Saling Mencintai Tapi Beda Agama, Perpisahan Justru Jadi Jalan Terbaiknya

Fimela diperbarui 08 Feb 2018, 14:30 WIB

Setiap wanita memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada yang penuh liku, luka, hingga akhir kisah yang mungkin tak pernah diduga. Seperti kisah Sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Bukan Cinta Biasa ini.

***

Awal tahun seharusnya menjadi momen bahagia menyambut banyak hal baru di depan mata. Banyak orang mulai mempersiapkan diri untuk menyambut tahun dan keadaan yang baru nanti. Banyak harapan dan doa yang akan disuarakan oleh setiap manusia bernapas di bumi. Tapi berbeda denganku. Tahun 2018 awal ini adalah awal yang menyulitkan, khususnya bagi perasaanku.

Tahun 2014 lalu, aku dipertemukan dengan sosok pria yang bisa membuatku bahagia. Yah, walaupun pada waktu itu, kami tidak bisa bertatap muka secara langsung. Kami berkenalan karena awalnya ibu dari pria ini mengenalku, ingin menjodohkanku dengan anaknya yang saat itu bekerja di Jepang.
 
Saling mengenal, saling bercerita, dan bertukar pengalaman membuat kami semakin dekat dan akhirnya memulai kisah kami di tahun tersebut. Banyak pengorbanan yang telah kami buat karena komunikasi kami terbatas dengan menggunakan handphone jadulku dan dikarenakan perbedaan negara, perbedaan kegiatan yang sangat menyita seluruh waktu dan tenaga untuk memulai hubungan jarak jauh itu.

Kedekatan kami selama 3 tahun yang hanya bertatap melalui video call itu berlangsung hingga dia pulang ke Indonesia pada bulan Maret tahun 2017 lalu. Jangan ditanya beratnya hubungan yang kami jalani. Putus nyambung, saling salah paham karena sinyal yang jelek, kegiatan yang berbeda yang setiap kali mengharuskanku tidur pada pukul 03.00 pagi dan memulai pekerjaan sebagai staf di kantorku pukul 08.00 pagi tak membuatku menyerah dengan keadaan. Hanya satu kesalahan yang kami buat. Kami berbeda agama.

Bagi kebanyakan orang, mereka bisa menjalani perbedaan agama itu dan membuat ikatan suci pernikahan. Tetapi tidak dengan kami. Aku adalah tipe orang yang sangat fanatik terhadap kepercayaan yang kuanut. Namun, setelah bertemu dengannya, terkadang dinding yang kurasa tebal itu tidak terasa menghalangi. Karena kami sama-sama menaruh perasaan yang dalam satu sama lain.

Kami tahu perasaan ini salah, karena di kepercayaanku mengajarkan bahwa kami harus hidup berdampingan dengan yang seagama. Aku tidak bisa mengendorkan pandangan itu karena memang seyogyanya itu hal yang benar. Tidak mungkin kapal bisa berjalan dengan memiliki nahkoda dan awak kapal yang berbeda tujuan. Rumah tangga pun begitu, tidak mungkin bisa berjalan harmonis jika kepala rumah tangga ingin ke jalan A dan sang istri ingin ke tempat B.



Kami tahu hal itu dan sama-sama meyakini kebenarannya. Akhirnya pada bulan Januari lalu, kami berdua memutuskan untuk berpisah. Bukan karena perselingkuhan, kesalahpahaman, ataupun hal lainnya, tetapi karena kami memiliki keyakinan bahwa kami harus taat kepada pencipta kami.

Berat. Sangat berat. Bahkan sampai sekarang perasaan menyayangi itu masih sama dan bahkan bertambah besar. Rindu yang tak tertahankan juga menambah kesengsaraanku. Tapi, aku ingat bahwa Tuhan akan membuatnya indah pada waktunya.

Aku yakin, apa yang kuperbuat sudah benar, walaupun harus mengorbankan perasaanku. Karena pasti akan ada pelangi saat hujan reda. Entah besok aku akan dipertemukan dengan orang lain atau dengannya yang memilih untuk seagama denganku, aku akan meyakini bahwa ini yang terbaik yang Tuhan berikan. Untuk saat ini, biarlah diam dan keikhlasan membuatku tegar dan terus memperkuat imanku kepada-Nya.




(vem/nda)
What's On Fimela