Saat Tuhan Mengambil Ibumu, Bukan Berarti Dia Sedang Menghukum Dirimu

Fimela diperbarui 27 Des 2017, 13:20 WIB

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat untuk Ibu ini berisi perasaan rindu yang mendalam tapi juga soal belajar mengikhlaskan.

***

Ketika Tuhan mengambil sesuatu indah dari genggamanmu, bukan berarti Dia sedang menghukummu. Tuhan hanya ingin membuka tanganmu untuk menerima sesuatu yang lebih indah.

Aku adalah ragil dari ketiga bersaudara. Di antara kedua kakakku, akulah yang paling disayang ibu. Sering kakakku cemburu dengan kasih sayangnya. Karena itu, aku juga selalu kurang ajar memanas-manasi kakak. Aku tahu ibu pasti membelaku, selalu membelaku. Kebiasaan mau menang sendiri ini terbawa sampai ke sekolah. Aku tak pernah mau berbagi, tak mau memberi, dan acuh tak acuh pada orang lain. Sikap ini membuatku jadi anak paling menyebalkan di sekolah. Hampir tak ada yang mau denganku. Tak jarang ibu menjemputku dengan sisa air mata di pipi.

“Kenapa nangis?”
“Aku nggak mau minjemi pensil Vita. Terus Vita bilang sama yang lain kalau aku pelit. Habis itu aku diejek sama yang lain, ‘Rosy pelit, Rosy pelit. Besok nggak usah main sama Rosy lagi. Dia pelit’ gitu, Buk,” kataku cemberut sambil mengisak tangis.

Ibu langsung memelukku. Kemudian mengajakku ke toko alat tulis, lantas membelikan pensil 2 untukku. Beliau berpesan, "Besok kalau ada yang pinjem pensil, kasih ini saja ya. Biar Rosy tidak diejek pelit." Lantas Ibu tersenyum. Bahkan senyuman itu masih terasa hangat sampai sekarang, begitu menenangkan.

Setahun kemudian, kedua orang tuaku semakin sibuk. Jarang ada di rumah, atau pulang saat aku sudah tidur. Terpaksa menyewa mbak Imah untuk menemaniku. Seminggu sekali Bapak Ibu keluar kota, Solo-Semarang. Bukan karena bekerja, namun untuk pengobatan. Ibu mengidap kanker nasofaring, penyakit yang biasanya hanya diderita orang-orang kaya (padahal kami bukan keluarga kaya, lantas mengapa bisa terkena?). Sampai suatu hari, teman ayah datang menjemputku buru-buru. Katanya, aku ditunggu ibu.

Sampai rumah, aku langsung menuju kamar ibu untuk memenuhi panggilannya. Ternyata ada banyak teman-teman ibu di dalam. Bapak yang di samping ibu sambil berkata sesuatu dan menangis. Ibu masih tersenyum saat itu, melihatku dan kakakku. Lantas membelai rambutku. Aku hanya diam waktu itu, melihat ibu, ayah, dan kakakku yang perlahan mulai menangis.



“Innalillahi wa innailaihi rajiun.”
Bapak menangis, kakakku menangis memanggil nama ibu, teman-teman ibu juga menangis. Aku hanya diam saja. Aku tak tahu, kenapa semua orang menangis di sini. Lantas aku menggoyangkan tubuh ibu. Beliau hanya diam saja. Aku semakin keras menggoyangkannya. Ibuku matanya masih terbuka, namun tidak bergeming. Aku takut. Aku menangis, aku memanggil nama ibu yang waktu itu mengacuhkanku pertama kali. Teman ibu datang, membawa kain putih dan menali kepala ibu. Kemudian ibu dimasukkan dalam kain putih. Lantas dibawa pergi. Di situlah air mataku menetes, "Ibuku mau dibawa kemana?" Sampai di antara orang yang ada, tangiskulah yang paling pilu.

Aku yang masih 8 tahun tak mengerti semua kejadian ini. Rumahku kelabu, awan di langit mendung. Semuanya bersedih. Semenjak saat itu, tak kutemui lagi wajah ibu. Aku sering menangis diam-diam merindukannya. Kerap bertanya dalam hati, kapan ibu pulang? Ibu, aku punya sejuta kisah yang tentang teman-teman di sekolah yang nakal. Kata Bapak, ibu lagi pergi jauh, ada di akhirat sana. Aku tak tahu, di mana alamat akhirat itu. Sampai pada pelajaran bahasa Indonesia tentang mengirim surat. Aku putuskan untuk mengirim surat pada Ibu yang beralamat "akhirat".

Saking merindukannya, lidahku kelu setiap mengatakan kata ‘ibu’. Rasanya hatiku teriris mendengar teman-temanku memanggil ibu mereka. Diam-diam aku menangis di WC saat pulang sekolah melihat teman-teman dijemput ibunya, dipeluk, dan dibelikan makanan kesukaan. Sedangkan aku? Punya ibu saja tidak. Aku jadi lebih murung.

Sering kali orang-orang menatapku dan berbisik, "Itu lho ibunya sudah meninggal. Kasihan ya." Waktu itu aku langsung lari. Rasanya mau pergi saja. Toh aku tak punya ibu, teman-teman tak suka denganku, kakak juga suka marah padaku. Tak ada lagi ibu yang selalu ada, selalu membagi, memberi dan perhatian.

Setiap hari aku berdoa pada Allah untuk bertemu dengan ibu sebentar saja. Memeluknya meski sebentar saja. Membiarkan ibu membelai rambutku, meski sebentar saja. Meski sebentar saja. Tapi semua itu tak pernah terjadi. Aku ingin mengatakan kata-kata yang tak pernah kuucapkan. Rosy sayang ibu. Tapi itu tak pernah terjadi. Meskipun lewat mimpi, aku tak pernah menemui ibu.

Aku diam-diam pergi ke kuburan ibu. Jaraknya 30 menit jika jalan kaki seusiaku. Selama perjalanan aku menangis. Seperti anak kehilangan induknya. Memang aku kehilangan, indukku telah pergi. Orang-orang menatapku iba. Tapi aku mengacuhkannya, yang penting aku bertemu ibu. Sampai kuburan, tangisku semakin keras. Kenapa tega orang-orang membiarkan ibu tidur bersama tanah. Kenapa bapak tidak membiarkan ibu tidur di rumah saja. Sampai rumah aku marah dengan bapak. Aku mengunci pintu hingga ayah pulang dan membujukku keluar kamar.

Tibalah suatu hari, aku terbangun karena suara bisikan. Aku menengok di ruang tengah. Ada Bapak disana, tengah bersujud di sepertiga malam.

"Ya Allah, berikanlah kesabaran dan keikhlasan untuk keluarga kami. Lapangkanlah dada kami menerima semua kehendakMu. Berikan keteguhan pada hati anak-anaku. Mudahkanlah jalan istri hamba. Jauhkan lah keluarga kami dari siksa neraka. Berikanlah yang terbaik untuk kami. Aku tahu, Engkau tidak memberi cobaan di luar batas kemampuan kami."

Aku berlari memeluk Bapak. Kemudian beliau memberiku catatan kecil.



"Untuk anak-anakku. Jika suatu hari nanti ibu tak bisa menemani kalian, maafkanlah ibu. Ibu berjanji untuk berjuang keras melawan penyakit ini. Demi kalian anak-anak ibu yang hebat. Ibu pernah bermimpi melihat kalian menjadi sukses ketika dewasa. Pulang ke rumah dan memeluk ibu. Harapan ibu bisa selalu menemani kalian sampai kalian besar dan sukses. Tapi jika Allah tidak menghendaki, maka jangan bersedih. Jangan menangis ketika ibu sudah tidak ada. Buktikan kalau kalian adalah anak-anak ibu yang kuat! Jadilah shalih dan shalihah. Berbaktilah pada Bapak. Ibu yakin kalian bisa. Salam sayang dari Ibu."

Mataku basah. Ada rasa rindu, senang, sedih, dan bangga pada ibu. Aku memeluk ayah, dalam hati aku berkata,
"Ayah maafkan aku, aku janji tidak akan nakal." Demi ibu yang berjuang untukku. Demi kalian ayah ibuku. Aku tidak akan sedih, menangis, dan jadi anak kuat.

Mulai malam itu aku belajar tidak menangis melihat teman-teman bersama ibunya. Meski linangan air mata kadang muncul perlahan, langsung aku seka biar tak berlinang lagi. Aku bertanya pada kakakku, bagaimana caranya agar tidak cengeng? Katanya, aku harus lihat film jotos-jotosan, pembunuhan, dan penyiksaan. Akhirnya aku mulai mencari-cari info film seputar itu dan belajar menyukainya. Kebanyakan artis dari film itu menyetel musik hard core atau undergrond. Aku juga belajar menyukainya. Simpel, tujuannya agar hatiku keras. Aku harus jadi wanita tangguh, tahan banting, tidak mudah menangis, sekeras dan sesakit apapun.

Hampir setiap malam kulahap buku pelajaran sekolah. Membaca, menulis, menyalin, menghapal agar semua mata pelajaran bisa terekam di otakku. Aku meringkas jadwal tidur. Bangun di sepertiga malam untuk menghadap Sang Kuasa. Lalu belajar lagi. Begitu selalu setiap hari. Akhirnya, aku bisa mendapatkan juara di sekolah. Kemudian terpilih dalam tim lomba sekolah. Sampai sekarang bisa kuliah disalah satu universitas ternama di Indonesia.

Aku tahu, kehilangan itu menyakitkan. Ditinggalkan orang yang paling disayang memang menoreh luka. Tapi bukan berarti kita terus merasa tersakiti dan lemah. Rasa sakit seharusnya tidak menjadikanmu jatuh, terkapar dan tak berdaya. Percayalah, kehilangan bukan hukuman. Tapi cara Tuhan untuk memberimu sesuatu yang lebih indah. Untukmu sekarang, dan masa depan.







(vem/nda)