasuki rumah, diikuti oleh orang tuanya beserta adik laki-lakinya yang usianya sebaya denganku. Dia terlihat berbeda namun aku tahu aku tidak salah melihat, dia adalah mentorku di sekolah musikku dulu.
Kami semua berkumpul di ruang tamu, orang-orang mengobrol sementara aku tertunduk dengan menatap kedua tanganku yang berkeringat. Sesekali mengangkat wajahku dan menemukannya tengah menatapku. Di sisi lain aku masih terkejut, tidak menyangka bahwa laki-laki yang dimaksud bibi adalah dia, tetapi entah mengapa aku sama sekali tidak melihatnya terkejut saat kami bertemu.
Kami dipersilakan untuk berbicara berdua, setelah basa-basi akhirnya aku tahu mengapa dia merasa tidak terkejut saat melihatku. Rupanya bibi telah lebih dulu menunjukkan fotoku padanya dan pada akhirnya dia pun bertanya mengapa aku menyetujui perjodohan ini. Dia juga mengatakan bahwa dia tidak ingin berpacaran, jika kami merasa cocok, dia ingin langsung menikah. Jadi aku menjawab sejujurnya, bahwa aku pernah disakiti laki-laki dan dicampakkan hingga aku tidak ingin lagi menjalin sebuah hubungan, dan kukatakan bahwa mendengar kisahnya membuatku merasa kalau kami sama-sama memiliki pengalaman dicampakkan.
Dia tersenyum miris dan mengatakan bahwa salahnya karena terlambat mengatakan kejujuran terhadap mantan calon-calon istrinya. Secara blak-blakan mengatakan dia tidak akan mampu memiliki keturunan. Dikatakannya padaku bahwa kali ini dia tidak ingin terlambat mengutarakan kejujuran itu. Kutatap matanya, lalu mengedarkan pandanganku, berhati-hati dengan kemungkinan keluarga kami mendengarkan, lalu berbisik, “Bagaimana jika kukatakan aku juga punya kekurangan yang mungkin tidak bisa diterima oleh laki-laki?” Dia menunggu dan lidahku terasa kelu saat aku hendak mengatakannya, “Aku tak suci lagi,” bisikku.
Dia diam sejenak, tampak berpikir lalu bertanya, “Apakah ada lagi?” Aku menggeleng dan dia tersenyum, “Aku mencari calon istri yang mampu menerimaku apa adanya, yang mau mendampingi hidupku, bukan untuk memuaskan nafsu birahiku.”
Satu minggu setelah pertemuan keluarga, dia sama sekali tidak menghubungiku padahal malam itu kami saling bertukar nomor ponsel. Kupikir dia berubah pikiran, namun beberapa hari kemudian, pada malam hari dia datang lagi bersama orangtuanya secara mendadak dan tanpa pemberitahuan. Kedatangannya adalah untuk melamarku. Aku bingung, tapi jelas lega karena tahu bahwa dia tidak mempermasalahkan kesucianku. Aku berdoa dalam hati, memohon agar Tuhan membimbing hati dan bibirku mengucapkan jawabanku untuknya. Dan dengan mengucapkan bismillah aku menerimanya.
Tidak menunggu lebih lama, kami akhirnya menikah. Satu tahun kami menikah. Pernikahan yang dilandasi dengan keterbukaan, kepercayaan dan saling peduli tanpa adanya cinta di dalam perasaan kami. Namun entah sejak kapan, perlahan-lahan perasaan cinta kami mulai tumbuh.
Kami hidup dengan saling melengkapi. Saling menutupi kekurangan satu sama lain. Kubilang aku belum siap hamil. Karena memang kekurangan suamiku tidak pernah diketahui orang lain. Hanya kami berdua dan mungkin mantan calon-calon istrinya dulu.
Aku tidak pernah berhenti bersyukur karena Tuhan memberiku sosok suami yang baik dan amat sangat menyayangiku, menjagaku dengan baik dan seringkali menutupi kesalahanku.
Dia bilang, “Setiap orang punya masa lalu yang pahit."
Terima kasih, Mas. Kamu tidak pernah membuatku malu dengan mempertanyakan atau mengungkit kesucianku.
Terima kasih karena tidak pernah bosan membimbingku agar menjadi istri baik.
Terima kasih atas segalanya, Mas. Aku mencintaimu.
- Bersahabat dengan Pria Makin Menyesakkan Dada Saat Muncul Perasaan Cinta
- Kalau Sudah Jodoh, Semua Serba Tak Terduga dan Cepat Terjadinya
- Rindu Setelah Kehilangan Itu Berat, Tapi Doa Selalu Menjadi Penguat
- Salahkah Aku yang Mencintai Papa Tiriku?
- Yang Berat dalam Cinta Itu Bukan Pengorbanan, Tapi Memaafkan Pengkhianatan
(vem/nda)