Ketika Kehilangan Rasa Percaya Diri Membuat Hidupku Seakan Tak Berarti

Fimela diperbarui 21 Feb 2018, 18:45 WIB

Mencintai diri sendiri bisa jadi butuh perjuangan yang lebih berat dibandingkan mencintai orang lain. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini. Saat kamu sedang dilanda krisis percaya diri atau kehilangan rasa percaya diri, membaca ini bisa membuat perasaan jadi lebih tenang.

***

Love yourself for who you are. Mungkin kalian pernah membaca untaian kata yang terdengar sederhana, tetapi menyimpan makna yang sangat dalam itu. Untukku pribadi, mencintai diri sendiri adalah sebuah proses yang akan terus berjalan beriringan dengan setiap hembusan napasku. Itu berarti, selama aku hidup, aku akan terus berjuang untuk mencintai diriku dan menjadi versi terbaik dari diriku.

Mencintai diri sendiri sebagaimana adanya aku bukan suatu hal yang mudah. Aku akan menceritakan padamu apa saja yang sudah aku lalui hingga aku bisa berada di fase mampu berdamai dengan diri sendiri seperti sekarang ini. Aku tidak begitu ingat kapan persisnya krisis percaya diri mulai menguasaiku. Tapi aku menyadari, permasalahan itu muncul perlahan-lahan ketika aku duduk di bangku kuliah.



Selama masa SMP dan SMA, aku adalah seseorang yang sangat aktif berorganisasi dan mengikuti berbagai jenis perlombaan. Sewaktu berada di bangku SMP, aku bergabung dengan keanggotaan OSIS dan menjabat sebagai sekretaris selama satu periode. Aku juga aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler English Club di sekolahku setiap hari Sabtu sore. Tidak hanya itu, aku juga selalu menjadi utusan kelasku pada kegiatan pekan olahraga dan seni (porseni) di setiap semester. Aku pernah mengikuti lomba interview contest, story telling, membaca puisi dan menulis cerpen. Rasa percaya diri, semangat dan ambisiku yang membara kala itu selalu mengantarkanku memperoleh juara meski tidak selalu berada di urutan pertama. Prestasi terbaikku adalah sewaktu memperoleh juara harapan dua lomba menulis cerpen mewakili kotaku di tingkat provinsi.

Pengalaman yang kumiliki selama berada di bangku SMP menjadi bekal yang sangat berarti bagi perjalananku di masa putih abu-abu. Aku kembali menjadi bagian pengurus OSIS dan menjadi panitia MOS (Masa Orientasi Siswa). Aku juga masih aktif mengikuti lomba menulis cerpen. Keinginanku untuk berkembang dengan mencoba hal-hal baru membuatku memberanikan diri mengikuti lomba menari tradisional. Aku juga menjadi pembaca tata tertib upacara di sekolahku selama dua tahun. Aku merasa hari-hariku sangat produktif dan berwarna pada masa itu.

Aku semakin percaya diri karena mampu menyeimbangkan kesibukanku itu dengan prestasi akademikku. Aku selalu berada di urutan sepuluh besar kelas. Bagiku, prestasi akademik juga tak kalah penting. Aku tidak boleh ketinggalan pelajaran jika ingin mendapat restu kedua orangtuaku untuk tetap aktif berorganisasi dan mengikuti lomba. Indahnya masa putih abu-abu yang aku miliki juga tak lepas dari peran beberapa sahabat baik yang sangat mengerti kesibukanku dan selalu mendukungku. Mereka tidak pernah meninggalkanku meski aku harus mengorbankan kebersamaan kami karena ada kegiatan OSIS yang tidak boleh aku lewatkan.


Di usia 18 tahun, aku harus merantau meninggalkan keluargaku demi melanjutkan pendidikanku di bangku perguruan tinggi. Yogyakarta menjadi kota pilihanku. Perbedaan pulau membuatku tidak bisa pulang ke rumah sesering mungkin. Keterbatasan finansial menuntutku hanya bisa pulang sekali dalam setahun, setiap libur semester genap.

Di perantauan, aku ngekos dengan beberapa teman SMA. Kami menempati kamar yang berbeda, meski sering saling berkunjung dan menginap. Saat itulah krisis kepercayaan diri mulai menyerangku dan membunuh karakterku perlahan-lahan. Aku seperti menjadi seseorang yang sangat berbeda jauh dari aku yang dulu. Aku cenderung lebih pemurung, pendiam, suka menyendiri dan minder. Aku memiliki teman-teman yang ceria dan sangat hiperaktif, membuat aku merasa mereka terlalu mendominasi dan tidak cocok dengan aku yang lebih pendiam dan kaku.

Aku sering menghabiskan malam dengan merindukan keluarga dan sahabat-sahabatku yang tersebar di berbagai kota. Aku menangis, mengurung diri di kamar ketika teman-temanku di perantauan bepergian entah kemana tanpa mengajak aku. Aku tak tahu pasti, bisa jadi mereka memang menganggapku tidak asyik atau memang aku yang telah lebih dulu menarik diri dari mereka. Entahlah.

Pada masa itu, aku juga tidak pernah lagi mengikuti lomba apa pun. Perlahan aku menelantarkan hobiku menulis. Aku juga tidak seaktif dulu dalam berorganisasi. Aku memang masih bergabung dalam beberapa organisasi, tapi ambisi untuk menjadi pengurus seolah padam. Dengan hanya menjadi anggota, aku merasa sudah cukup.

Aku mulai menyukai kesendirian dan membenci keramaian. Aku mulai membenci diriku yang susah beradaptasi. Aku membenci diriku yang tidak cantik dan fashionable seperti perempuan-perempuan di kampusku. Aku jadi lebih suka membandingkan diriku dan tidak bersyukur atas hidupku.



Instagram juga memegang peranan penting dalam menambah krisis kepercayaan diriku. Aku menyimpan rasa iri pada mereka yang berwajah cantik, bergelimang harta dan diselimuti ketenaran. Aku ingin sama seperti mereka. Perlahan, aku mulai membentuk suatu standar yang mengharuskan aku menjadi serupa dengan mereka meski aku harus memaksakan diri dan itu berarti aku kehilangan jati diriku. Aku mengejar angka-angka yang maya pada jumlah likes di setiap postingan fotoku. Dan ketika angka-angka itu tidak sebanyak harapanku, aku mulai kecewa dan bertanya-tanya seolah itu adalah persoalan yang sangat besar.

Aku mulai mengutuki diriku. Aku tidak terima dengan postur tubuhku yang pendek, aku merasa aku terlalu gendut dan aku benci pada jerawat yang menyebar di wajahku. Aku juga marah karena aku terlahir dengan alis dan rambut yang tipis. Aku membenci diriku dan berusaha sekeras mungkin untuk mencapai standar kecantikan yang aku idam-idamkan.

Setelah lulus kuliah, aku pindah ke Jakarta dan tinggal menumpang di rumah saudaraku. Aku ingin mencari pekerjaan di ibukota. Saat itu, aku masih belum bisa mencintai diriku. Aku masih sering mengeluh soal berat badan, jerawat dan beberapa hal sederhana lainnya. Ditambah lagi, belum memperoleh pekerjaan setelah berbulan-bulan menganggur membuat aku semakin stress dan frustasi. Aku tidak mengerti apakah itu memang karena stres atau bukan, tetapi pada masa itu aku pernah tidak menstruasi selama empat bulan. Tidak hanya itu, berat badanku juga naik drastis belasan kilo meskipun aku berjuang keras menjaga pola makan dan berolahraga.

Bisa dikatakan saat itu adalah salah satu masa terpurukku. Aku merasa terbebani dengan status pengangguran yang kumiliki, di saat aku sendiri merupakan lulusan salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia dan lulus dengan nilai yang cumlaude pula. Aku merasa tidak berarti dan mulai putus asa. Ditambah lagi, aku mulai mendengar omongan orang-orang yang bertanya mengapa aku belum juga mendapat pekerjaan. Mereka menganggap aku terlalu memilih-milih pekerjaan, bahkan mereka menilaiku kurang berjuang. Mereka juga tidak ketinggalan mengomentari badanku yang semakin melebar.



Omongan dari mereka mulai meracuniku dan tidak jarang membuatku menangis hampir setiap malam. Di depan mereka, aku bertingkah seolah semuanya tidak apa-apa. Aku membiarkan mereka terus meledekku, mengejek fisikku. Padahal jauh di dalam hatiku, aku sangat terluka.

Pernah suatu kali di pertengahan Mei 2017, aku pergi ke Surabaya untuk mengikuti tes tahap terakhir seleksi penerimaan karyawan salah satu BUMN. Wawancara. Aku sudah melalui beberapa tes di Jakarta untuk bisa sampai di tahap itu. Tahap penentuan. Aku berangkat naik kereta api menuju Surabaya dan tinggal menumpang di kosan salah satu temanku yang kuliah di sana.

Aku sudah pernah beberapa kali mengikuti tahap wawancara pekerjaan, tapi yang satu itu rasanya berbeda. Aku seperti lebih gugup dan merasa tertekan mengingat sudah sebanyak apa yang sudah aku korbankan untuk bisa ada di tahap itu.

Ketika memasuki ruangan wawancara, aku disambut oleh dua orang pria yang terlihat lebih tua dari usiaku. Mereka menyambutku dengan hangat dan ramah, bahkan salah seorang dari mereka mengajakku bercanda dengan mengatakan dia menyangka aku adalah salah seorang anggota group JKT 48.
“Tak kira kamu artis lho.” Dia berkelakar dengan logat Jawa.
Aku hanya tertawa gugup.

Aku ingat betul, kegiatan wawancara itu berjalan selama hampir dua jam. Apakah kalian percaya bila kukatakan saat proses itu sedang berlangsung aku malah menangis? Iya, benar. Aku tak berbohong. Aku memang menangis di hadapan mereka berdua. Aku tak mengerti mengapa aku tidak mampu menguasai emosiku. Air mataku tumpah begitu saja saat mereka mengatakan mereka mampu melihat rasa tidak percaya diriku yang begitu besar. Mereka mampu merasakannya dan menyayangkannya. Mereka memotivasiku untuk tampil lebih percaya diri dan memberikan beberapa pesan yang membangkitkan semangatku.
“Padahal kamu cantik loh, masa nggak pedean," kata mereka waktu itu.
Seperti yang sudah kalian duga, aku tidak lulus waktu itu. Aku mesti menunggu dua minggu untuk mengetahui hasil seleksinya. Kejadian itu akan aku kenang meski sudah lama berlalu.



Kini aku sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Banyak hal yang aku renungkan dalam-dalam dan lakukan hingga mampu berada di titik ini. Apa yang ingin aku bagikan kepada kalian adalah bagaimana mencintai diri sendiri. Aku menyadari, di zaman sekarang ini kita seolah-olah memiliki ketergantungan pada pengakuan orang lain tentang diri kita. Kita ingin mendapatkan pengakuan, dan mendapatkan tempat di mata orang-orang. Kita meletakkan rasa percaya diri kita pada penilaian orang lain, dan tanpa kita sadari itu mampu membunuh siapa diri kita yang sebenarnya. Memicu diri kita untuk membenci siapa kita.

Kita harus menerima kenyataan bahwa kita adalah manusia biasa yang tidak akan pernah bisa sempurna, tapi kita bisa jadi berbeda. Tidak sulit untuk jadi seseorang yang berbeda. Kamu cukup mencintai dirimu, dan itu akan membuatmu berbeda. Lihat saja sekelilingmu, semakin banyak orang yang lupa mencintai dirinya sendiri dan berlomba-lomba mengikuti arus dan menjadi seragam dengan manusia lainnya. Mungkin kamu melihat mereka bahagia, tapi apakah benar itu yang dinamakan bahagia dengan kehilangan dirimu sendiri hanya karena ingin menjadi serupa dengan tren kecantikan atau tren fashion masa kini?

Cintai dirimu. Hargai dirimu. Lakukan hal yang membuat nilai dirimu bertambah. Lakukan itu bukan untuk mendapat pujian dari orang lain, tetapi murni karena kamu memang berhak memperolehnya. Kita harus mampu mencintai diri kita lebih dahulu, baru kita bisa membagi cinta itu untuk orang lain.

Aku menganggap Instagram membuatku menjadi seseorang yang lebih banyak mengeluh dan menyimpan iri pada orang lain, untuk itu aku memutuskan untuk menonaktifkan akunku sementara waktu. Aku membutuhkan waktu untuk memulihkan diriku, dan mengganti waktu bermain Instagram dengan kegiatan lain yang lebih produktif.



Aku mulai kembali menyusun strategi bagaimana aku bisa mengurangi berat badanku. Aku mengatur ulang rencanaku, dan mengubah pola pikirku. Kali ini aku melakukannya bukan semata-mata hanya untuk mengurangi berat badanku, tetapi agar aku memiliki tubuh yang sehat. Tubuh yang sehat akan menghasilkan pikiran yang sehat. Dari pikiran yang sehat, akan terlahir manusia yang sehat dan kuat.

Tentu proses ini tidak akan mudah dan mendatangkan hasil yang cepat. Aku masih harus mengalami tidak adanya kemajuan, atau bahkan kegagalan sekalipun. Tetapi aku meyakinkan diriku bahwa itu tidak apa-apa. Proses itu membuatku belajar. Aku belajar bersabar dan aku belajar bagaimana mengkaji ulang usaha yang sudah aku lakukan. Ketika satu cara tidak berhasil, ada cara lain yang bisa aku coba lakukan. Satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah berhenti menyerah.

Aku juga mengerti, akan ada orang-orang yang meragukanmu dan mencoba menggagalkanmu. Jangan dengarkan mereka. Kita sendiri yang paling bertanggung jawab atas hidup kita. Ini hidupku, aku yang menjalaninya. Aku memilih untuk mengikuti kata hatiku dan percaya pada diriku.

Setiap bangun tidur, aku duduk sebentar dan berdoa pada Tuhan mengucap syukur atas hari baru yang Dia berikan. Sambil bersiap-siap berangkat kerja, aku mendengarkan video-video motivasi dari beberapa akun YouTube. Memang benar, motivasi tanpa aksi adalah sia-sia. Tapi aku butuh motivasi untuk bisa melahirkan sebuah aksi.

Setiap malam sebelum tidur, aku mengecek notebook-ku dan memberi checklist pada beberapa daftar kegiatan positif yang sudah aku buat. Membaca buku minimal 10 menit dan jogging minimal 30 menit setiap hari, misalnya.

Kamu harus terus mencintai dirimu. Itu tidak akan membuatmu menjadi manusia yang egois, itu akan membuatmu melihat sejauh apa kamu bisa melangkah dan sebanyak apa yang kamu bisa lakukan.




(vem/nda)