Hati Wanita Sedalam & Seluas Samudera, Harus Hati-Hati Mengarunginya

Fimela diperbarui 22 Jan 2018, 14:10 WIB

Adalah seorang perempuan, yang ibu untuk ketiga anak–anaknya. Lahir dan dibesarkan di sebuah kota metropolitan semestinya memberikan banyak pengalaman batin yang lebih beragam. Dari semenjak dilahirkan, menjadi gadis remaja, hingga kemudian bekerja sebagai karyawati perusahaan swasta. Bekal yang cukup dari mengenal banyak sifat dan karakter dalam pergaulannya, kemudian mengantarkannya untuk memilih seorang laki–laki untuk menjadi suaminya. Suami yang kemudian menjadi ayah dari ketiga anak lelakinya. Dan seolah kesempurnaan sebagai perempuan pun lengkaplah sudah, saat satu demi satu terlahir anak–anak dari rahimnya.

Namun ternyata perjalanan biduk rumah tangganya tak semulus dan selancar yang diperkirakan sebelumnya. Suaminya mulai berlaku serong, menyeleweng dan selingkuh dengan perempuan demi perempuan yang diinginkan. Perselingkuhan yang kemudian mengguncang kehidupannya berumah tangga. Berulang kali bertahan dalam kesabaran dan ketabahan, maaf selalu diberikan kepada suaminya di setiap kali perselingkuhan terbongkar dan diketahuinya. Demi anak, demi kelangsungan kehidupan rumah tangganya dan juga karena kebesaran hatinya untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kepada suaminya. Mampukah kemudian dia terus bertahan?

Terdapatlah seorang perempuan yang lain. Terlahir dari keluarga ‘priyayi’ yang di dalamnya terdapat beberapa anggota keluarga yang memilih dokter sebagai profesi mereka. Terpandang dan terhormat di lingkungan mereka, si perempuan lalu memiliki cita–cita dan harapan untuk mendapatkan jodoh yang sepadan atau setidaknya yang mampu turut mempertahankan reputasi keluarganya. Dipilihnyalah seorang lelaki pengusaha, walau berstatus duda, namun karena takzim dan sopan santun serta wibawanya, maka bersandinglah mereka berdua di pelaminan dalam resepsi yang diselenggarakan dengan meriah dan penuh dengan rasa suka cita. Segembira dia, yang seolah telah mendapatkan sosok pengganti ayahandanya yang selama ini menjadi panutan sekaligus idola.

Namun ternyata, jalannya kehidupan tak pernah bisa diduga dan dikira–kira dalam rencana–rencana. Sekalipun oleh seorang yang cerdas, terpelajar dan memiliki banyak ‘mentor’ pandai dan bijaksana di dalam keluarga besarnya. Suaminya mulai berubah dan berulah, seiring dengan kegagalan demi kegagalan usahanya dan melampiaskan frustasinya kepada si perempuan dalam berbagai bentuk kekerasan yang menyakitkan, termasuk perselingkuhan yang terungkap kemudian. Namun berulang kali pula ampunan diberikan kepada suaminya yang ringan tangan ini dengan kebesaran hati dan luasnya kesempatan yang dia berikan. Demi anak, demi kelangsungan kehidupan rumah tangganya dan juga demi mempertahankan reputasi keluarga ‘priyayi’ terpandang dan terhormat, yang selama ini menganggap perceraian adalah kegagalan yang harus dihindari. Mampukah kemudian dia bertahan?

Dua perempuan ini, kini menjanda dan membesarkan anak–anak mereka sendiri. Ternyata kesabaran dan ketabahan yang mereka miliki, serta mulianya hati mereka untuk berulangkali mengampuni, dimanfaatkan oleh para suami justru untuk mengulangi dan melakukan kembali perbuatan–perbuatan mereka yang menyakiti para istri. Serong atau perselingkuhan tetap dijalani, KDRT tetap berjalan, bahkan berbagai penyelewengan masalah harta dan keuanganpun dengan tega dilakukan hingga menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Dua perempuan inipun akhirnya memilih untuk mencukupkan diri atas tindakan keji yang terus dilakukan oleh para suami mereka.

Sekeji itukah? Seandainya Anda adalah mereka atau jika Anda meyakini tentang loyalitas mutlak dalam berumah tangga, maka apa yang mereka alami memang sebentuk kekejian yang menimbulkan trauma dan luka di hati perempuan yang sedalam dan seluas samudera. Seolah para suami yang berlaku laksana perompak yang selama ini bebas hilir mudik dan menguasai laut mereka, telah sedemikian berlaku kelewatan dan tak lagi bisa dipermaklumkan. Mereka bisa saja mengamuk, menggulung dan menenggelamkan para perompak ini, namun kembali lagi; demi anak, perempuan–perempuan berhati sedalam dan seluas lautan ini kemudian mengalah. Namun dengan segenap keyakinan, mereka meminta para suami mereka untuk berlalu pergi mencari samudera yang lainnya.

Dalam sebuah puisi yang dituliskan oleh salah satu perempuan itu, terpetik sebuah pesan mendalam;

Wahai lelaki,
Kau tak berhak atas hatiku jika kau tak berusaha tuk memiliki dengan menjaga seutuhnya agar tak hancur dalam kepingan–kepingan
Kau tak berhak atas hatiku jika kau tak mengimbangi dan membalasnya dengan ketulusan dan keagungan hatimu
Kau tak berhak atas ragaku jika kau hanya menghargainya dengan deraan siksaan yang kau timpakan berulang–ulang
Kau tak berhak atas waktuku jika kau abaikan keberadaanku dan tak berada di sisiku saat aku membutuhkanmu
Kau tak berhak atas cintaku, jika kau tak membalasnya dengan cinta yang serupa dan berkadar sama
Jangan harap aku tuk berdiam diri dan menunggu datangmu, atau menghambur ke pelukanmu lagi saat kau memohon belas kasih dan ampunan atas kesalahanmu yang ke sekian kali selalu kumaafkan

Hatiku telah meluas dan sedalam samudera untukmu, namun kini pergilah sebelum badaiku menerpamu dan menenggelamkan. 

(vem/feb)