Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat untuk Ibu ini benar-benar membuat hati ikut terluka. Tak terbayangkan perjuangan dan pengorbanan besar yang dilakukan seorang ibu demi anaknya.
***
Menggalasakti, Riau 2017
Bu, hari ini di tanah Sumatera cuaca begitu sendu. Sejak tadi malam hujan pun tak henti, mengingatkanku pada aroma bukit Lembang yang dingin berhalimun tebal. Setiap tetes air hujan yang turun itu selalu mengingatkanku akan tangismu yang lirih di setiap malam. Waktu itu kau begitu terluka, aku bertanya kepadamu, “Kenapa Ibu menangis?” Tapi Ibu hanya menyodorkan secarik kertas.
Ah, begitu polosnya aku kala itu. Aku hanya berkomentar, “Mungkin isi akta kelahiran itu salah ketik, Bu." Tetapi sekarang aku mengerti, setelah aku kuliah di jurusan hukum bahwa seorang anak yang lahir dari pernikahan siri, tidak mungkin mendapatkan akta lahir yang berisi nama ayah dan ibunya. Saat itu aku baru sadar, ayah memiliki anak lain. Engkau pun terluka karena ayah telah mendua, ayah pun begitu lancang mencatut namamu untuk akta lahir anak yang kau pun tak pernah melahirkannya.
“Mereka tak punya sifat empati, Nak. Apalagi sekadar perasaan haru terhadap sesama, dalam menjalani hidup mereka selalu ingin yang instan, tak perlu kerja keras, cukup menjadi ‘lebah penghisap madu’ dari pria yang sudah mapan, tak peduli ia sudah beristri atau tidak, yang penting segala fasilitas mewah nan royal ia dapatkan!" Engkau bilang begitu Bu sembari emosi memuncak, engkau bilang mereka adalah tipe wanita penggoda.
Bukit Bunga, Bandung 2012
Bu, saat itu engkau berkata ingin sekali bercerai dari ayah. Aku pun bingung kala itu engkau tak menjelaskan situasi yang sebenarnya. Engkau hanya berkata bahwa hubungan kalian sudah tak harmonis lagi. Di saat yang bersamaan sku memberitahumu bahwa ada seorang pemuda yang hendak melamarku. Sejenak engkau terdiam, tanpa ekspresi yang berarti, engkau pun menatapku dengan datar sambil berkata, “Ibu ikut bahagia, Nak. Maafkan ibu, tadi ibu tidak sungguh-sungguh berkata ingin bercerai dari ayahmu." Ibu pun lalu tersenyum mekar. Sehingga aku pun akhirnya melangsungkan pernikahan dengan bahagia dan lancar.
Bu, saat itu aku teringat akan rasa gundahmu saat melepas kepergiaanku di Bandara Husein Sastranegara, Bandung menuju Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru Riau, engkau mengajukan pertanyaan yang sama kepada kami sampai tiga kali.
Engkau bertanya, “Nak, apakah engkau ingin benar-benar merantau ke Sumatera? Apakah tidak alangkah baiknya kalian tinggal di Bandung saja? Biar nanti ibu carikan rumah yang dekat dengan ibu." Belum sempat kujawab kedua pertanyaanmu, engkau bertanya lagi, “Nak, maukah kau tinggal bersama ibu saja di rumah? Ibu tidak apa-apa kalau kau dan suamimu tinggal bersama Ibu, toh hanya kita bertiga, karena Ayahmu selalu pergi keluar kota."
Dengan berat hati aku menjawab pertanyaan ibu, “Maafkan aku, Ibu. Kami sangat menyayangimu, tetapi kami harus mampu berdikari, mampu hidup mandiri merajut rumah tangga kami, kelak kami pasti akan menjenguk ibu setahun dua kali." Engkau pun memelukku erat sembari meneteskan air mata. Berat sekali bagi kami meninggalkanmu saat itu, Bu.
***
Ah... segelas susu jahe ini hampir habis kuteguk sembari menulis surat ini untukmu, Ibu. Rasanya aku sudah tak sabar ingin menjengukmu. Bu, kini kau telah menjadi seorang nenek. Cucumu telah lahir, ia begitu cantik, ia mewarisi kulit putihmu.
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi, ternyata ada pesan darimu, engkau mengirim lembaran foto kertas putih penuh kata. Kubaca pesanmu dengan teliti, rasanya bagai hati tersengat seribu lebah, seketika aku pun menangis sejadi-jadinya. Aku pun membalas pesanmu, “Mengapa Ibu membuat surat gugatan cerai itu? Bu, usiamu sudah tak muda lagi, mengapa engkau memilih untuk berpisah setelah sekian ribu jam engkau bertahan? Mengapa, Bu, mengapa?"
“Anakku yang sangat aku sayangi, ibumu ini memang sudah tidak muda lagi, motivasi hidup ibumu bukan sekadar materi berlimpah dari ayahmu, tetapi perlu engkau tahu, Nak selama ini ibu bertahan untukmu. Saat itu ibu khawatir kalau ibu bercerai dengan ayahmu, engkau akan hancur dan rapuh karena saat itu engkau sedang ujian sekolah. Selama ini ibu bertahan untuk berbakti dalam cinta meski telah terluka. Tetapi, Ibu masih punya harga diri dan berhak bahagia. Sekarang Ibu tak khawatir lagi, karena engkau telah memiliki suami yang baik yang akan selalu menjagamu."
Ternyata… selama ini engkau hidup dalam sepi dan luka. Dalam sendu dan derita, tetapi engkau tetap kuat dan tegar, Ibu. Dahulu, aku selalu berharap ada keajaiban Tuhan agar ayah kembali kepadamu secara utuh tanpa perempuan itu. Tetapi sekarang aku telah mengikhlaskanmu. Engkau tahu apa yang terbaik untukmu.
Ibuku... perempuan hebat berhati malaikat yang tak akan pernah terlambat untuk bahagia di sisa senja usianya.
(vem/nda)