Perkara jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memicu pro-kontra yang tak ada habisnya. Terakhir, ada komentar dari seorang dokter, Jiemi Ardian, yang menuliskan pendapat panjang soal PAUD di akun Twitternya.
Dalam kultweet yang ia posting di awal Januari 2018, Jiemi menentang pemikiran soal PAUD untuk anak terutama PAUD yang menerapkan Baca Tulis Hitung (Calistung).
"Anak ngga butuh bisa menggambar, baca tulis, menghitung di usia segitu. Buat apa punya anak bisa baca tulis dan menggambar di usia dini tapi jiwanya terganggu? Buat kasi makan ego orangtua untuk bangga sama anak dengan cara yang salah?" tulis Jiemi di akun @jiemiardian.
"Dari perkembangan kognitif Piaget, anak baru bisa berpikir konkret di usia 7 tahun. Artinya anak berpikir tentang konsep, situasi konkrit, belajar tentang tanggung jawab baru di usia ini. Jangan dipercepat, bahaya," tambahnya.
Tulisan ini kemudian menuai kontroversi. Sebab, tidak semua orangtua menyekolahkan anak di PAUD dengan tujuan cerdas calistung. Banyak juga orangtua yang sengaja mendaftarkan anaknya di PAUD dengan alasan pelepasan energi anak, mengajarkan soal sharing, ataupun soal sosialisasi hidup.
Dengan banyaknya pro-kontra ini, tokoh pendidikan Najelaa Shihab menjawab. Pendiri sekolah Cikal itu membeberkan pendapatnya dalam tulisan berjudul '9 Salah Kaprah Tentang Sekolah Usia Dini' di akun Instagramnya.
Menurut Najelaa kebanyakan percakapan tentang pendidikan usia dini adalah opini berdasar asumsi, bukan data dan bukti. Anak juga sudah siap belajar sejak lahir. "Satu dari sedikit hal yang disepakati berdasarkan data dan bukti adalah pentingnya stimulasi usia dini. Riset tentang pesatnya perkembangan otak, pentingnya kelekatan (attachment) hubungan, pembiasaan rutinitas dan komunikasi yang positif sejak anak di usia dini sudah sangat amat banyak," tulisnya di akun @Najelaashihab yang diunggah, Senin (22/1).
Selain itu, ternyata PAUD memberi keuntungan terbesar untuk anak-anak yang berada di tingkat sosial ekonomi menengah-bawah. Sebab mereka selama ini tidak mendapat kesempatan stimulasi sebelum pendidikan dasar dan sering datang di usia sekolah dengan ketertinggalan capaian.
"Sebagian besar kesenjangan antara anak, misalnya kosa kata yang terbatas, gizi yang tidak tepat, tidak mampu dikejar seumur hidup setelah usia 3 tahun," tutur putri sulung cendekiawan Quraish Shihab itu.
Lalu, benarkah orangtua yang menyekolahkan anak di usia dini adalah orangtua yang tidak berilmu, sekadar ikut tren, atau hanya menyerahkan tanggungjawab?
"Menghakimi intensi orangtua bukan tindakan yang terpuji. Adanya kebiasaan saling menilai atau merasa lebih benar antar orangtua, menakut-nakuti atau melabel berlebihan dari ahli adalah bagian dari budaya yang harus kita lawan, bukannya disuburkan," tegas Najelaa lagi.
Lihat jawaban lengkapnya di postingan berikut.