Saat Ayah Memilih Wanita Lain, Kuingat Malam Itu Ibu Bilang Ingin Mati

Fimela Editor diperbarui 17 Nov 2017, 18:45 WIB

Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini memang terasa getir. Tentang pengkhianatan tapi juga rasa rindu yang tak mungkin hanya bisa dipendam.

***

Ayah, aku rindu. Apakah kau bahagia sekarang?13 tahun sudah engkau pergi dari kehidupanku dan ketiga kakak perempuanku.13 tahun sudah engkau pergi dari kehidupan ibuku setelah 35 tahun kalian bersama.Bagaimana keadaanmu sekarang ayah? Apakah kehidupanmu lebih baik melebihi kehidupanmu bersama kami? Ataukah sebaliknya? Apabila kehidupanmu lebih baik daripada saat bersama kami, aku sangat bersyukur. Tapi apabila sebaliknya, aku cuma mampu berdoa yang terbaik bagimu. Karena ini semua pilihan hidupmu.Apakah kau ingat ayah? 13 tahun yang lalu. Saat musibah besar menghantam tanah kelahiran kita Aceh, saat itu pula musibah besar menghantam keluarga kita. Aku ingat persis saat gempa besar itu, kau menjerit memanggil kami yang masih tertidur. Semua berlarian ke halaman. Di tengah goyangan yang begitu dahsyat dan ketakutan yang mengerikan dan semua orang sujud ke bumi mengharap perlindungan. Kau malah berusaha berdiri dengan gagah berani memegang pagar yang bergetar hebat.Kau berteriak sekeras-kerasnya, "LAILLAHAILLALLAH. LAILLAHAILLALLAH. LAILLAHAILLALLAH."Aku begitu takjub melihatmu, bukan hanya aku tapi juga tetangga-tetangga kita. Dan rumah kita berayun-ayun mengikuti lafazmu. Itulah engkau AYAH YANG PALING AKU BANGGAKAN.Setelah dari itu keluarga kita yang tidak terkena air pasang tsunami mendapat musibah lain. Entah kenapa kebohonganmu selama 20 tahun terkuak sedikit demi sedikit. Dan kebohonganmu itu sebanyak umurku saat itu. Ayah, kau membohongi ibu, kau membohongi kami semua. Kau tidak hanya mencintai kami, tapi juga mencintai seseorang di luar sana. Hati ibu koyak dan hancur dan kami hanya mampu melihat itu semua tak berdaya.Aku ingat persis malam itu, 3 bulan setelah musibah. Saat ibu bertanya, “Pilih siapa? Satu perempuan itu atau kami semua sekeluarga?” Kau menjawab dengan angkuhnya, “Aku pilih dua-duanya." Tidak bisa ayah, kau tidak bisa serakah. Ibu hanya punya engkau dalam hidupnya dan engkau mau punya lebih daripada ibu. Ibu tidak sanggup, aku tidak sanggup, kakak-kakakku tidak sanggup dan perempuan manapun tidak sanggup. Dan kami pun mundur, ibu, aku, kakak-kakakku, suami mereka dan cucu-cucumu. Dan kau tahu apa yang dilakukan ibu malam itu ayah? Dia menangis di lantai kamarku berguling-guling layaknya anak kecil yang tidak dituruti kemauannya. Kalau anak kecil berkata, “Ingin mainan," sedangkan ibuku berkata, "Ingin mati."

Dan akhirnya tahun 2005 itu dilewati dengan proses pengadilan yang panjang. Kau bersama pilihanmu dan kami bersama ibu, menemani hidupnya yang begitu getir akibat perbuatanmu. Memang Allah Maha Adil, Ia membagi rata rasa sakit itu. Orang lain sakit akibat ditinggal mati, kami sakit akibat ditinggal pergi.Aku sangat membencimu ayah, sangat dan sangat. Kau lah penghancur kehidupanku yang sempurna. Aku bahkan mengancam bunuh diri di depanmu dengan menodongkan gunting besar itu atas tubuhku tapi kau tak bergeming. Lalu aku dengan putus asa membanting gunting itu karena aku tak mau melihat ibu lebih sedih lagi. Namun kebencianku itu luruh bersama waktu. Karena sesungguhnya kebencian itu adalah rasa cintaku yang berubah jadi kecewa. 13 tahun ini kau terus bersama kami. Tidak pernah meninggalkan kami. Kewajibanmu sebagai ayah masih kau tunaikan walau tidak begitu pada ibuku, kewajibanmu sebagai mantan suami.Tapi seiring bertambahnya umurku, aku semakin tahu bahwa tiada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan dirimu. Kau bukan suami yang baik tapi kau adalah ayah yang baik. Sesungguhnya ayah, kau adalah bintang dalam keluarga ibuku. Karena kau adik-adik ibu menjadi sesukses sekarang. Kau juga menjadi bintang dalam keluarga kami. Karena kau kami menjadi orang yang berguna dan kau adalah panutan bagi kami. Begitu rindunya aku padamu.Saat berkendara melewati polisi tidur kau selalu berkata, “Eh copot-copot,” dengan tertawa riang. Nyanyian kebanggaanmu, “Aku seorang kapiten, mempunyai pedang pajang, kalau berjalan klop-klop-klop. Aku seorang kapiteen,” yang kau nyanyikan bak seorang kapiten. Setiap kali kau meminta aku mencium pipimu, aku bilang geli karena kumismu, maka keesokan harinya wajahmu sudah licin bersih. Kau yang tidak pernah marah menghadapi sifat cengeng dan tukang ngambekku sedari kecil. Kau mengajari sholat dan mengaji setiap malam. Kau yang memiliki sifat disiplin melebihi guru-guru di sekolahku. Kau memanjakan cucumu melebihi orang tuanya sendiri.Dan kerinduanku menjadi-jadi saat bulan ramadhan tiba. Kau yang selalu membangunkan aku dan kakak-kakakku untuk sahur. Kau menjadi imam sholat tarawih kita sekeluarga. Kau yang selalu bersemangat menyambut buka puasa. Kau yang menjejerkan gelas-gelas besar dengan berbagai minuman saat berbuka.

Kau tahu ayah, sejak kepergianmu mushala di rumah kita kosong dan tak terpakai. Karena kami memilih sholat sendiri-sendiri di kamar. Gelas-gelas besarmu kini sudah tersimpan rapi di lemari. Pohon-pohon yang kau tanam berbuah dengan lebatnya. Dan cucu-cucumu hanya mengenalimu sebagai tamu yang sekali-kali datang kerumah.Dan betapa remuk hatiku, saat engkau terbaring di rumah sakit, dan perempuan itu menemanimu. Kami hanya datang sebagai tamu. Karena kami tidak mampu bersanding bahkan memandang perempuan itu. Kau terbaring lemah dengan tersenyum penuh bahagia saat itu.Dan betapa bahagianya aku, di hari raya kemarin kita berkumpul lalu mengabadikan momen itu. Walaupun ibu tidak mau ikut dan berdiri di sampingmu.Ayah aku tahu, sekarang fisikmu semakin lemah. Tapi bertahanlah ayah, bertahanlah sampai anak bungsumu yang cengeng ini lepas dari tanggung jawabmu. Aku juga ingin mendengar suaramu yang lantang dan membahana saat mengucapkan ijab qabul. Menikahkan aku dengan lelaki yang kucintai. Menikahkan aku dengan lelaki yang kebaikannya seperti dirimu tapi tak memiliki kekuranganmu. Aku mohon ayah, bertahanlah. Aku mencintaimu dan aku merindukanmu dengan segenap hatiku. Terima kasih ayah sudah menghadirkanku di dunia ini. Terima kasih sudah menjadikan aku anak kebanggaanmu. Terima kasih banyak. Aku akan selalu merindukanmu.

(vem/nda)