Setiap wanita memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada yang penuh liku, luka, hingga akhir kisah yang mungkin tak pernah diduga. Seperti tulisan Sahabat Vemale yang menceritakan kisah neneknya untuk disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.
***
Sudah banyak cerita cinta yang kubaca, sudah banyak cerita cinta pula yang aku dengarkan dari mereka, sudah banyak cerita cinta pula yang aku lihat sampai umurku 23 tahun ini.
Ini bukan cerita Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet, atau Mark Anthony dan Cleopatra. Ini kisah cinta dari Kota Lumajang, Jawa Timur. Kisah seorang nenek yang selalu berzikir tiap selesai salat di kursi rotan yang mulai reyot namun tetap mampu menopang tubuh nenek cantik yang selalu berzikir ini.
Di alah nenekku, Sulis Suyatik berumur 95 tahun namun masih terlihat cantik dengan hidung mancung, bibir tipis, kulit sawo matang yang telah keriput, rambut penuh uban yang selalu ditutup dengan jilbab seadanya, yang berjalan menggunakan tongkat karena kedua kakinya sudah tak mampu menopang badannya meski badannya sangat kurus karena usia. Dia memiliki seorang anak perempuan bernama Kasmi Supriana yang biasa kupanggil Buk Sipah. Buk Sipah adalah budeku dia berumur 60 tahun, beliau yang menceritakan kisah cinta yang kunamai Sam dan Lis ini.
Nenekku dulu anak kepala desa di Karang Bendo, Lumajang. Dia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki biasa bernama Samiran. Hubungan yang mereka rangkai cukup lama yakni 5 tahun, dari umur Nenek Lis 19an mereka sudah sangat dekat. Orangtua dari nenekku sudah menyetujui hubungan mereka.
Suatu hari saat nenek mulai bertanya pada Mbah Samiran, “Piye Mas? Kapan nemoni Bapak ambek Ibu? (Bagaimana, Mas? Kapan menemui Bapak dan Ibu?)” Mbah Samiran menjawab, “Rabi toh? sek aku tak mergawe disik sampe cukup in shaa allah dek (Menikah ya? Sebentar aku mau bekerja dulu sampai cukup in shaa allah, dek)."
Nenek pernah berkata bahwa setelah menikah mereka bisa sama-sama berjuang baik dibantu oleh orangtua nenek atau berjuang dari nol. Tapi saat itu Mbah Samiran hanya tersenyum, “Dijalani disek (dijalani dulu).”
Mbah Samiran tidak memiliki orangtua. Dia memiliki 3 adik yang saat itu tidak bersekolah dan semuanya bekerja untuk menghidupi kehidupan.
Nenek Lis bukan dari keluarga yang agamis. Namun, nenek selalu belajar Islam dan mencoba memahaminya. Bahkan alasan nenek mengajak Mbah Samiran menikah karena nenek takut dosa semakin bertambah karena menjalin hubungan bukan dengan mahramnya.
Kata budeku saat bercerita tentang Nenek Lis, “Yo duso lek diterusno setan onok nandi nandi (Ya kalau diteruskan berdosa, setan ada di mana-mana)."
Akhirnya pada suatu hari nenek mengirim surat kepada Mbah Samiran untuk menyudahi hubungan mereka. Nenek pun pindah rumah di kediaman keluarga di Purwokerto. Saat itu orangtuanya dilarang memberitahu keberadaannya kepada Mbah Samiran.
Nenek meninggalkan Desa Karang Bendo dengan hati lara karena selalu tak mendapatkan kepastian dari Mbah Samiran. Kata bude sebelum nenek pergi ke Purwokerto 4 hari lamanya dia menangis dan tak ingin bertemu dengan Mbah. Setelah nenek pergi benar saja hampir setiap hari Mbah Samiran ke rumah Nenek Lis menanyakan ke mana perginya sang pujaan, namun orangtua nenek marah setiap mbah datang ke rumah mereka berpikir mbah hanya ingin mempermainkan anaknya saja tanpa memberi kejelasan pada Nenek Lis.
3 bulan sudah nenek meninggalkan Desa Karang Bendo. Akhirnya nenek dipersunting oleh temannya di Purwokerto, mereka menikah tanpa pesta mewah yang penuh warna. Hanya 2 keluarga serta kerabat dekat yang datang ke acara tersebut.
6 bulan setelah acara pernikahan, Ibu Nenek Lis meninggal. Nenek pulang ke Lumajang dengan perut buncit karena tengah mengandung. Nenek pulang tanpa Mbah Yatmo (suami nenekku) karena Mbah Yatmo saat itu adalah seorang TNI dia bertugas, jadi tak bisa menemani nenek pulang.
Sesampainya nenek di rumah dia bertemu dengan Mbah Samiran. Kata bude saat itu nenek ingin sekali memeluk Mbah Samiran karena rindu, lara ditinggal ibunya, dan pernikahan yang tak sepenuhnya ia ingin jalani.
Saat itu nenek menikah dengan Mbah Yatmo karena nenek sudah merasa mungkin inilah jodoh dari Gusti Allah, meskipun tak sepenuhnya ia cintai namun Mbah Yatmo adalah orang yang sangat mencintai nenek.
Di rumah Mbah Samiran bertanya, “Wes mbok entukno seng mbok karepno, Dek? (Sudahkah kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan, Dek?)” Nenek hanya memendam air matanya. Kata bude setiap nenek bertemu Mbah Samiran dia selalu memegang perutnya yang hamil agar mengingatkan kalau dia telah mencintai orang lain.
Beberapa hari nenek menginap di sana lalu beliau memutuskan untuk pulang ke Purwokerto. Sebelum naik kereta, Mbah Samiran memberikan sebuah surat yang menghujam hati Nenek Lis. Dia mengatakan bahwa dirinya akan menikah dengan teman mereka dulu dan berharap agar Sulis datang untuk terakhir kali karena Mbah Samiran akan meninggalkan Lumajang.
Namun sampai acara tiba, nenek tidak pernah ada kabar bahkan nenek memutuskan untuk tidak melihat Mbah Samiran lagi. Nenek pun melahirkan bude dan bahagia bersama keluarga kecilnya.
10 tahun kemudian, saat berusia 36 tahun nenek kehilangan dua orang yang sangat ia hormati, yaitu Mbah Yatmo yang gugur saat bertugas dan Bapak Nenek Lis di Lumajang. Saat itu nenek langsung memutuskan untuk kembali ke Lumajang.
Di umur 52 tahun tiba-tiba Mbah Samiran datang ke rumah nenek dan mereka kembali berteman. Usut punya usut 3 tahun setelah menikah Mbah Samiran dan istrinya bercerai, dia bolak balik Lumajang - Purwokerto untuk mencari nenek.
Seiring berjalannya waktu, nenek diajak untuk menikah, “Aku mek pingin nyenengno awakmu Lis, aku sek kudu ngerumat adek-adekku bar ngono aku pingin ngrumat awakmu sampek saklawase, Lis. Aku nggak pingin anak teko awakmu, aku pingin awakmu urip bareng karo aku. Seng biyen yo biyen (Aku hanya ingin membahagiakanmu, Lis. Aku masih harus merawat adik-adikku, baru setelah itu merawatmu selamanya, Lis. Aku tidak meminta anak darimu, aku hanya ingin hidup kamu hidup bersamaku. Yang lalu biarlah berlalu).
Menikahlah mereka. Kata bude, nenek selalu tersenyum melihat suaminya. Selalu menangis saat ditinggal ke sawah. Nenek begitu mencintai Mbah Samiran, hampir setiap subuh Mbah Samiran selalu duduk di kursi rotan depan rumah minum kopi hitam dengan baca al quran.
30 tahun usia pernikahan mereka, Mbah Samiran meninggal karena demam yang dideritanya. Saat itu Nenek Lis berumur 87 tahun.
Dan hingga saat ini selepas salat 5 waktu nenek selalu berzikir, membaca al quran di kursi rotan reyot kesukaan Mbah Samiran.
Bude pernah bilang kalau nenek sangat terpukul atas kepergian Mbah Samiran bahkan dulu saat selepas salat Subuh nenek selalu bertanya, “Kapan Samiran mrene maneh? Kapan aku disusul? Awakmu ridho kan nduk lek aku melok bapakmu? Aku pingin kepethuk samiran (Kapan Samiran kembali lagi? Kapan aku dijemput? Kamu ridho kan, Nduk kalau aku ikut Bapakmu? Aku ingin bertemu Samiran)." Selalu itu berulang ulang yang dikatakannya.
Di umurnya kini yang sudah 96 tahun, sempat aku melihat nenek menitikkan air mata saat tengah berzikir di kursi reyot kayu. Mungkin sembari mengatakan, “Aku masih menunggumu datang lagi Sam. Jemputlah Lis-mu ini.”
- Yang Lama Pacaran Bisa Kalah dengan yang Melamar Duluan
- Kasih Sayang Orang Tua Itulah Cinta Sejati yang Sebenarnya
- Beda Usia 13 Tahun dan Nikah Tanpa Pacaran, Hanya Maut yang Bisa Memisahkan
- Walau Tak Mesra Bermanja, Terimakasih Telah Memelihara Cinta Kita
- Bayangan Mantan Terus Terbawa Sampai Menikah, Kenapa Kenangan Begitu Kejam?
(vem/nda)