Sekali lagi ditegaskan bahwa sejak beberapa tahun yang lalu, Indonesia telah mendeklarasikan ‘status darurat perceraian’ yang dilakukan secara bersama oleh beberapa kementrian dan badan negara yang terkait. Langkah ini diambil setelah mencermati data statistik tentang angka perceraian, serta melihat berbagai fenomena perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat yang sepertinya tak mendukung trend penurunan angka perceraian. Gaya hidup sekuler, pergaulan bebas, persaingan ekonomi, revolusi teknologi komunikasi, dan berbagai macam perubahan dalam masyarakat yang disinyalir turut serta meningkatkan angka perceraian. Hingga didapatkan rasio perbandingan yang mengejutkan bahwa; hampir 2 dari 10 pernikahan yang dilakukan akan berakhir dengan perceraian. Rasio yang mendudukkan Indonesia menjadi peringkat pertama di Asia Pasifik, sebagai negara dengan angka perceraian per tahun yang tertinggi dari tahun ke tahun. Sungguh kondisi yang menjadikan keprihatinan semua pihak, jika mengingat bahwa keluarga adalah unit – unit terkecil dan terpenting dalam memperkuat pondasi bangsa.
Kenapa perceraian semakin banyak terjadi? Pertanyaan ini akan mudah terjawab dengan berbagai jawaban, baik jawaban yang didasari oleh alasan yang kuat dan mendasar, namun juga beberapa jawaban yang memiliki alasan yang tak masuk akal, tak relevan, bahkan tak signifikan. Walau sejatinya, hampir setiap orang memahami, bahwa; perceraian adalah sebuah keputusan penting yang diambil oleh seseorang, yang seharusnya mempertimbangkan dampak-dampak negatif yang bakal terjadi bukan saja terhadap sepasang pelakunya, namun juga terhadap orang-orang terdekat di sekitar mereka berdua. Terutama anak-anak mereka. Lalu kapankah keputusan untuk bercerai tepat untuk dilaksanakan? Hal inipun tak akan pernah menimbulkan satu pendapat dan kesepakatan yang bulat antara satu orang dengan orang yang lain, apalagi jika dipandang dari berbagai pendapat pihak-pihak yang secara langsung tidak terlibat dalam permasalahan.
Apakah perceraian harus dilakukan di saat dua minggu setelah pernikahan, di saat diketemukannya bukti-bukti kebohongan atas identitas pasangan yang diberikan dalam proses ta’aruf atau perkenalan. Ataukah perceraian justru akhirnya baru diambil setelah 20 tahun pernikahan ini tetap berjalan dalam kebohongan dan malah kemudian terkuak sebuah perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan? Apakah perceraian harus dilakukan di saat pertama pukulan dilayangkan oleh pasangan dan menimbulkan luka lebam dan nyeri hati yang teramat mendalam, ataukah setelah bertahun-tahun memendam rasa tersiksa dalam setiap deraan kekerasan yang dilakukan oleh pasangan hampir setiap saat dalam keseharian? Apakah perceraian harus dilakukan di saat perekonomian salah satu pasangan hancur oleh sebuah kegagalan dalam usahanya atau pekerjaannya, ataukah di kemudian hari di saat ekonomi rumah tangga kemudian membaik, harta kekayaan melimpah, dan justru membuat pasangan ingin menikah lagi dalam sebuah praktek poligami?
Tidak ada seorangpun yang merasa yakin sepenuhnya akan saat yang tepat untuk mengambil keputusan bercerai dengan pasangannya. Proses perceraian yang dijalani, kemudian ketakutan menjalani masa-masa awal harus hidup sendiri, lalu kekhawatiran akan persekusi dari orang-orang di sekitaryna yang harus dihadapi, serta pandangan miring masyarakat terhadap diri yang akan segera berstatus janda atau duda, dan juga rasa sedih jika mengingat akan nasib anak-anaknya yang akan menjadi anak broken home; adalah beberapa faktor penyebab tidak pernah penuhnya keyakinan seseorang untuk mengambil keputusan bercerai dengan pasangannya. Namun nyatanya, perceraian pun tetap terjadi juga, dan justru semakin membanyak jumlahnya dari tahun ke tahun, dari masa ke masa. Berarti apakah perceraian ini memang kemudian diputuskan dalam ketidakyakinan dan keragu-raguan oleh para pelakunya?
Keyakinan dan keraguan memang akan datang silih berganti selama seseorang berada dalam dilemanya saat berencana untuk bercerai dengan pasangannya. Hal ini sangat diwajarkan, mengingat berbagai pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini pulalah yang menyebabkan bukan saja patah hati namun juga depresi yang harus dialami oleh hampir setiap orang yang sedang dalam konflik rumah tangganya dan tengah mempertimbangkan perceraian sebagai jalan keluarnya. Bukan lagi mempertimbangkan lamanya waktu yang telah ditempuh dalam menjalani perkawinan dan membina rumah tangganya, karena panjang pendeknya masa perkawinan yang sedang berjalan tidak pernah menjadi pertimbangan utama lagi bagi seseorang untuk bercerai. Bisa 3 tahun, mungkin 5, 10 atau 20 tahun, namun bisa juga setelah beberapa hari menikah saja. Seolah, jika saatnya memang harus tiba, perceraian pun kan terjadi pula. Kapanpun itu.
“Jika perceraian tidak disukai oleh Tuhan untuk dilakukan, dan dirimu yakin untuk tetap memilihnya sebagai jalan, pastikan bahwa sesudahnya; dirimu akan menjadi seseorang yang kembali disukai dan bahkan lebih disayang oleh Tuhan.”
- Melawan Stigma Negatif Terhadap Janda dengan 5 STIGMA
- Membeku Rindu Seorang TKW di Negeri Jiran
- Hati Wanita Sedalam & Seluas Samudera, Harus Hati-Hati Mengarunginya
- Tidak Ada Pembenaran dari Selingkuh, Pikirkan Akibatnya
- Anak itu Digendong lalu Digandeng, Anak itu Dijunjung bukan Dijinjing
- Memahami Lebih Jauh Perasaan Rapuh & Hancurnya Anak Korban Perceraian