Yang Berat dalam Cinta Itu Bukan Pengorbanan, Tapi Memaafkan Pengkhianatan

Fimela Editor diperbarui 07 Okt 2021, 15:00 WIB

Tulisan sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini sungguh mengaduk-aduk perasaan. Tak terbayang bila kejadian seperti ini kita sendiri yang mengalaminya.

***

Semua berawal saat cinta di SMA bersemi, saat tiga kata mulai keluar dari bibirnya. Sederhana memang, namun dia lah orang yang berhasil membuatku yakin cintaku pantas kuberikan padanya. Tak mudah untuk memenangkan hatiku, rata-rata orang menilaiku sangat selektif. Lima tahun berpacaran bukanlah waktu yang singkat. Aku menjalani dengan penuh keseriusan, tidak ada kata main-main bagiku. Sungguh aku telah menjatuhkan pilihan padanya. Dia pun telah berkata demikian.Hingga saatnya kami lulus SMA dan berada di kampus yang berbeda. Aku tetap yakin padanya. Dia bukan tipe lelaki yang genit.  Aku sendiri adalah calon dokter saat itu, aku diperintah oleh orangtuaku untuk berkuliah di jurusan kedokteran, dan benar saja aku tak menolak. Dokter juga profesi mulia yang kuincar. Dalam kedokteran aku belajar banyak hal. Semua hal tentang pengobatan dan kesehatan itu sudah pasti. Sedangkan saat itu kekasihku bukan seorang dokter, ia mengambil jurusan kesenian. Itu tidak masalah bagiku. Aku tetap mendukungnya di segala hal. Yang penting ia suka dan sikapnya tetap bagi padaku.Tahun demi tahun keseriusan dalam menjalani hubungan telah kami lalui. Aku juga telah mengenal orangtuanya. Yang aku tahu, aku sangat suka pada sikap kedua orangtuanya yang baik sekali padaku. Restu juga telah didapat. Tibalah giliranku membawa kekasihku ke rumahku. Hal biasa bagiku, sebab kutahu sebentar lagi cinta kami akan terpublikasi di hadapan orangtua.

Namun harapanku berbalas kehancuran. Tidak ada kata restu yang kami terima. Kekasihku ditolak mentah-mentah. Ayah dan ibuku pun tak bisa lagi mengondisikan kata-kata kasarnya. Mereka sama sekali tak suka dengan kekasihku. Mereka berkata, tidak akan mengizinkan putri semata wayangnya dipersunting seseorang yang belum jelas masa depannya.Tuhan, apakah seorang pecinta seni tidak punya masa depan? Itulah gumamku dalam hati. Entah apa yang dipikirkan ayah dan ibu. Mereka tak memberikan restu pada kami. Setiap saat aku diawasi agar tak menjalin hubungan lagi dengannya. Namun apalah dayaku menolak cinta yang sudah terlanjur tumbuh. Beragam cara kami lakukan agar bisa bertemu. Hingga akhirnya kami menyelesaikan studi masing-masing. Aku menjadi seorang dokter dan ia menjadi seorang pelukis dan seniman. Meski demikian, restu belum kami dapat. Tidak ada yang bisa menerima kekasihku saat itu. Seluruh keluargaku seakan menutup rapat pintu hatinya. Entahlah, mereka terlalu memberikan ukuran di dunia fana ini.Sembilan tahun terhitung kami menjalani kisah cinta yang seakan gagal bermuara ini. Tapi aku tetap yakin akan menemukan muaranya. Kekasihku dan aku pun mulai bekerja di tempat masing-masing. Hingga suatu ketika kami kembali lagi meminta restu pada orangtuaku. Lebih parah dari yang sebelumnya. Kekasihku mendapatkan perlakuan fisik dari ayah. Aku tak sanggup menceritakannya. Aku menangis semalaman bahkan seminggu. Aku tak diizinkan lagi bertemu dengannya. Semua alat komunikasiku disita. Aku tak diberi izin pergi bekerja.

Saat malam dan di tengah tangisan lelah yang telah menimpaku selama seminggu. Tanpa kuduga kekasihku datang. Namun kedatangannya kali ini bukan untuk menemui orangtuaku lagi. Ia hanya ingin menemuiku dan berkata ingin membawaku pergi.  Aku yang terlampau sedih langsung memeluknya dan segera meninggalkan rumah. Ia membawaku ke rumah orang tuanya. Dia adalah sosok kekasih yang tidak mau macam-macam. Karena itulah aku sangat yakin kepadanya.Malam itu, tepat di malam Valentine dia memberikan sebungkus cokelat dan bunga padaku. Sungguh sederhana. Namun ada empat kata di sana. Kata itu tak lain adalah, "Will you marry me?" Aku langsung menangis dan memeluknya. Tiada lagi yang kupikirkan selain bagaimana pun aku tetap harus bersamanya mengarungi hidup yang tidak mudah ini. Tidak ada yang bisa menemukanku saat itu, aku bersembunyi bersamanya. Kami menikah dan sangat bahagia. Aku pun tidak lagi bekerja karena takut akan ditemukan ayah dan ibu.Tiga bulan kami menikah, kado terindah pun mulai hadir. Saat kekasihku yang kini telah resmi menjadi suamiku kuberitahu akan menyandang status sebagai ayah beberapa bulan lagi. Dia yang ada di kantor saat itu langsung pulang ke rumah dan memelukku. Sungguh hari yang teramat indah. Meski aku tak bekerja, kami tetap berkecukupan, usaha suamiku mulai menjadi besar hingga ia sukses membuka cabang. Tetap saja usahanya berada di bidang seni. Aku kembali teringat pemikiran ayah dan ibu yang saat itu menyepelekan kekasihku. Sekarang ia bisa membuktikan bisa sukses. Beberapa bulan kemudian, anak pertama kami pun lahir, ia seorang putra yang tampan.

Beberapa hari setelah kelahiran putra pertama kami, dan entah dari mana ibu dan ayah tahu keberadaanku. Mereka secara mengejutkan datang dan menemuiku. Tanpa berkata panjang, mereka langsung memelukku dan juga mencium anak kami. Oh Tuhan sungguh aku bahagia. Suamiku pun tampaknya telah melupakan dendam di hatinya. Dia mencium tangan kedua orangtuaku seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Dia memang sosok lelaki yang sangat rendah hati dan bertanggung jawab, ia juga tidak pendendam. Itulah cintaku yang sangat tepat pikirku.Akhirnya restu pun kami dapat. Pernikahan berjalan harmonis. Lima tahun berlalu, yang banyak orang katakan adalah tentang permasalahan dalam pernikahan yang kan muncul. Aku tak percaya itu, sebab aku terlampau percaya dengan suamiku. Aku menjadi wanita yang sangat bahagia. Menjadi seorang ibu dan seorang istri itu hal sempurna dari seorang wanita bagiku. Itulah juga yang aku tahu.Usaha suamiku semakin sukses, dan aku sukses menjadi istri yang bahagia meski tak berprofesi di klinik ataupun di kantor. Pada awalnya sebenarnya tidak ada hal aneh yang kurasakan, hanya saja suamiku 4 bulan terakhir sedang menjalankan bisnis di luar kota dan sering pulang malam. Sikapnya sama sekali tak pernah berubah, dia tetap sama dan sangat sayang padaku.Namun dari hal yang tidak bisa kutebak itulah permasalahan muncul. Siapa sangka saat malam Valentine dan tepat di usia pernikahan kami yang ke-5 tahun, suamiku sedang tidak ada di sampingku. Aku yakin dia akan meneleponku nanti malam dan mengatakan kata-kata kasih sayang. Benar saja, malam itu teleponku berdering, dengan senyuman yang merekah kuangkat telepon itu. Namun nyaris berbeda, bukan suara suamiku yang kudengar, melainkan suara seorang wanita yang mengatakan, "Aku bersama suamimu dan aku menyayanginya."

Pertama aku tak mengerti dan hanya terdiam. Namun yang membuat petir menyambar kepalaku adalah terdengar suara latar suamiku di belakangnya. Si perempuan itu tidak mematikan teleponnya. Kudengar suara orang yang sangat kusayangi itu mengucapkan selamat Valentine kepada sosok wanita yang meneleponku. Keringatku semakin mendidih. Apa arti semua ini, inikah ujung dari kisah cinta yang sudah mati-matian aku pertahankan pikirku dalam hati?Aku segera menutup telepon itu dan tak bisa menahan tangisanku. Tidak mungkin kejadian ini aku ceritakan kepada kedua orangtuaku yang baru saja membuka hati untuk suamiku. Untunglah aku masih sadar betul bahwa aku tak sendiri. Aku masih punya Tuhan, anak, dan orangtua yang menyayangiku. Sepanjang malam aku menangis dalam doaku. Tiada lagi ucapakan kasih sayang dari deringan telepon yang aku harapkan. Semua sirna ditelan dusta. Berbeda dengan biasanya, setiap hari suamiku akan menelepon tepat pada pukul 08.00 untuk menanyakan kabar putra kami. Namun tidak untuk hari ini. Tiada lagi yang kupikirkan selain benar bahwa ini adalah pengkhianatan.Tiba-tiba kudengar suara mobil yang masuk ke garasi. Dan benar saja itu dia suamiku. Tanpa berpikir panjang, langsung kutemui dia. Menahan air mata adalah kekuatanku. Aku pun mulai bertanya padanya, "Inikah ujung dari perjuangan cinta kita selama ini, hingga sejauh ini, hingga sesakit ini? Inikah?" bentakku sambil bertanya. Suamiku menunjukkan muka tak bersalah, ia mencoba merangkulku dan aku segera menepis rangkulannya sambil berkata, "Buat apa? Supaya aku percaya? Supaya aku menerima apa yang terjadi? Tidak. Kelakuanmu tak bisa kuterima." Untuk pertama kalinya suamiku membalas kata-kata dalam perbincangan itu. Dia mengetahui sikapku yang selalu to the point, "Aku khilaf, dia yang menggodaku, dia mantan pacarku dulu." Hanya itulah kalimat tak bermutu yang keluar dari mulutnya. Selebihnya tak ada.Saat itu, aku hanya memperhatikan wajahnya. Dia tak mampu lagi menatapku. Dia seakan tak punya lagi kepercayaan dariku dan itu benar adanya. Dari dalam rumah, aku segera mengambil anakku dan mengemasi barang-barangku. Tampak suamiku tertunduk dan tak bisa menghentikan langkahku.Sebelum aku pergi kukatakan padanya, "Aku belajar banyak, Tuhan Maha Baik, Ia menunjukkan tiada tempat berharap selain padaNya. Ya, seperti inilah, karena aku hanya berharap pada seorang manusia," sembari aku meninggalkannya. Namun sebelum aku pergi dia memanggilku dan mencium buah hati kami yang saat itu ada di gendonganku. Sungguh berat dan pahit memang kejadian ini bagiku. Aku segera bergegas dan meninggalkannya dalam mendung sore itu. Entah apa yang dia pikirkan hingga tak mengatakan apapun ketika kami pergi, aku pun tak lagi bisa berpikir jernih sama sekali.

Beberapa bulan berlalu, aku mulai bisa mengajak hatiku berdamai. Lukanya belum sembuh namun apalah dayaku yang tak terlampau mampu untuk mengobatinya. Buah hatiku mulai tumbuh besar dan sudah mampu menanyakan di mana ayahnya. Aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya mampu mengalihkan pembicaraan ketika ia bertanya hal itu. Terkait masalah ini, tak ada yang mengetahuinya. Ayah dan ibu sama sekali tidak mengetahuinya. Ya, tidak mungkin mereka kuberitahu tentang kekhilafan seorang lelaki yang pernah mereka benci itu. bisa- bisa kebencian itu hadir kembali setelah sekian lama dan mulai membaik.Bukan hal mudah bagiku menjalani hidup bersama putraku dalam beberapa bulan ini. Hingga bulan itu berubah menjadi tahun dan akhirnya tibalah saatnya malam Valentine yang menandai hari jadi kami. Haruskah ada air mata lagi malam ini pikirku dalam hati? Ah, aku tak mau ambil pusing, aku bisa menikmatinya bersama buah hatiku. Ia sudah pasti menyayangiku dan tidak mengecewakanku.

Tepat pukul 24.00, di balkon apartemen itu, aku melihat ribuan bintang sendiri. Anakku juga sudah tidur. Aku tak bisa membendung air mataku di malam itu. Aku tak menyangka bisa sehancur ini pada akhirnya.

Angin malam itu pun turut membelai belai hatiku yang luka. Namun saat aku membalik ke belakang untuk masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba hadirlah sosok suamiku di hadapanku. Mataku yang masih penuh air mata tentu terlihat olehnya. Entah apa gerangan ia langsung berlutut di hadapanku. Desisan kata maaf mulai terangkai dari bibirnya. Dari semua kata yang ia ucapkan hanya ada ungkapan penyesalan yang bisa kusimpulkan. Air matanya jatuh di kakiku. Tampak ia merasakan sakitnya hatiku selama ini, itupun kalau dugaanku benar. Tak bisa aku berpikir. Jika ditanya tentang rasa cintaku padanya memang tidak pernah berkurang. Yang berkurang adalah kepercayaanku padanya.  Malam itu juga ternyata ia membawakan kue ulang tahun pernikahan yang dipenuhi cokelat. 

Pelukan hangat kasih sayang pun tersaji malam itu, entah perasaan apa yang telah menyelimutiku, yang kutahu hanyalah ia sekarang kembali bersamaku. Kami melewatkan malan itu dengan penuh koreksi. Introspeksi dalam permasalahan dan pendewasaan diri sangatlah penting.

Dari hal ini aku percaya bahwa cinta bukan hanya butuh perjuangan, pengorbanan, ataupun merelakan. Namun menerima kembali cinta yang sudah terlanjur menyakiti adalah bagian dari cinta sejati. Karena menurutku tiada yang bisa menerka sebatas mana rasa cinta seseorang.

(vem/nda)

What's On Fimela