Yang Lama Pacaran Bisa Kalah dengan yang Melamar Duluan

Fimela diperbarui 10 Feb 2018, 17:00 WIB

Setiap wanita memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada yang penuh liku, luka, hingga akhir kisah yang mungkin tak pernah diduga. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.

***

Namaku Lia. Aku ingin membagikan kisahku kepada pembaca Vemale.

Saat itu, aku masih tercatat sebagai salah satu mahasiswi dari PTN di Surabaya dan tinggal di kota tersebut. Kisah ini bermula saat diriku menjalani praktik kerja lapangan di salah satu instansi pemerintah di Kota Pahlawan. Di sana aku bertemu dengan peserta dari PTN lain dari Kota Apel. Ada salah satu yang menawan hatiku. Dia bernama Dedi. Dia sosok yang pintar, perhatian, bertanggung jawab dengan timnya, humoris sekaligus tegas, dan disiplin.

Kami menjadi akrab dan saling bekerja sama dalam tim. Dan tanpa aku sadari, tumbuh rasa simpati dan kagum terhadapnya. Mungkin saat itu, benih-benih cinta juga mulai tumbuh di hatiku. Tanpa terasa, sudah 6 bulan masa PKL kami, yang artinya PKL sudah hampir selesai. Hingga pada suatu ketika, di hari terakhir PKL, tim kami terpaksa pulang terlambat untuk menyelesaikan laporan, dan Dedi sebagai ketua tim memberanikan diri untuk mengantarkan aku pulang.

Dalam perjalanan menemani aku pulang itulah, Dedi menyatakan cintanya kepadaku dan ingin supaya aku menerimanya menjadi kekasihnya, hingga kelak setelah lulus kuliah dia berjanji untuk segera menikah denganku. Saat itu, aku bahagia sekali, ternyata simpati dan kagumku kepadanya tidak bertepuk sebelah tangan. Bahagia dan sedih jadi satu, sebab esok kami sudah berpisah dan harus menjalani kembali aktifitas kuliah di kampus masing-masing yang berbeda kota.



Kami menjalani LDR. SMS, telepon dan email mempererat hubungan kami. Saat libur kuliah, dia menyempatkan datang ke rumah dan berkenalan dengan kedua orang tuaku. Dan saat orang tuanya datang dari kota batik di Jawa Tengah, untuk menengok kakaknya yang tengah melahirkan di Surabaya, diajaknya aku untuk berkenalan dengan orang tuanya. Kami berdua bahagia, kedua orang tua kami merestui hubungan kami ini. Walau harus terpisah jarak, kami saling mendukung, terutama dengan studi kami.

Dia banyak membantuku dan menemaniku mengerjakan tugas akhir. Membantuku dengan mengirim literatur dan jurnal lewat email yang berkaitan dengan tugas akhirku, hingga aku lulus wisuda dan berhak menyandang gelar sarjana. Tak terasa hubungan yang kami jalani sudah berlangsung selama 4 tahun. Hingga akhirnya aku diterima bekerja, sedangkan dia masih berusaha menyelesaikan kuliahnya yang tinggal skripsi.

Saat aku mulai bekerja itulah, aku merasakan ada jarak di antara kami. Perlahan-lahan, Dedi mulai menjauh. Email dan SMS yang tak lagi berbalas, telepon yang tidak diangkat hingga akhirnya nomor teleponnya tidak bisa dihubungi. Aku mencoba bertanya ke kakaknya dan menghubungi teman-temanya untuk menanyakan kabar tentangnya.

Kakaknya sendiri juga mengatakan bahwa Dedi sudah lama tidak berkabar. Jawaban dari teman-temanya lebih mengejutkan lagi. Ada yang bilang, Dedi ikut menjadi relawan bencana alam di lokasi terpencil di Sumatera. Ada juga yang bilang, Dedi sudah lulus dan balik ke kota asalnya. Yang lain bilang, bahwa dia sudah diterima bekerja di luar pulau. Entahlah, mana yang benar aku tidak tahu. Hanya doa saja yang aku titipkan supaya Dedi baik-baik saja. Kami kehilangan kontak. Aku merasa digantungkan. Dan tiba-tiba orangtuaku menanyakan kabar Dedi dan kelanjutan hubungan kami. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan orang tuaku.

Tak terasa, sudah 2,5 tahun lebih aku diombang-ambing oleh ketidakpastian. Hatiku hancur dan hanya bisa menangis di pelukan ibuku.

Tepat sebulan setelah orang tuaku menanyakan kelanjutan hubunganku dengan Dedi, ada kabar sepupuku menikah. Dengan berhati-hati, Ibuku menanyakan apakah aku bersedia ikut dan hadir di pernikahan sepupuku. Ibuku tahu jika aku masih rapuh dan tentu saja itu akan mengingatkanku pada sosok Dedi. Sambil tersenyum dan meyakinkan Ibuku bahwa aku baik-baik saja, aku menerima ajakan beliau.



Hari pernikahan sepupuku tiba. Aku hadir di sana bersama keluargaku. Surprise bagiku, di sana aku bertemu dengan teman dan sahabat masa kecilku. Dulu dia tetangga sebelah rumahku persis. Hari namanya. Dia datang bersama orangtuanya pula. Orangtuanya sahabat orangtuaku. Orang tuaku bereuni mengenang saat-saat masih bertetangga dulu. Obrolan dan gurauan ringan mengalir lancar di antara aku, keluargaku, Hari beserta orang tuanya.

Seminggu setelah pertemuan di pernikahan sepupuku, Hari bersama orang tuanya berkunjung ke rumahku. Dan tujuan mereka selain bersilaturahmi, juga berniat untuk meminangku. Aku terkejut dan shocked. Setelah mereka pulang, Ibu menemuiku di kamar. Ibuku tahu ini adalah sesuatu yang sulit buatku. Apapun jawaban dari aku, menerima atau tidak pinangan dari mereka, Ibuku akan selalu mendukungku. Ibuku hanya berpesan, mintalah petunjuk-Nya.



Jika kamu menerima pinangan Hari, lihatlah ke depan, simpan masa lalumu dengan Dedi sebagai pembelajaran yang berharga. Jika kelak kau memilih untuk menerima pinangan Hari, cintamu ke Hari bukan cinta yang biasa, sebab cinta ini akan diikat dengan perjanjian Tuhan. Yang aku ingat, saat itu air mataku mengalir deras, ketika memutuskan untuk menerima pinangan Hari.

Keluargaku dan keluarga Hari sibuk menyiapkan pernikahan kami yang kurang seminggu lagi. Undangan sudah disebar. Gedung, catering, souvenir dan segala pernik-pernik pernikahan sudah disiapkan. Hingga di suatu siang saat aku pergi untuk mencicipi tester hidangan catering yang kupesan untuk pernikahanku nanti, HPku berbunyi dan kulihat ada SMS masuk dari nomor yang tidak kukenal:
“Maafkan aq, Hannie...  Maafkan semua kesalahanku. Aq tdk menyangka jk berakibat spt ini. Aq hrp waktu bs kuputar kembali. Aq barusan dr rmhmu & mengetahui semuanya dr Ibumu. Dedi. ”

Kubaca nama yang tertera di layar HPku. Kueja perlahan setiap hurufnya. Dedi. Benar ini SMS dari Dedi. Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Wajahku pucat pasi, dan Putri, sahabatku yang menemaniku, menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku hanya menjawab ingin segera pulang ke rumah untuk mengetahui apa yang telah terjadi di sana.

Setibanya di rumah, Ibu memelukku dan bercerita jika Dedi baru saja datang bersilaturahmi bersama orang tuanya. Dia meminta maaf karena tidak berkabar dan putus komunikasi. Maksud kedatangannya adalah untuk meminangku dan ingin saat wisuda S2-nya bulan depan, aku sudah mendampinginya dengan status sebagai Ny.Dedi. Tak terasa air mataku mengalir, kenangan indah bersama Dedi melintas di benakku. Oh tidak… ini sangat sulit buatku. Nasi sudah menjadi bubur. Dia datang terlambat. Ke mana saja dirinya selama ini? Cukup sudah, aku tidak ingin menengok kembali ke belakang.

Dedi cukup menjadi masa laluku yang indah dan pahit sekaligus. Sedangkan masa depanku akan kurajut bersama Hari. Aku meyakinkan Ibuku, bahwa aku akan tetap memperjuangkan bukan cinta biasaku. Kini 15 tahun sudah aku mendampingi Hari, berbagi kisah, merajut mimpi kami yang indah, dan hidup kami semakin lengkap dengan hadirnya tiga jagoan kecil kami. Aku yakin cintaku bukan cinta biasa. Cinta yang suci hingga kelak kami dipertemukan kembali di surga-NYA nanti. Aamiin.

Kisahku ini mengingatkanku pada lagu favoritku Twenty Five Minutes Too Late (MLTR)

But still I see her in front of the church
The only place in town where I didn’t search
See looked so happy in her wedding dress
But she cried while she saying this

Boy I’ve miss your kisses all the time but this is
Twenty five minutes too late
Though you travel so far boy I’m sorry you are
Twenty five minutes too late



(vem/nda)