Tak Pacaran, Menikah di Usia 34 Tahun dengan Pria yang Dikenal di Internet

Fimela diperbarui 21 Feb 2018, 14:30 WIB

Setiap wanita memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada yang penuh liku, luka, hingga akhir kisah yang mungkin tak pernah diduga. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.

***

Saat ini Facebook, Twitter, dan Instagram menjadi media sosial yang banyak penggunanya. Mulai dari anak usia SD sampai orang tua dari yang hanya sebagai media tempat mendokumentasikan aktivitas sehari-hari, menambah jaringan pertemanan sampai pada kepentingan bisnis. Semua orang bisa terhubung hanya dengan menggunakan jari tangan dan perangkat HP yang dilengkapi aplikasi medsos.

Aku sebagai generasi yang lahir tahun 70an sempat mengenal media sosial Friendster. Friendster bisa dibilang situs media sosial berbasis pertemanan pertama yang popularitasnya mencapai skala nasional di Indonesia. PR Newswire mengabarkan dalam survei 2008 bahwa Friendster merupakan situs sosial online terpopuler di tanah air dengan unique visitors mencapai 4 juta per bulan, dikutip dari vice.com.

Yang mengenal Friendster pasti mengenal chat roomyang namanya MIRC. MIRC menawarkan layanan chating dengan orang yang tidak dikenal yang jangkauannya seluruh dunia. Warnet-warnet yang saat itu menjamur pasti melengkapi perangkatnya dengan aplikasi MIRC.

Aku termasuk orang yang terlambat mengenal Friendster dan MIRC. Karena baru menggunakan kedua aplikasi tersebut pada tahun 2008. Berawal dari mengisi kebosanan ketika harus jaga konter setiap sore. Namun, justru dari sinilah awal perubahan statusku.

Tahun 2008 saat itu usiaku 34 tahun. Usia yang tidak muda lagi untuk seorang gadis, aku sudah bekerja. Adikku yang ke-3 seorang laki-laki yang sejak memasuki bangku kuliah sudah tertarik dengan dunia usaha. Ayahku yang melihat bahwa minatnya itu positif kemudian memberikan modal untuk membuka konter yang menjual pulsa dan aksesoris HP. Untuk bisa berkuliah sekaligus menjalankan usahanya dia sengaja mengambil kelas karyawan. Kuliah dari sore sampai malam.

Di sisi lain aku bekerja sebagai karyawati. Berangkat pagi dan pulang sekitar pulang 15.00. Aku butuh orang yang antar jemput dan adikku butuh orang yang membantu mengelola usahanya. Klop lah hubungan kakak adik ini menjadi simbiosis mutualisme. Sepulang kerja aku langsung mejeng di konter melayani pembeli. Rasa bosan ketika pembeli sepi seringkali melanda, mulailah aku menjelajahi yang namanya Friendster dan MIRC.

Setiap aku memasuki chat roomyang namanya MIRC, aku sering menggunakan nama yang sama. Nama yang lebih merujuk ke kode  jenis kelamin dan usia f34, (f=female) dan 34 (usia). Secara disengaja atau tidak, diakui atau tidak, nyatanya aku mengharapkan bertemu seseorang di sini. Hingga suatu hari ada seseorang yang masuk meminta nomor HP, alamat Friendster dan alamat email.

Saat itu aku jarang membuka email. Tidak seperti sekarang yang hampir setiap hari harus membuka email karena banyak hal yang dilakukan terutama kaitannya dengan pekerjaan. Mulailah ada percakapan via SMS. Seorang laki-laki nun jauh di sana yang entah bagaimana rupa dan perawakannya rajin menghubungiku. Namun, sayang hubungan yang hanya sebagai teman ngobrol ini hanya bertahan dua minggu saja.

Suatu sore, seperti biasa aku giliran di konter. Iseng kubuka email. Hm, ada pesan masuk dari seorang laki-laki. Tidak banyak basa-basi dia langsung mengenalkan dirinya, nama, usia, pekerjaan, anak keberapa, saudaranya ada berapa. Aku heran dengan caranya mengenalkan diri. Aku kemudian membalas email dengan membicarakan tentang diriku seperti dia membicarakan dirinya.

Komunikasi via email ini berlangsung sampai sekitar satu bulan. Lama-lama aku jadi bosan, obrolan yang harus menunggu dua dan tiga hari balasan ini menjadi tidak tentu ke mana arahnya. Aku kemudian memberanikan diri bertanya mau ke mana sebenarnya komunikasi ini. Jawaban yang aku dapat hanya, “Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Bisa minta nomor HP-nya?”

"Oalah, gitu aja kok muter-muter," pikirku. Aku langsung memberikan nomor hp. Mulailah kami berkomunikasi via SMS. Satu bulan lebih komunikasi itu berjalan, sampai suatu hari aku mendapat sms yang pada akhirnya membuat aku tertawa, sekaligus bahagia: “Kenalkan nama saya... . Tanggal lahir... . Pada hari ini dengan nekad saya menyatakan menyukai... . Mohon kalau tidak berkenan jangan dibalas.”

Saat itu juga tiba-tiba tubuhku terasa panas, deg degan. Tanpa pikir panjang dengan gemetar kujawab SMS itu. “Insyaallah saya tidak keberatan, mudah-mudahan ini adalah jalanku untuk menyempurnakan separuh agama.”

SMS terkirim. Aku merasa senang? Oh, ternyata tidak sama sekali. Semalaman aku tidak bisa tidur, memikirkan betapa bodohnya aku menjawab SMS seperti itu. Selama ini aku terkenal sebagai perempuan yang suka pilih-pilih, tapi tindakanku kali ini betul-betul di luar dugaannku.

Aku merasa sudah merendahkan diri di hadapan laki-laki yang bahkan aku belum tahu rupanya. Kegundahanku semakin bertambah mana kala mengingat bahwa aku tidak seperti gadis pada umumnya. Aku seorang difabel dan bagian tubuh yang menjadi kebanggaan perempuan yaitu payudara dan tahim telah cedera karena tumor payudara dan mioma uterus.

Sepanjang malam aku menangis. Aku menyesal mengapa tidak mengungkapkan keadaanku yang sebenarnya terlebih dulu. Malam semakin larut dan aku mencoba mencari pembenaran atas tindakanku itu. Akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan yang lumayan menenangkanku, ”Ya, mungkin ini sudah jalan-Nya. Aku tidak perlu menyesali apapun yang sudah terjadi, jika memang dia jodohku segalanya pasti dimudahkan.”

Malam berikutnya seperti biasa kami ngobrol via SMS. Aku ungkapkan semua kekuranganku, bahwa aku seorang difabel karena polio menyerangku sewaktu usia 1,5 tahun. Aku pernah menjalani operasi pengangkatan miom berukuran 14cm x 7cm x 7cm yang menyebabkan aku tidak akan bisa melahirkan secara normal dan kedua payudaraku sudah pernah terkena tumor payudara. Lega rasanya aku sudah mengungkapkan itu semua. Aku tidak peduli apa keputusan dia selanjutnya. Aku memberi kesempatan untuk dia berpikir lebih jauh dan menarik kembali kata-katanya.

Jawaban yang aku dapat ternyata sungguh di luar dugaan. Dia menerima apapun keadaanku, bahkan jika pada akhirnya aku tidak bisa memberikan keturunan pun dia siap. Lelaki macam apa ini? Tidakkah dia berpikir tentang tanggapan orang tuanya? Akhirnya aku berpikir betapa sombongnya aku jika kutolak kehadirannya. Lelaki seperti apalagi yang aku harapkan? Bukankah yang terpenting dari sebuah hubungan itu menerima segala kekurangan?

Dengan bismillah dan tujuan yang sama kami menjalani hubungan dan sepakat untuk tidak berlama-lama menunda pernikahan. Aku lebih suka mengatakan proses mengenal ini sebagai ta’aruf daripada pacaran. Karena memang tidak ada adegan-adegan romantis atau kata-kata gombal yang hanya akan membuat terlena dan menyeret pada dosa.

Kami sudah ngobrol sejauh itu bahkan sampai pada tema pernikahan, percaya atau tidak kami belum pernah bertemu. Dua minggu kemudian dia mengajakku untuk menghadiri pengajian rutin Majelis Percikan Iman (MPI) yang saat itu diadakan di Masjid Al-Murosalah Geger Kalong. MPI yang dimotori oleh Ust. DR. Aam Amiruddin, Lc.,M.Si. Ternyata laki-laki yang kukenal ini sangat mengidolakan ustaz yang semua orang tahu kapabilitasnya. Hal ini pula yang semakin membuat aku yakin bahwa dia laki-laki yang tepat untukku.

Tiba hari yang sudah ditetapkan untuk bertemu. Dia akan menjemputku ke pengajian itu. Aku kembali gundah. Aku takut tidak menyukainya jika bertemu. Dia sendiri sudah meyakinkanku bahwa dia tidak akan kecewa jika sudah bertemu nanti bagaimana pun keadaannya. Rupanya dia sudah melihat wajahku melalui Friendster. Sementara aku belum pernah karena dia tidak memiliki akunnya. Chattingdi MIRC pun ternyata baru sekali untuknya. Itu pun diajak oleh sahabatnya yang sering chat denganku. Sahabatnya memaksa dia untuk chat denganku, meyakinkan bahwa aku perempuan baik-baik.

 

Pintu diketuk, perasaanku tidak karuan. Pelan-pelan kubuka pintu itu. Kupersilakan dia masuk. “Ya, Allah. Inikah laki-laki yang akan mendampingiku? Aku lebih banyak memperhatikan bahasa tubuhnya atau ucapannya karena aku takut dia ternyata kecewa dengan penampilanku yang sebenarnya. Alhamdulillah dari awal dia bersikap sopan dan ramah. Akhirnya aku yakin bahwa semua sudah jalan-Nya, Allah mempermudah segalanya. Minggu-minggu berikutnya kami tetap mendatangi pengajian itu. Hubungan kami lebih terasa kaku karena masing-masing saling menjaga sikap.

Kemudian ada yang lucu, suatu hari dia bertanya, “Masih ingat Roni?”

“Ya, aku kenal di MIRC, terus tukeran nomor HP, tapi sekarang dia menghilang entah kemana," jawabku dengan heran dari mana dia tahu tentang laki-laki itu. Dia tertawa dan akhirnya mengakui bahwa dia adalah laki-laki yang sama yang sebelumnya sering menghubungiku via SMS dan setelah 2 minggu menghilang begitu saja. Aku tanya kenapa waktu itu menghilang. Jawabannya karena waktu itu identitasnya palsu. Dia sungguh-sungguh ingin mengenalku. Jadi dia menghilang dan memulai kembali perkenalan denganku via email.

Ada satu kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan. Membaca adalah hobiku. Tahun 2008-2009 sedang gencar-gencarkan buku tetralogi karya Andrea Hirata: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov.Aku sudah baca keempat buku itu. Entah hari apa atau tanggal berapa lelakiku itu mengajakku untuk nonton Laskar Pelangi di bioskop. Aku senang sekali. Percaya atau tidak seumur-umur aku tidak pernah menginjakkan kaki di bioskop kecuali teater kubah Sasana Budaya Ganesha. Sampai saat ini pun baru kali itu saja aku ke bioskop.

Aku mencari informasi ke teman dan adikku bagaimana keadaan bioskop itu. Lucu dan terasa kampungan kan? Aku jujur padanya bahwa nonton Laskar Pelangi adalah pengalaman pertamaku nonton di bioskop.

Tiga bulan berlalu. Rencana kami berjalan mulus. Tidak pernah ada pertengkaran di antara kami. Idul Fitri di tahun 2008 merupakan momen yang teristimewa bagiku. Aku dikenalkan pada keluarganya. Ada rasa takut tidak diterima. Alhamdulillah ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Semuanya menerima keadaanku. Bahkan adiknya yang sudah menikah mengenalkanku pada anaknya dengan panggilan uwa atau bibi, seolah-olah aku sudah menjadi bagian dari keluarga. Tidak ada tatapan aneh dengan cara berjalanku yang tidak normal atau penampilanku yang cenderung biasa aja.

Enam bulan sudah sejak perkenalan kami di chat roomMIRC, tepat pada tanggal 11 Januari 2009 kami menikah. Tidak heran lagu 11 Januari Gigi selalu membangkitkan perasaan jatuh cinta di antara kami setiap kali mendengarnya karena mengingatkanku pada peristiwa besar dalam hidupku. Kebahagiaan dirasakan seluruh keluarga. Si sulung yang sudah berusia 34 tahun dan dilangkahi menikah 3 adiknya ini akhirnya menemukan jodoh. Penantianku selama ini tidak sia-sia karena aku mendapatkan seseorang yang kucintai dan mencintai serta menerimaku dengan sepenuh hati.

Sekarang 9 tahun sudah berlalu. Bahtera rumah tangga kami sudah bertambah awaknya dengan kehadiran dua putri cantik buah cinta kami. Ketika menikah aku masih bisa berjalan tanpa alat bantu meskipun pincang, 3 tahun kemudian aku harus menggunakan alat bantu 1 tongkat elbow dan 5 tahun kemudian aku bahkan harus menggunakan 2 tongkat elbow. Kedua kakiku sudah tidak normal. Yang kiri lemah dan ukurannya lebih kecil karena polio, sedangkan yang kanan sudah menggunakan sendi panggul implan. Alhamdulillah kondisi itu tidak pernah mengurangi cinta dari suamiku.  Sering aku merasa berdosa karena tidak bisa melayani seutuhnya sebagai seorang istri.

Banyak peristiwa suka dan duka kami lewati bersama. Kondisiku kesehatanku yang menuntutku bolak balik rumah sakit menjadi cerita tersendiri bagi keluarga kami. Kalau kebetulan anak-anak tidak sekolah kami memang sengaja membawa mereka ke rumah sakit. Bagi anak-anak rumah sakit menjadi tempat jalan-jalan. Di rumah sakit biasanya aku menggunakan kursi roda. Menelusuri lorong rumah sakit menggunakan kursi roda dengan dua anak ikut naik menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Tidak jarang petugas rumah sakit yang melihat kami turun tangan ikut mendorong kursi roda di medan yang menanjak, dan anak-anak dengan tanpa rasa bersalah malah tertawa-tawa. Dan yang paling mereka nantikan adalah jajan di kantin rumah sakit sebelum pulang.

Kami juga dengan sengaja sering mengajak mereka bermain ke tempat umum. Kami ingin membiasakan mereka dengan keadaan ibunya yang berbeda dengan orang lain. Kami tidak ingin mereka merasa malu dengan keadaan ibunya. Suatu hari pernah si bungsu bilang,”Ibu, sakit kayak Ibu nggak akan sembuh ya? Sembuhnya nanti di surga.” Aku hanya bisa tersenyum mendengar itu.

Aku memang tidak pernah menyembunyikan apapun yang layak diketahui anak-anak. Sama halnya dengan ketika si sulung yang berusia 8 tahun bertanya, “Ibu, ketemu Bapak di mana?”

“Di internet,” jawabku.

“Memang boleh kita memilih laki-laki yang akan kita nikahi dari internet?” sejenak aku heran dengan pertanyaannya.

“Boleh, asal hati-hati, tidak semua orang yang dikenal di internet orang baik-baik,” jawabku mencoba menjelaskan.

Tanpa diduga si bungsu nyeletuk,”Oooh, jadi Ibu beli Bapak dari internet.” Kami tertawa mendengar kalimat itu. Aku memang senang belanja online untuk banyak keperluan di marketplace,dan anak-anak tahunya belanja lewat internet.

Itulah kisah cinta kami. Perjalanan masih panjang. Semoga kami bisa mengarungi lautan penuh gelombang dan berhasil mendarat di gugusan pulau sakinah mawaddah warahmah hingga di surga kelak. Amin.

(vem/nda)