Aku Memang Tak Ingin Jodohku Seperti Ayah, Tapi Bukan Berarti Diriku Egois

Fimela diperbarui 27 Nov 2017, 19:30 WIB

Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini mengingatkan kita kembali soal pentingnya sebuah maaf, meski segalanya tak kembali seperti dulu lagi.

***

Hari ini adalah tahun kedua setelah kepergian ayah. Bukan karena pergi menghadap Tuhan, namun ayah justru pergi bersama seseorang yang tidak diharapkan. Masih aku ingat wajah ayah saat itu, kecut. Berlalu begitu saja tanpa menghiraukan aku dan ibu. Ingin aku tahu apa yang ada di pikiran ayah saat itu. Sebegitu tidak berharganya kah aku? Bahkan aku yang dulu ayah sebut sebagai buah cinta ayah dan ibu kini tak bisa lagi menjadi alasan untuk bertahan.

Ayah, mungkin ketika ayah pergi, ayah merasa lebih baik. Tapi tidak denganku. Mulai detik itu semua berubah drastis. Kepergian ayah menjadi sebuah tamparan keras bagiku. Membuatku terhenyak tak percaya, bahwa aku sebagai anak sulung sudah harus menopang keluarga. Membangun kembali semua harapan yang telah berserak dengan asa walaupun sudah tak berdaya. Sulit aku percaya, ayah yang membangunnya justru ayah pula yang menghancurkannya.



Apakah ayah tahu bagaimana perasaanku saat itu? Saat di mana aku tahu bahwa kami bukan lagi menjadi alasan untuk kebahagiaan ayah? Aku hancur sehancur-hancurnya. Melihat ibu menangis tiada henti, dadaku sesak menahan amarah. Bingung, ingin aku maki ayah sesuka hati tanpa peduli bahwa ayah juga manusia. Apakah ayah ingin tahu bagaimana aku menjalani hidupku tanpa ayah? Aku tertatih, terseok-seok seperti kapal yang hendak karam. Andai ayah tahu betapa payahnya aku saat itu. Pura-pura bahagia di depan semua orang seakan hidupku baik-baik saja. Memasang wajah ceria untuk menghindari setiap tatapan iba. Dan yang lebih sulit, berusaha tegar di depan ibu yang juga sedang bersandiwara sepertiku.

Aku patah hati karena cinta pertamaku. Sulit aku mengerti seseorang yang menjadi panutan, tempat ternyaman, lelaki yang sempurna justru bertindak di luar harapan. Setiap anak gadis mungkin ingin memiliki pasangan hidup seperti ayahnya. Namun sejak saat itu aku bertekad, aku tak ingin jodohku seperti ayah.

Hari demi hari aku lewati dengan susah payah. Aku tak lagi menangis. Bukan karena kuat, namun air mata kini telah habis. Tiada guna lagi menyesali semua yang telah terjadi. Hidupku harus tetap berjalan. Walaupun tanpa ayah, aku masih punya ibu yang harus tetap aku banggakan.



Aku kini bisa tertawa, namun tak sebahagia bila bersama ayah. Ayah, aku rindu saat-saat itu. Aku rindu tubuh kokoh yang menjadi sandaranku. Aku rindu tangan kuat yang setia menggandengku. Aku rindu hati bijak yang setia mendengarkanku. Aku rindu.

Ayah, kini aku telah tumbuh dewasa. Aku telah menemukan teman hidupku. Memang tak sesempurna ayah, tapi dia cukup bagiku. Bukan sebagai pengganti ayah, namun pelengkap kebahagiaanku. Dia membantuku melewati hari-hariku tanpa ayah. Namun, seindah apapun petualanganku di luar sana, ayah akan selalu menjadi rumah bagiku. Tempat yang nyaman untuk kutinggali, dan kurindukan ketika pergi. Seburuk apapun, ayah tetaplah seorang ayah yang baik bagiku.

Untuk kesalahan waktu itu, mari sama-sama kita lupakan. Kini, aku dengan lapang hati mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Ayah sudah aku maafkan, semoga ayah pun demikian. Terima kasih untuk semua rasa sayang yang ayah berikan. Terima kasih untuk semua perhatian yang sungkan ayah ungkapkan. Semoga hidup kita selalu bahagia walaupun tidak selalu bersama. Salam rindu, aku yang selalu merindukan ayah.







(vem/nda)