Awalnya Kenalan via Aplikasi, Lama-Lama Aku Jatuh Hati

Fimela diperbarui 08 Feb 2018, 18:45 WIB

Setiap wanita memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada yang penuh liku, luka, hingga akhir kisah yang mungkin tak pernah diduga. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.

***

Semua berawal dari saling mengejek karena masih single. Walaupun aku yang paling muda di antara teman-teman eks kantor lama, tetap saja kena bully. Hingga tercetus membahas salah satu aplikasi pencari teman, diunduhlah secara terpaksa di HPku. Dengan isengnya teman-temanku accept semua yang muncul di layar aplikasi, sungguh membuat kesal, ya tapi dibawa ketawa saja.

Hari-hari berlalu dengan tambahan kegiatan kecil selepas kerja, melihat-lihat profil laki-laki sambil sesekali kalau penasaran akhirnya aku accept juga. Ingat betul hari itu tanggal 11 Mei 2017, aku hanya penasaran karena namanya hanya tercantum 1 huruf. R begitu tulisnya. Dan tidak disangka dia accept pertemanan yang kukirimkan. Pengalaman selama 3 tahun sendiri dan terbiasa untuk selalu memikirkan yang terburuk harus disikapi dengan pembawaan yang santai, karena aku tidak mau lagi terperosok depresi sampai mengorbankan waktu dan hidup lagi, membuktikan bahwa aku bisa hanya berteman dengan seorang laki-laki.

Dengan R, aku bisa berbagi cerita lucu dan santai membahas apapun. Klise memang, tapi aku bertekad untuk tidak gampang terbawa perasaan insecure ketika berteman dengan lawan jenis. Aku menegarkan hati jika saja R ternyata sudah punya pacar. Dan benar saja, lucu memang. Sedari awal kita sudah sepakat tidak akan ada rasa ingin memiliki. Oh well, rasanya aku perlu banyak belajar. Dia bisa menceritakan semua yang terjadi pada keluarga bahkan masalah keuangan. Tapi jarang sekali aku mau bertanya soal pacarnya, entah ini memang privasi dia atau mungkin aku sudah merasa tertarik melebihi kesepakatan kita.



Entah apa yang bisa membuat kita cocok, sebelum pada akhirnya kita saling mengetahui kalau hari lahir kita hanya berbeda 2 hari. Sebagian besar apa yang aku pikirkan dan sebaliknya selalu saja bisa terbaca. Termasuk kenyataan kalau pacar R meminta untuk segera dinikahi. Karena sudah 7 tahun lamanya mereka bersama, namun aku belajar hubungan yang lama tidak menjamin komunikasi mereka lancar. Karena R tidak pernah cerita masalah keuangan keluarganya, yang berimbas dia masih tidak mampu menikahi pacarnya hanya dengan tempo waktu 3 bulan persiapan. Aku yakin betul, bukan masalah keuangan yang menghambat proses lamaran dan persiapan pernikahan yang diidamkan pacarnya. Tapi R ternyata sama denganku, kami tidak atau belum yakin untuk apa pernikahan itu.

Terlepas dari memang sejarah ibuku dan kakak perempuanku yang bercerai, dan aku merasa tidak pernah trauma menjalani hubungan dengan siapapun, tapi aku rasa pernikahan itu bukan hanya masalah nafsu dan finansial semata. Ya, semua yang mencakup dengan perasaan kami kategorikan nafsu. Tapi singkat cerita, aku hanya menjelaskan kalau dia harus jantan dan bertanggung jawab atas apa yang sudah pacarnya harapkan. Aku semangati dia, masalah uang, kalau pacar dan keluarganya benar-benar melihat kesungguhan dia dan keterbukaan dia, pasti pacarnya akan bersedia menunggu sebentar lagi.



Pulanglah dia ke kampung halamannya, berniat menjelaskan kondisi dan kesanggupan dia dan keluarganya kepada pacarnya. Sekali lagi, aku memikirkan yang terburuk untukku tapi dengan tak biasa aku ikhlas berdoa yang terbaik buat R. Di hari akhir pekan itu, kusibukkan diri dengan jalan-jalan, dan membayangkan akhir manis yang akan dialami R. Tapi pertanyaan buatku, apakah aku akan kuat memendam perasaan ini dan mendampingi dia sebagai teman sampai ke hari pernikahan, ataukah aku jujur bilang kalau aku ada rasa sayang dan seperti yang sudah-sudah, lalu aku menarik diri?

Sebulan berlalu, dan hanya kabar biasa aku terima dari R. Tanpa dia mau menyinggung untuk bercerita, ya sudahlah, aku harus puas dengan pertemanan kami. Hari itu dengan tidak biasa, kami bertemu dan dia cerita kalau akhirnya dia diputuskan oleh pacarnya. Aku menangis melihat wajahnya yang sayu dan sangat terpukul. Tidak, tidak. Ini bukan aku, tidak pernah aku menangis begini. Seketika egoku runtuh. Aku benar-benar ingin melihat dia bahagia, ceria dan bersemangat seperti pertama kali kenal. Kami tidak berkata apa-apa lagi selain, aku kirim pesan singkat, “Semoga waktu break-nya bermanfaat.”



Kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing di kantor, sesekali saling bercerita tentang kondisi kantor yang membuat stres. Sampai dengan malam ini, aku memberanikan diri mengaku kalau aku sayang dia, dan tanpa persiapan aku tidak mampu mengendalikan perasaan kesal dan marah karena terlalu lama memendam perasaan ini. Aku merasa jahat, walaupun bukan aku penyebab putusnya hubungan mereka. Tapi R meyakinkan aku, dia sudah menutup lembaran bersama mantannya, dan bersedia menjalani hubungan denganku serta memintaku untuk tidak menyerah untuk bersamanya.

Aku tidak terbiasa menerima cintaku dengan kenyataan “akhir bahagia” begini, tapi akhirnya di tahun 2018 ini aku tidak sendiri. Semoga kami bisa selalu berusaha lebih baik lagi, dan saling menyemangati dengan komunikasi yang terjalin dengan baik pula.





(vem/nda)