Setiap wanita memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada yang penuh liku, luka, hingga akhir kisah yang mungkin tak pernah diduga. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.
***
Setiap wanita pasti punya gambaran sempurna tentang sosok jodoh yang diinginkannya, begitupun aku. Dulu aku mendambakan sosok calon suami yang berpendidikan tinggi, minimal sama seperti aku, sarjana, agar kami bisa berbincang tentang dunia, bisa mendiskusikan masalah apa saja, dengan kata lain bisa jadi lawan komunikasi yang hebat.
Aku juga menginginkan calon suami yang sama-sama kerja kantoran, agar bisa selalu berangkat dan pulang kerja bareng. Aku membayangkan jika pasangan hidupku nanti punya dunia yang sama denganku pasti akan lebih mudah menjalani kehidupan berumah tangga, karena sama-sama saling tahu dan mengerti kondisi masing-masing. Itu adalah harapanku dulu.
Namun tidak semua keinginan selalu terpenuhi, karena apa yang kita inginkan itu belum tentu yang terbaik untuk hidup kita, itupun yang aku rasakan. Aku pekerja kantoran dengan rutinitas yang monoton. Masuk kerja pukul 8 pagi, pulang pukul 5 sore. Mengerjakan pekerjaan yang sama, bertemu dengan orang yang sama setiap harinya. Tak sedikit konflik-konflik kecil di kantor yang membuatku stress. Pekerjaan administrasi yang monoton, sedikit banyak mempengaruhi karakterku menjadi wanita yang sedikit kaku dalam memandang hidup.
Sedangkan suamiku adalah seorang wirausahawan. Usianya 7 tahun lebih muda dariku. Dia memulai usaha browniesnya dari usia 20 tahun. Sebagai laki-laki, cukup unik dia dianugerahi kemampuan pandai membuat kue. Dia memulai usahanya dari nol. Dari mulai menitipkan browniesnya dari satu toko kue ke toko kue yang lain. Awalnya semua dia lakukan sendiri, dari mulai membuat brownies sampai mengantarkannya dengan menggunakan sepeda motor. Dengan modal seadanya dia berjuang sendiri selama tiga tahun hingga dia mampu membuka toko brownies sendiri. Perjuangan membuka usaha secara mandiri membentuk karakternya menjadi kuat dan dewasa, meskipun hanya lulus SMA, namun cara berpikirnya lebih luas dan bijak.
Benarlah adanya bahwa jodoh akan menghampirimu saat kau siap. Di usiaku yang ke 30, aku mulai khawatir dalam penantian. Selalu bertanya kepada Tuhan, kapan Dia akan mempertemukan aku dengan jodohku. Sampai akhirnya Tuhan menjawab doaku. Secara kebetulan suamiku datang ke kantorku untuk menemui temanku yang menjadi reseller browniesnya. Dia datang mengantarkan brownies pesanan. Di situlah kami bertemu. Saat itu usianya 23, tidak terbersit sama sekali di pikiran kami saat itu kalau hubungan kami akan menjadi serius. Selain usia yang berbeda jauh, kami berdua pun melihat bahwa satu sama lain bukan sosok yang diidamkan. Namun jodoh berkata lain, karena sejak pertemuan pertama itu kami mulai berteman, menjalin komunikasi yang baik, sehingga lambat laun seperti pepatah Jawa, “Witing tresno jalaran soko kulino,” cinta tumbuh karena terbiasa.
Namun saat itu tidak mudah untuk memutuskan menikah dengan dia. Aku dan dia punya lingkungan dan gaya hidup yang berbeda. Dia yang usianya jauh lebih muda dan penghasilannya yang belum mapan tidak disetujui oleh orangtuaku. Orangtuaku menentang keras dan memberikan keputusan bahwa silahkan saja menikah tanpa restu mereka.
Tapi jodoh adalah takdir yang tidak bisa ditolak, sama halnya seperti maut, jika waktunya tiba maka tidak ada satu pun yang mampu mengelak atau mengubahnya. Dengan berat hati kami pun menikah tanpa restu orang tua. Kami menikah tanpa pesta, tanpa kehadiran orangtua dari kedua belah pihak. Saat itu perasaanku di antara sedih dan bahagia. Impianku akan sebuah pernikahan yang megah, dihadiri orangtua dan banyak orang, kenyataannya adalah sebuah kegetiran. Tapi inilah perjuangan cinta kami, cinta tanpa syarat.
Pernikahan kami pun sudah berjalan selama 8 tahun. Dalam setiap rumah tangga pasti ada cobaan dan ujiannya masing-masing. Begitu juga dengan rumah tangga kami. Meskipun aku usianya jauh lebih tua dari suamiku, namun sebaliknya, kedewasaanku jauh di bawahnya. Aku yang anak bungsu, terbiasa dimanja dan dituruti kemauannya, membuat aku selalu bersikap egois dan keras kepala.
Sering terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil karena hal sepele. Andai saja suamiku yang tidak mengalah dan bersabar, bisa saja pernikahan kami hanya seumur jagung. Suamiku selalu sabar menghadapi sikapku. Suamiku memang bukan sarjana, namun dia tetap bisa menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. Kami tidak membicarakan tentang dunia, tapi kami bercerita tentang kejadian lucu dan konyol yang membuat kami tertawa terbahak-bahak, atau sebelum tidur kami ngobrol ngalor ngidul gak jelas hingga terlelap.
Suamiku adalah sahabat terbaikku. Orang terdekat yang selalu siap siaga menemani saat suka dan duka. Dua kali aku mengalami operasi, dan suamiku yang menemani dari proses awal sampai selesai. Tak sedikit pun dia beranjak dari ranjang, dia tetap berjaga sampai aku siuman. Saat proses pemulihan pun dia yang merawatku dengan baik. Tanpa segan dan jijik, dia melakukan perawatan dengan telaten sampai aku sembuh. Seandainya tidak ada dia, aku mungkin tidak sanggup melakukan semuanya sendiri. Ditambah dorongan moral dan semangat yang dia berikan, membuat aku semangat untuk sembuh.
Suamiku yang sederhana, suamiku yang baik, mungkin terlalu baik. Dia tidak pernah menuntut banyak padaku. Aku tidak seperti ibu rumah tangga pada umumnya yang bisa memasak, rajin beres-beres rumah, dan melayani suami secara penuh. Aku juga bukan wanita yang sempurna, belum menjadi wanita seutuhnya, karena aku belum bisa memberikan keturunan untuknya.
Selama delapan tahun pernikahan, belum pernah sekalipun dia menuntut aku untuk segera hamil. Belum pernah sekalipun dia menyalahkan aku karena belum juga hamil, meskipun di luar orang selalu menyangka bahwa masalahnya ada di aku yang sudah lewat usia produktif. Dia selalu membesarkan hatiku untuk tidak terlalu dijadikan beban pikiran. Dia bilang bahwa anak adalah hak prerogatif Tuhan, meskipun kita berusaha mati-matian untuk mendapatkannya, namun jika Tuhan belum berkehendak maka tidak akan terjadi.
Banyak sudah air mata yang dihapus olehnya. Meski sering aku omeli karena hal-hal kecil seperti lupa menutup kembali lemari baju, lupa memencet air di toilet setelah selesai BAK, menaruh baju kotor di lantai, dan hal-hal kecil lainnya yang justru saat dia sedang jauh, hal itu semua lah yang membuatku kangen padanya. Dia selalu bilang kalau dia akan menganggap omelanku adalah nyanyian, agar dia bisa tersenyum saat aku mulai mengomel.
Orang sering berkata bahwa dia beruntung mendapatkan aku yang secara materi jauh lebih baik darinya, punya istri wanita karir yang tidak bergantung dan merepotkan dirinya. Tapi itu semua salah besar, aku lah yang beruntung mendapatkan dia, laki-laki yang dengan sabar dan setia mencintai, menemani, dan merawat aku dengan baik, aku yang seperti ini adanya, aku dengan semua kekuranganku.
Aku lah yang selalu bergantung padanya, selalu merepotkannya, sedikit yang bisa aku lakukan jika dia tidak ada di sampingku, aku yang akan selalu merepotkannya, sampai akhir hayatku. Jika sosok suamiku adalah laki-laki dengan kriteria sempurna seperti yang aku damba-dambakan sebelumnya, mungkin kisahnya akan berbeda, mungkin ceritanya tidak akan seindah ini.
Tuhan memang yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Saat Dia mengirimkan jodoh untuk kita, mungkin tidak sempurna, tidak seperti yang kita damba-damba, tapi dia adalah yang terbaik, teristimewa, karena jodoh dari Tuhan tidak pernah salah.
- Terlahir sebagai Wanita Itu Anugerah, Menjadi Pribadi Kuat Itu Berkah
- Meski Hidup Penuh Keterbatasan, Cinta Bapak Selalu Menguatkan
- Ibu Mendidikku Jadi Wanita Tangguh, Tapi Kini Diam-Diam Aku Menangisinya
- 28 Tahun Menjalin Hubungan Jarak Jauh, Cinta Itu Bertahan dengan Cara Indah
- Yang Lama Pacaran Bisa Kalah dengan yang Melamar Duluan
- Nenek Baru Dilamar Saat Usianya 52 Tahun, Bukti Kalau Jodoh Pasti Kembali?
(vem/nda)