Memahami Budaya Uni Emirat Arab, Dengan Membuka Pikiran

Fimela diperbarui 17 Jan 2018, 15:02 WIB

Catatan Penulis: Tulisan ini dibuat berdasarkan penjelasan yang didengar penulis di Sheikh Mohammad Center Cultural Understanding (SMCCU) Dubai.

Pengalaman saya berkunjung ke Dubai, Uni Emirat Arab, dimulai dengan sesuatu yang sangat berkesan, yaitu mempelajari kebudayaan lokal di Sheikh Mohammad Center Cultural Understanding (SMCCU) yang terletak di kawasan kota tua Dubai, tepatnya, Al-Fahidi Distric, Bur Dubai. Jujur, awalnya saya sama sekali nggak kebayang, apa yang akan saya terima di sana. Di pikiran saya, mungkin hanya jalan-jalan di kota tua Dubai, sambil menikmati pemandangan, mengambil gambar (untuk instagram, tentu saja) dan sebagainya. Tapi ternyata, yang saya dapatkan lebih dari itu.

Awalnya saya dibawa berkeliling di kawasan SMCCU. Terlihat gedung-gedung tua yang khas di sana. Saya juga melihat tenda di atas pasir yang dulu digunakan sebagai tempat tinggal para masyarakat Dubai. Tenda yang amat sangat sederhana dengan peralatan seadanya. Setelah selesai melihat-lihat, saya kemudian dibawa ke sebuah rumah. Di dalamnya saya disambut oleh dua orang pria yang menggunakan busana khas Arab. Mereka pun mempersilahkan saya dan teman-teman yang lain untuk duduk di ruangan tengah yang sudah diisi oleh beberpa orang asing. Kami dibiarkan duduk (di karpet) melingkari makanan prasmanan yang sudah tersaji. Oh iya, layaknya bertamu ke rumah teman, kami juga diminta untuk membuka alas kaki kami terlebih dahulu.

Tak lama kemudian, munculah presenter yang akan memandu acara hari itu, yaitu Rashid Al-Tamimi. Layaknya masyarakat asli Dubai, Rashid menggunakan pakaian putih panjang dan penutup kepala. Dia memulai acara dengan menyapa semua tamu, dan berujar bahwa kami boleh menanyakan apapun yang berkaitan dengan budaya masyarakat Uni Emirat Arab (UEA).

Baca Juga: Yuk Cari Tahu Tempat Belanja Murah di Dubai

Budaya Majelis

Kumpul-kumpul, itu salah satu budaya masyarakat UEA yang hingga kini masih berlaku. Mereka biasa tinggal dengan lebih dari dua keluarga inti di dalam satu rumah. Di rumah itu kemudian dibuat sebuah ruangan besar di tengah, untuk menjadi ruangan berkumpul sambil makan dan minum-minum kopi. Mereka menyebut ini sebagai Majelis. Nah saya juga seluruh wisatawan yang hadir di sana pun ikut merasakan berada di sebuah majelis. Kami makan masakan asli UAE, dengan cara mereka (menggunakan tangan), lalu ditutup dengan minum kopi arab plus makanan manis yang khas. “Duh sulit ini, saya tak begitu suka,” Ujar seorang wisatawan asal Prancis, saat mencoba makan dengan tangan. Untungnya di Indonesia, cara makan seperti ini sudah biasa, jadi saya bisa makan dengan tangan dengan santai.

“Kenapa kami terbiasa makan dengan tangan? Karena sejak dulu, nenek moyang kami memang tidak menemukan alat makan seperti yang orang-orang Eropa lakukan. Maka kami terbiasa makan dengan tangan. Ini juga merupakan kebiasaan yang diturunkan oleh Rasul kami Muhammad SAW,” Ujar Rashid Al-Tamimi saat menjelaskan tata cara makan.

Budaya berbusana

Mengapa perempuan menggunakan pakaian berwarna hitam dan laki-laki justru berwarna putih? Pasti kamu juga bertanya-tanya kan ladies, kenapa masyarakat Arab (dalam hal ini khususnya UAE) punya kebiasaan ini. Saya pun sempat bertanya dan dijelaskan dengan sangat mantap oleh Rashid.

“Dulu kami bukan masyarakat kaya. Saat itu hanya ada kain berwarna putih dan hitam, tidak ada warna lain,” Ujar Rashid mengawali. Lebih lanjut Rashid juga menjelaskan bahwa di UAE, mereka merupakan padang pasir dan tidak memiliki tanaman yang bisa digunakan untuk mewarnai kain. Sehingga sejak dulu mereka terbiasa menggunakan dua warna itu saja.

Lalu mengapa laki-laki menggunakan baju putih? “Kami para pria menggunakan pakaian dalam berlengan pendek, dan celana selutut. Tak masalah jika kami menggunakan baju warna putih yang berbayang (see through). Sebaliknya untuk perempuan, kebiasaan sehari-hari perempuan dan laki-laki berbeda. Perempuan lebih sering di dalam rumah dan iklim di UAE sangatlah panas. Sehingga bentuk baju dalam perempuan lebih minim dari pria (demi kenyamanannya). Menggunakan baju hitam tentu membuat perempuan lebih nyaman tanpa khawatir pakaian dalamnya terlihat. Nah sejak itu, hal ini kemudian menjadi budaya.

“Namun kini, perempuan pun memiliki banyak pilihan busana dengan berbagai warna. Nanti kalian bisa mencobanya sendiri,” Ujal Rashid lagi kepada seluruh wisatawan.

Rashid juga menjelaskan penutup kepala yang digunakan para laki-laki Arab. “Coba dipikirkan secara logika, dulu laki-laki Arab memiliki mobilitas tinggi, tapi kami tak punya mobil. Kami berkendara dengan unta. Selain itu, dulu ini adalah hamparan padang pasir yang luas, sehingga pasir-pasir akan bertiup mengotori rambut kami. Menggunakan kepala akan membuat rambut kami terlindung dari pasir dan matahari. Selain itu bisa juga digunakan untuk menutupi wajah kami dari badai pasir, sehingga pasir tak masuk ke saluran pernapasan,” Jelas Rashid. Lebih lanjut Rashid menjelaskan, ikat kepala hitam yang digunakan laki-laki Arab untuk mengikat penutup kepalanya juga ternyata memiliki fungsi lain, yaitu mengikat kaki unta. “Dulu di perjalanan, saat malam tiba, kami akan beristirahat di tenda, lalu kaki unta kami diikat dengan tali ini. Kami tak mau unta kami kabur,” jelasnya sembari tertawa.

Lihat Foto: Indahnya Pasar Tradisional Dubai yang Mirip Galeri Seni

Perempuan dan Cadar

“Cadar itu budaya, bukan ketentuan agama,” Tegas Rashid saat ditanya soal cadar. Ia menjelaskan, bahkan ketika umat muslim naik haji, cadar tersebut akan diminta untuk dilepas karena memang bukan termasuk dalam ajaran agama islam. Lalu mengapa banyak perempuan Arab menggunakan cadar?

“Sekali lagi saya minta kepada Anda semua untuk menggunakan logika. Seperti yang sudah saya jelaskan, masyarakat kami sejak dulu tinggal di atas hamparan pasir. Dan perempuan-perempuan biasanya jarang berpergian. Sehingga merekalah yang mungkin paling sering merasakan badai pasir. Nah mereka menggunakan cadar untuk melindungi diri dari itu. Dari badai pasir yang bisa masuk ke pernapasan mereka,” Jelas Rashid. Menurutnya, mengapa masih banyak yang menggunakan hingga kini, karena masalah kebiasaan saja. Lagi pula, cadar juga bisa melindungi mereka dari udara panas dan angin kering yang tidak nyaman di UAE (musim panas di sana, udaranya bisa mencapai 55 derajat celcius).

Sebelum menutup sesinya, Rashid berkata, tujuan dibangunnya SMCCU ini adalah agar para masrakat dunia tak salah mengerti dengan kebudayaan Arab. Uni Emirat Arab ingin membuka pintu seluas-luasnya untuk masyarakat dari belahan dunia manapun, sehingga masyarakat dunia dapat membuka hati dan pikiran mereka untuk lebih memahami budaya Arab.

“Ini benar-benar membuka pikiran saya, soal islam, maupun masyarakat Arab,” ujar seorang wisatawan asal Afrika Selatan saat kami mulai beberes untuk melanjutkan perjalanan. Tapi tak hanya wisatawan tersebut, saya pun keluar dengan pandangan yang benar-benar lebih luas khususnya dalam memahami budaya UAE. Jika kamu ingin #kunjungidubai dan tertarik mencari tahu lebih lanjut soal SMCCU Dubai, klik di sini.

(vem/kee)