Review: Novel Mata Malam Karya Han Kang

Fimela Editor diperbarui 03 Nov 2020, 22:28 WIB

Judul: Mata Malam (Human Acts)

Penulis: Han Kang

Penerjemah: Dwita Rizki

Penyunting: Arif Bagus Prasetyo

Pemeriksa aksara: Moh. Sidik Nugraha

Penata isi: Aniza Pujiati

Perancang sampul: Wirastuti - TEKOBUKU

Ilustrasi sampul: Freepik

Penerbit PT Bentang Aksara Cahaya (bacabaca.co)

Gwangju, Korea Selatan, 1980. Di tengah kecamuk demonstrasi mahasiswa yang dihadapi dengan kekerasan dan peluru tajam oleh penguasa, seorang pemuda mencari jenazah kawannya. Kisah berkelindan dengan beragam cerita lain yang menyentuh hati dan diracik dengan amat menarik oleh seorang pengarang jempolan.Karya baru Han Kang yang dikenal melalui Vegetarian—novel laris pemenang Man Booker International Prize—ini adalah kisah tak terlupakan tentang kemanusiaan, persahabatan, dan cinta kasih.***Dong Ho, di tengah usahanya mencari jenazah kawannya, ia jadi ikut terlibat membantu proses memindahkan jenazah dari koridor Pusat Layanan Umum ke Aula Pertemuan. Ia pun bertemu dengan beberapa sukarelawan lain. Ada Kak Seon Joo seorang operator mesin di sebuah butik. Kak Jin Soo yang sebenarnya berkuliah di Seoul tapi sedang pulang ke Gwangju. Juga ada Kak Eun Sook seorang siswwi kelas 3 SMA. Di tengah kecamuk demonstrasi mahasiswa dalam peristiwa Pergerakan Demokratisasi Gwangju, Jeong Dae akhirnya menyibukkan diri membantu proses pemindahan jenazah, sekaligus membantu warga yang sedang mencari jenazah kerabatnya.Sebagai informasi, Pergerakan Demokratisasi Gwangju merupakan sebuah peristiwa berserjarah, pergerakan demokrasi yang terjadi di Gwangju, Korea Selatan pada tahun 1980. Ketika presiden Park Chung-hee terbunuh pada tahun 1979, Jenderal Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo mengambil alih kursi kekuasaan. Hal itu kemduian mengakibatkan kekecewaan rakyat Korea Selatan yang menginginkan transisi yang demokratis. Pada perisitiwa itu banyak sekali korban dari kelompok demonstran yang tewas. Bahkan warga biasa yang tampak melakukan gerakan protes atau mencurigakan pun bisa langsung dihabisi dengan kejam.

Ketika orang yang masih hidup menunduk memandangi orang mati, apakah jiwa si mati juga menunduk memandangi wajahnya sendiri?(hlm. 12)

Dong Ho terpisah dengan kawannya Jeong Dae pada suatu hari saat terjadi kekacauan ketika di jalan. Dong Ho melihat kawannya itu tertembak. Tapi karena situasi yang kacau balau dan tembakan di mana-mana, ia lari menyelamatkan diri dan meninggalkan Jeong Dae. Dari situ kemudian Dong Ho merasa bersalah, akhirnya ia pun berusaha memutuskan untuk mencari kawannya tersebut. Meski sama sekali tak tahu apakah Jeong Dae masih hidup atau sudah mati. Cerita kemudian bergulir pada sudut pandang Dong Ho yang ternyata sudah menjadi arwah. Ia menggambarkan keadaan yang dialaminya saat sudah mati hingga mayatnya ditumpuk-tumpuk dengan mayat lain. Tapi ia juga bertanya-tanya apakah kakaknya Jeong Mi masih hidup. Kalaupun kakaknya itu sudah tewas, Jeong Dae tetap ragu apakah bisa berjumpa lagi dengan arwah kakaknya tersebut.

Apakah roh orang-orang di aula pertemuan juga mendadak pergi meninggalkan tubuh mereka seperti burung? Ke mana burung-burung itu pergi?(hlm. 26)

Tragedi Gwangju memang sangat memilukan dan meninggalkan luka yang mendalam. Nasib tragis pun menimpa Dong Ho. Ada sesuatu yang terjadi pada Jeong Mi. Juga kisah hidup Eun Sook yang kemudian menjalani hidupnya dengan sudut pandang yang berbeda. Jin Soo yang memilih untuk bunuh diri. Hingga Ibu Dong Ho yang mencoba untuk terus memperjuangkan keadilan. Semua kisah mereka saling berkaitan satu sama lain.

Baca juga: Review Novel Vegetarian Karya Han Kang.Membaca Mata Malam kita akan dibuat terhanyut, tegang, merinding, tapi juga tersentuh hingga menititkkan air mata. Ada sisi kemanusiaan yang diangkat di novel ini. Ada pertanyaan-pertanyaan soal kehidupan dan kematian yang dilontarkan. Soal keadilan yang diperjuangkan tapi harus dibayar dengan berbagai kepahitan dan kegetiran. Membaca novel ini pun membuat kita kembali bercermin dengan sebuah peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia. Namun, aku tidak mengenal dunia setelah kematian. Apakah di sana juga ada pertemuan dan perpisahan, apakah di sana juga ada wajah dan suara, apakah di sana juga ada kegembiraan dan kesedihan? Aku tidak tahu apakah aku harus kasihan atau iri terhadap ayahmu yang sudah tidak bernyawa.(hlm. 225)Di novel ini, kita juga akan diajak berdialog dengan arwah. Meraba sosok-sosok misterius yang ada di dalamnya. Juga ikut terhanyut dengan emosi dan ketidakadilan yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Untuk menikmati Mata Malam, membacanya sebaiknya pelan-pelan untuk meresapi setiap emosi yang dirasakan setiap tokohnya.

(vem/nda)