Manners Cost Nothing: Yuk #TumpukDiTengah Piringnya, Nggak Repot 'Kan?

Fimela diperbarui 14 Nov 2017, 15:13 WIB

Melihat arus timeline social media akhir-akhir ini, rasanya sungguh bikin pusing. Hampir setiap hari sepertinya kita diterpa berita negatif yang membuat hati teriris. Di suatu obrolan sore bersama teman, muncul celetukan, "Apa iya sih dunia sudah runyam banget, sampai-sampai nggak ada hal baik yang kita dengar beberapa waktu belakangan ini."

Kemudian, kami pun kembali tenggelam dalam handphone masing-masing. Ah!

Tapi beberapa hari yang lalu, ada yang berbeda. Di tengah ricuh dan riuhnya peperangan dan penghakiman yang beredar di social media, saya melihat ada satu inisiasi yang membuat hati menghangat, yaitu #TumpukDiTengah.

Gerakan ini diinisiasi oleh Edward Suhadi, founder Ceritera.id. Idenya yaitu meringankan beban pekerjaan para pramusaji setiap kali kita makan. Dengan mengumpulkan piring bekas makan di tengah, para pramusaji yang membereskannya juga jadi lebih mudah.

Sumber: youtube.com/Ceriteranya

Mungkin sepele, tapi hal ini sangat membantu para pramusaji lho. Apalagi jika piring-piring yang digunakan adalah piring-piring pecah-belah. Terkadang kita juga masih menyisakan makanan di atasnya, belum lagi bekas tissue dan sendok. Cukup merepotkan untuk menumpuknya satu-persatu. Saya sebagai pelanggan juga merasakan dengan menumpuk piring di tengah sehabis makan bersama-sama di tempat umum, meja kami jadi lebih lega dan lebih bersih.

Gerakan ini mengingatkan saya akan foto-foto beberapa waktu lalu yang viral di social media yang menunjukkan gelas dan piring plastik yang berserakan di atas meja, di tempat umum. Nggak ada orang yang mau berinisiatif membawanya ke tempat sampah. Pun, tempat itu jadi nggak nyaman ditempati oleh orang lain bukan?

Seseorang mengatakan, "Kenapa nggak dibawa ke tempat sampah atau dikembalikan ke meja pelayannya?" Sayangnya, justru komentar tersebut ditanggapi dengan sinis oleh komentator lain. "Memangnya kenapa kita harus bersihin sendiri? 'Kan sudah ada pramusajinya."

Orang Indonesia memang terbiasa dilayani pramusaji. Ada model restaurant yang mulai dari buku menu, mencatat pesanan sampai mengantarkan makanan, dilakukan oleh pramusajinya. Sementara di luar negeri, budayanya berbeda. Di gerai-gerai fast food di Australia, setiap orang membereskan bekas makanannya sendiri. Setidaknya membuang bungkus makanan, gelas dan piring plastik ke tempat sampah yang sudah disediakan. Begitu pula dengan budaya membersihkan bekas makanan di negara-negara lain.

"Ngapain repot-repot? Keenakan pramusajinya dong, digaji malah nggak kerja."

Saya rasa, poinnya bukan lah membuat para pramusaji itu jadi enak-enakan menikmati gaji tanpa bekerja. Tetapi pada tanggung jawab. Clean up our own mess. Jika memang budaya di negeri ini belum bisa mengarah ke acara bebersih sampai mengembalikan piring ke pramusaji, setidaknya dengan mengumpulkan sampahnya, mengelompokkan sendok-garpu kemudian menumpuk piring makanan bekas pakai di tengah, kita bertanggung jawab terhadap 'kekacauan' kita sendiri.

Menumpuk piring di tengah itu nggak bakal memakan waktu seharian kok, nggak sampai 3 menit. Tapi akan sangat membantu. Pastinya kita juga nggak sabar 'kan kalau di restoran, menunggu meja yang sangat kotor harus dibersihkan dengan susah payah oleh sang pramusaji, sampai-sampai kita harus menunggu lama sekali.

Nggak ada orang yang suka disuruh membersihkan sampah orang lain, sekalipun memang ia dibayar untuk itu. Menumpuk piring di tengah juga nggak akan membuat kita seolah-olah menjadi kacung restoran tersebut kok. Ini adalah soal kenyamanan bersama dan soal tanggung jawab. Dimulai dari kebiasaan baik yang sederhana dan tidak berat, why not? Because manners cost nothing, but ignorance will cost you everything ;)

Sudahkah kamu mengumpulkan piring dan di-#TumpukDiTengah? Yuk bagikan fotonya ke @vemaledotcom!

 

(vem/wnd)