Ibu Bukan Darah Dagingku, Tapi Kehadirannya Bagai Malaikat di Hidupku

Fimela diperbarui 14 Des 2017, 15:40 WIB

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat untuk Ibu ini menjadi bukti bahwa cinta kasih seorang ibu sungguh luar biasa, sekalipun tidak sedarah.

***

Ibu, engkau tidak merawatku di dalam perutmu selama 9 bulan selayaknya wanita pada umumnya. Engkau tidak melahirkanku dengan segala perjuangan selayaknya wanita pada umumnya. Engkau tidak mengajarkanku kata pertama, engkau pun tidak mengajarkanku langkah pertama. Tuhan memang tidak menakdirkan aku hadir melalui rahimmu, Ibu tetapi Tuhan sungguh baik dengan menghadirkan engkau di dalam kehidupan kami khususnya aku.
 
Bisa dibilang aku adalah seorang gadis kecil yang kurang kasih sayang, karena Tuhan telah memanggil Mamaku di saat aku dan kedua adikku sangat membutuhkan kehadiran Mama. Tapi tak lama kemudian Tuhan menggantinya dengan menghadirkan engkau di kehidupan kami.

Ibu aku ingin semua tahu bahwa AKU SANGAT MENYAYANGIMU melalui suratku ini. Ibu, jalan yang engkau tempuh dengan memilih untuk menjadi bagian dari kehidupan kami sungguh tidaklah sangat mudah. Banyak pengorbanan yang engkau lakukan, banyak air mata yang telah mengalir.



Ibu, beliau berumur 29 tahun di saat memutuskan menikah dengan Bapak, yang mempunyai 10 anak di usianya yang sudah 54 tahun. Sungguh keputusan yang sungguh luar biasa menurutku. Seiring perjalanan kehidupan kami, engkau bercerita di sela–sela canda di ruang tengah, perjalanan di mana engkau memilih menjadi ibu kami. Bahwa Bapak setengah membohongi engkau tentang keadaan bapak saat itu, yang mempunyai 10 anak. Dan banyak kejutan–kejutan lain yang engkau dapatkan dari bapak.

Seiring perjalanan hidup kami sebagai keluarga, engkau bahkan sempat mendapat penolakan dari semua kakakku. Mereka belum bisa menerima kehadiranmu sepenuhnya, begitu juga dengan aku yang di saat itu masih labil dengan kenakalan yang kulakukan menyakitimu.

Kehidupan rumah tangga yang kau jalani sungguh berbeda dengan kehidupan rumah tangga lainnya. Banyak air mata, banyak pengorbanan, banyak luka. Tapi engkau tetap melanjutkannya dengan tegar. Bahkan di saat tersulit ketika Bapak jatuh sakit tak berdaya, tidak sedetik pun engkau meninggalkan beliau. Engkau merawat dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.

Dari stoke yang Bapak alami tidak bisa berjalan sampai Bapak bisa berjalan. Dari menghadapi kenakalan kami anak–anaknya satu persatu di setiap saat yang berbeda, menjadi tulang punggung kami menghadapinya dengan tegar dan penuh tanggung jawab meski dengan air mata yang engkau sembunyikan dari kami.

Tidak hanya sampai di situ pengorbananmu. Di saat Bapak pergi meninggalkan kami semua, pada tujuh hari setelah kepergian bapak, engkau menceritakan kesedihan dan perjuanganmu selama merawat bapak sakit 2 tahun. Bahwa ada kewajiban yang harus kami selesaikan untuk pengobatan Bapak selama sakit. Dan itu menjadi boomerang yang menyerang kau balik. Semua keluarga menuduhmu merebut satu–satunya peninggalan bapak untuk kami semua, “Rumah Kita”. Semua keluarga menyerangmu, memarahimu. Ibu, baru hari itu aku melihat ketegaranmu hancur. Engkau sungguh bukan ibu yang selama ini.



Karena engkau tidak tahan dengan segala perlakuan kakak dan keluarga kami, engkau memutuskan untuk meninggalkan kami. Dengan hati yang berat aku memberikan beliau izin untuk meninggalkanku dan keluarga. Walaupun aku tahu risiko yang aku hadapi adalah kehilangan seluruh “duniaku” tetapi melihatmu hancur hatiku sungguh menjerit. Aku tidak mempunyai daya untuk menolongmu saat itu.

Engkau pergi meninggalkan luka besar kembali ke keluarga besarmu, engkau pergi dengan kondisi kalah dan hancur dengan penyakit “depresi”. Setahun engkau berjuang bangkit kembali dari kehancuranmu, setahun itu pula aku tidak bisa menghubungimu, Ibu. Pertemuan pertama kita setelah 1 tahun ini sungguh membuat hatiku menangis. Engkau tidak bisa melihat kehadiranku, karena itu membuka ingatanmu akan lukamu.

Seiring berjalannya waktu hubungan kita membaik, aku sungguh senang Ibu. Walaupun aku tahu bahwa sebagian keluarga kami masih mengganggumu, Ibu. Sehingga suatu kesempatan datang kepadaku untuk bekerja menjadi TKI, di situ keputusan tergila yang kubuat. Aku harus pergi meninggalkanmu dan kakak, walau dengan segala kemarahan dari seluruh keluargaku, aku pergi selama 3 tahun.

Aku memutuskan pergi menjauh dari seluruh orang yang kusayangi untuk melatihku menjadi wanita tegar seperti engkau, Ibu. Untuk bisa menjagamu dari luka yang selama ini engkau dapat, itu janjiku kepada diriku. Keputusanku untuk pergi menjadi TKI pun, engkau pun masih kena getahnya, karena aku memutuskan memasukkan namamu sebagai ahli warisku atas asuransi yang kudapat, kalau kalau sampai hal buruk terjadi terhadapku.

Di saat itu aku mampu menyuarakan hatiku, bahwa aku punya kewajiban untuk melindungimu. Dan sampai kesempatan besar datang padamu untuk menyembuhkan lukamu, adanya lelaki yang ingin bertanggung jawab sepenuhnya kepadamu dan “beruang kesayangan kita, Bu”, engkau menolaknya demi untuk tidak memutus hubungan denganku. Entah apa yang harus aku rasam bahagia atau sedih. Sedih karena aku telah egois memutus kebahagiaan yang datang padamu.

Ibu aku sangat berterima kasih pada Tuhan, karena telah mengenalkan dan menghadiahkan engkau di kehidupanku. Walau banyak air mata yang telah kita keluarkan, walau dunia menghujatmu. Tapi Ibu, engkau lah duniaku, karena engkau adalah guru kehidupanku. Karena engkau lah aku ada hingga saat ini.

Maafkan atas ketidakberdayaanku yang belum mampu berbakti seutuhnya menjadi anak yang baik. Tapi satu hal yang harus kau tahu, Ibu, aku sungguh menyayangimu, walau engkau tidak melahirkanku. Semoga Tuhan berbaik hati, memberikan kita waktu yang lebih panjang lagi, untukku berbakti kepadamu. Saat ini aku hanya bisa menitipkan engkau kepada Tuhan melalui doa.





(vem/nda)
What's On Fimela