Dit, Ibuku Seorang Pelakor Karena Ayahmu ataukah…?

Fimela diperbarui 22 Feb 2018, 15:30 WIB

4 tahun lalu, seorang anak lelaki dalam usia menjelang sepuluh tahun, harus menerima kenyataan dalam hidupnya, bahwa ibunya dengan sepenuh hati memutuskan untuk memilih berhubungan ‘asmara terlarang’ dengan lelaki lain. Menjadi sebuah hubungan terlarang karena ibunya memilih seorang lelaki yang masih memiliki isteri, bahkan memiliki anak lelaki yang seusia dengan dirinya. Sebuah takdir yang membingungkan bagi bocah belia yang belum akil baliq, namun harus ter’invasi’ dengan permasalahan orang dewasa yang sejatinya tak patut untuk disajikan kepadanya.

Di kala ayahnya kandungnya sendiri tengah merantau jauh untuk bekerja, di saat itu pula dia mendapati sebuah melodrama perselingkuhan yang dilakukan oleh ibunya dengan lelaki lain, yang juga suami dari perempuan lain dan ayah dari anak yang lain. Sungguh sebuah ujian kehidupan yang tak mudah untuk ditempuh, alur kisah nyata yang teramat susah untuk dicernanya yang sekaligus mengakibatkan gegar batin yang ternyata tak tersembuhkan dengan tuntas hingga kini, bahkan mungkin sampai dia menjadi dewasa sepenuhnya dalam komplitnya nurani dan matangnya logika.
 
“Ibuku seorang pelakor,” demikian desahnya setiap mengingat kembali peristiwa demi peristiwa perselingkuhan yang terjadi di depan matanya di kala itu.  “Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa penyebabnya? Semua ini salah siapa?” demikian pertanyaan demi pertanyaan yang memicu hati kecilnya untuk berdiskusi secara serius dengan nalarnya, demi mencari lalu menimbang – nimbang kemudian menetapkan jawaban yang paling mengena.
 
Pernah dia menyalahkan dirinya sendiri, karena tak kuasa mencegah perselingkuhan yang terjadi, bahkan dalam diam dia justru harus menjadi saksi mata perselingkuhan antara ibunya dengan lelaki lain yang juga suami perempuan lain sekaligus ayah dari seorang anak yang lain. Kemudian dia menyalahkan ayah kandungnya, yang harus pergi merantau meninggalkan dirinya beserta ibu dan adiknya, sehingga tak ada yang bisa mencegah terjadinya ‘malapetaka’ perselingkuhan nan nista ini. Tapi seringkali dia juga menyalahkan dan mengutuk ibunya, yang dengan tega melakukan pengkhianatan dalam perselingkuhan yang dilakukan di depan matanya. Bukan saja pengkhianatan terhadap suami sah ibunya, yang juga ayah kandungnya sendiri, namun juga terhadap dirinya, anak kandung ibunya, yang semestinya ditempatkan oleh ibunya di atas keinginan dan kepentingan ibunya sebagai bagian dari falsafah dalam keluarga yang harus dijunjung semua orang tua di dunia. Demi anak, seharusnya semua orang tua bisa membijaksana dalam hal menetapkan prioritas mengambil tindakan yang dilakukan serta menetapkan keputusan ataupun pilihan.
 
Suatu ketika, dalam rasa penasaran dan gundah gulananya atas permasalahan perselingkuhan ibunya yang masih tersimpan kuat di bawah alam sadarnya, dia bermimpi. Dia bermimpi bertemu dengan anak kandung dari lelaki yang juga mengkhianati pasangannya untuk menjadi pasangan selingkuh ibunya. Dan merekapun bercakap – cakap dalam dialog imajiner yang kemudian dikenangnya hingga kini;
 
“Dit, Ibuku menjadi pelakor karena ayahmu, ataukah ayahmu menjadi ‘gila’ karena ibuku?” dalam mimpinya dia bertanya.
“Entahlah Al, tapi yang jelas ibuku pernah mencaci ayahku sebagai ‘pengkhianat’ yang tak akan bisa dimaafkannya.”
 
Bocah lelaki, anak dari lelaki yang menjadi pasangan selingkuh ibunya,  yang dalam mimpinya duduk berdampingan di pinggir tebing dangkal sebuah telaga kecil dengan beberapa ekor angsa berenang hilir mudik di tengah – tengahnya. Kemudian;
“Iya Dit, ayahkupun juga mengutuk ibuku, sebelum dengan tegas mengucapkan ‘aku ceraikan kamu’ tiga kali di depan mata kepalaku.”
“Sama Al, Akupun menyaksikan ibuku pun juga mengusir ayahku pergi dan menikahi ibumu saat mengetahui hubungan mereka berdua.”
 
Keduanya menunduk memandangi ujung kaki masing – masing yang menyentuh permukaan air telaga yang terasa dingin, sedingin hati mereka yang telah lama membeku.
“Dit, kamu tahukah apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua?”
“Entahlah Al, tapi ayahku bilang ini sudah takdir dan dia ingin mengikuti kata hatinya untuk hidup bersama ibumu ketimbang memilih ibuku dan aku.”
“Kok sama Dit. Ibukupun yakin bahwa hubungannya dengan ayahmu sudah ditakdirkan olehNya dan dia yakin akan berbahagia dengan mengikuti kata hatinya.”
 
Kembali mereka tertunduk untuk kesekian kali dan kali ini mereka menunduk lebih dalam, seolah ada bauran rasa sedih, kecewa, namun juga perasaan kalah yang teramat telak. Hingga lama berselang, lalu kemudian terdengar suara pelan hampir tak terdengar;
“Ya sudahlah Al, jika memang harus begitu, semoga mereka berdua bahagia.”
“Aamiin, semoga mereka berdua bahagia. Tapi, bagaimana dengan kita, Dit? Bagaimana dengan aku, adikku dan kamu sendiri? Bagaimana?”
 
Pertanyaan – pertanyaan yang tak berjawab di akhir mimpi singkatnya ini, seolah penegas atas sebuah pembelajaran panjang yang teramat sangat nyata, bahwa upaya untuk memahami misteri hati manusia tak akan pernah berhasil dengan tuntas, tak akan menggapai rasa lega dan puas. Dan setelah beberapa saat dia terjaga secara sempurna dari tidur dan mimpinya ini, diapun masih tetap mendesah dalam sebuah kalimat yang berulang kali telah diucapkannya;
 
“Ibuku seorang pelakor.”

Yang kali ini ditambahnya dengan; "...semoga dia bahagia."
 

(vem/ivy)
What's On Fimela