19 Tahun Lalu, Telepon yang Berdering Itu Mengabarkan Kepergian Bapak

Fimela Editor diperbarui 10 Nov 2017, 17:00 WIB

Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini menyesakkan dada. Tentang kejadian 19 tahun lalu yang masih terbayang jelas dalam ingatan.

***

Bapak, ya begitulah aku memanggilnya. Bukan tanpa sebab bukan juga tanpa alasan. Kala itu, kami (aku, bapak dan ibuk) tinggal di sebuah rumah kecil. Tak banyak yang kami punya, hanya sepeda ontel zaman dulu saja karena kami bukan termasuk orang yang cukup berada. Pagi itu, aku kecil mencoba memanggilnya dengan sebutan “Ayah”, lalu ia menjawab dengan lembut, "Nimbaline bapak bae ya nduk, ora due sepeda motor, duene mek sepeda ontel gak pantes ditimbali Ayah (Panggilnya Bapak saja ya nduk, tidak punya sepeda motor, cuma punya sepeda kayuh nggak pantes kalau dipanggil Ayah)." Itulah kenapa aku memanggilnya Bapak bukan Ayah, karena baginya sebutan Ayah itu hanya untuk orang yang cukup berada.Bagiku, Bapak adalah sesosok makhluk yang Tuhan kirim untuk menjagaku dalam panas dan hujan, dalam siang dan malam. Sorot matanya begitu meneduhkan, senyumnya selalu menenangkan. Tak pernah sekalipun kudapati wajahnya berubah menjadi garang meski sering kali aku terlewat manja padanya. Aku masih ingat betul bagaimana ia begitu menyayangiku dan ingin selalu menjagaku. Jauh ataupun dekat, dia lah satu-satunya lelaki yang takkan pernah rela membiarkanku terluka. Tapi itu dulu 19 tahun yang lalu, bagaimana dengan kini? Kini sosoknya hanya menjadi kenangan yang takkan pernah terhapus walau aku telah menua.

Pagi itu, ia bersiap-siap akan mengantar ibu dan adik bayiku ke pasar menggunakan sepeda motor baru kami. Betapa girangnya aku saat mengetauinya. Aku kecil mengutarakan maksud hati untuk ikut serta bersamanya, tapi dengan tutur kata yang lagi-lagi dapat membiusku dengan tenang ia menolak permintaanku. Ia memintaku untuk berjalan bersama kakak ibuku dan sepupuku menuju pasar. Aku mengangguk tanpa merengek waktu itu. Bapak, ibu dan adikku berangkat terlebih dulu, tak lama kususul mereka dengan berjalan kaki. Tak ada satupun firasat di hati anak sekecil aku, meski tak kujumpa bapak dan ibuku di pasar kala itu. Segalanya serba menyenangkan, membeli ini dan itu.Sepulang dari pasar kala itu, rumah begitu sepi. Tak seorang pun menjawab salam yang aku utarakan, aku mencari kesana dan kemari tapi tak kutemui siapapun juga. Lima menit berselang, datanglah kakak ibu yang memintaku untuk segera mengikutinya, aku kecil berlari karena aku pikir akan bertemu dengan bapak dan ibuku.Ya benar saja kutemui mereka, tapi ini dalam suasana yang berbeda. Bapakku kini terbaring di ranjang ruang UGD, matanya terpejam, namun tetap mengalir air mata di sudut matanya, napasnya masih memburu namun tak ada gerakan di kaki dan tangannya. Kulihat di ujung lain ibuku menangis sembari menggendong putra kecilnya yang masih bayi. Aku yang baru 4 tahun kala itu hanya bisa melihat sekeliling tanpa tahu keadaan apa yang sedang terjadi. Setelah cukup lama kupandangi ujung kakinya yang tak bergerak, ibu mengajak aku dan adikku pulang, untuk beberes katanya karena bapak akan dirujuk ke RS yang lain. Sesampai di rumah, ibu beberes menyiapkan segala yang dibutuhkan. Belum selesai ibu beberes tiba-tiba telepon rumah sebelah berdering, untuk ibu katanya. Ibu mengira ambulans siap berangkat, tapi ternyata kabar duka yang kami dapat. Ibuku menangis histeris, tapi aku hanya diam meringis menahan tangis.Para tetangga ramai berdatangan membicarakan soal bapakku yang tersenggol bus umum hingga ia terpental dan mengalami gagar otak sepulang mengantar ibuku ke pasar. Aku hanya terdiam mendengar pembicaraan mereka, tak banyak yang kupahami.

Hari itu, hari di mana terakhirnya kalinya aku dapat melihat wajah bapakku yang begitu meneduhkan. Hari itu, hari terakhir dia dapat menjagaku dari kerasnya deburan ombak kehidupan.Hari itu, hilang sudah semua angan dan impian yang telah kita ciptakan bersama.

Merindu? Ya pasti.Rindu sekali, rindu yang takkan bisa habis walau diungkap dengan banyak kata. Karena bagiku, takkan pernah habis dan hilang rinduku untuknya meski belasan tahun ia telah tiada. Andai saja ia masih di sini, ingin kuberbagi cerita dengannya, mengayun manja di lengannya, menangis dan merengek meski aku bukan lagi menjadi putri kecilnya. Andai saja aku diberi kesempatan untuk mengutarakan apa yang aku rasakan, maka akan kukatakan padanya, "Pak, Putrimu tak kecil lagi sekarang, ia sudah beranjak dewasa. Tapi masih sama seperti dulu, belum bisa membahagiakan Ratumu, belum dapat menjaga pangeran kecilmu yang juga sudah dewasa sekarang. Maafkan aku karena untuk membuatmu tersenyum di sana pun aku juga belum mampu. Pak, aku rindu. Namun tak banyak yang dapat kuberikan untukmu, hanya doa semoga selalu diterangkan dan dilapangkan jalanmu."Salam, Putri kecilmu yang akan selalu mempunyai rindu untukmu.

(vem/nda)

What's On Fimela