Pesan Darimu Akan Selalu Kupegang, Meski Kini Kita Hanya Berjumpa Lewat Doa

Fimela diperbarui 10 Nov 2017, 14:30 WIB

Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh seorang ayah pada kehidupan putri tercintanya.

***

Abah, itulah panggilanku untuk ayahku. Seorang tokoh agama teladan di Indonesia. Terbukti dari dedikasi dan tanggung jawab untuk kemakmuran  masyarakat. Namun, apapun yang disandangkan masyarakat pada abah, abah tetaplah sang inspirator keluarga.

Sejak kecil, abah mengajarkan banyak hal, terutama mengenai agama, hidup sebagai makhluk sosial, dan bertanggung jawab penuh terhadap segala hal. “Agama itu seperti ini nak, tidak condong ke salah satu sisi. Pemahaman agama kita harus seimbang antara pemahaman tekstual dan kontekstual." Di samping itu, walaupun abah mempunyai peran di masyarakat, namun beliau tak malu untuk mencari air di sumur, membantu mama berjualan gorengan dan aneka makanan lainnya, bahkan sampai ke rumah-rumah warga. “Selama itu halal dan dijalani dengan niat ikhlas, kenapa mesti malu?” Itulah bukti kesederhanaan dan kebersihan hati beliau.

Abah itu penyabar, beliau tak pernah memarahi dengan kata-kata yang tidak baik, apalagi memukul dengan tangan. Namun, pernah suatu ketika, aku sedang jogging bersama kawan lamaku, yah seorang pria. Kekhawatiran abah memuncak. Dicarinya aku ke sudut pasar, tempat bermain dan di tempat orang-orang biasanya berlari pagi, namun tak kunjung jua aku didapatnya. Karena aku berjalan di gang yang lainnya. Namun, setelah saat itu, aku bertekad untuk tidak berjogging  lagi dengan pria apalagi pria tersebut menyimpan rasa denganku. Kekhawatiran abah sudah membuat diriku terpukul dan aku sangat bersalah.

Tiga tahun yang lalu aku lulus tes masuk perguruan tinggi di dua jurusan salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Teringat ketika sudah di ujung hari sebelum pendaftaran ulang, tak ada sehelai uang pun di rumah kami. Diri ini menangis sejadi-jadinya di sudut kamar.



Dengan tenang, abah hanya menitip pesan, "Sholat dan berdoa. Karena Jogja sedang menanti kehadiranmu." Dengan sigap, abah tiba-tiba keluar rumah membawa sepeda motor bergaya  langka dan klasik. Saat itu, aku hanya tawakkal dan berdoa. Tak lama berselang, abah membawakanku uang untuk membeli tiket pesawat. Aku terkejut, “Abah dapat dari mana?” Abah hanya menjawab, “Segera beli tiket pesawat, tenang saja uang ini halal, untuk biaya makan, nanti abah kirimkan lagi." Suasana hari itu sangat haru dan kupeluk abah seerat-eratnya.

Setahun setelah kuliah, aku mengirimkan sebuah paket kejutan ke rumah. Dan tertulis di halaman pertama, "Kupersembahkan untuk Abah." Sebuah buku pertama yang kutulis selama setahun di Yogyakarta, buku pedoman untuk para siswa sekolah dasar dan menengah dan hasilnya terjual sebanyak 2.000 eksemplar dalam kurun waktu yang singkat. Terdengar isak tangis abah di bilik telepon. Abah sangat menyukainya bahkan sangat bangga.

Setahun sekali, saat Ramadhan dan libur panjang perkuliahan tiba, aku memilih pulang ke kampung halaman. Menemani abah untuk ceramah di surau-surau pelosok kampung gelap, remang, sunyi. Kalau bukan karena abah, aku sudah pulang, dan memilih beribadah di tempat yang lebih nyaman. Namun, apapun kondisinya, abah tetaplah melayani permintaan masyarakat dan ummat, dan terkadang membuat aku sulit membayangkan bagaimana mungkin abah menjalani semuanya dengan berbagai rintangan.



Bulan September lalu, sebelum aku balik ke Yogyakarta, abah berpesan, “Nak, di dunia ini ada yang mesti dipertahankan dan ditinggalkan. Tinggalkanlah segala yang tak bermanfaat bagimu. Dan jika kau dewasa kelak, janganlah suka berselisih dengan siapapun walau hanya memperselisihkan sejengkal tanah, namun sebenarnya sejengkal itu bukanlah milikmu." Aku menafsirkannya seperti ini, jangan hanya karena masalah sebiji jagung lalu kau besar-besarkan menjadi sebuah masalah yang tak berujung bahkan jangan terlalu mencampuri masalah orang lain, sedang masalahmu sendiri tak kunjung jua selesai. Indah dan menyentuh, nasihat ini.

Abah, aku mencintaimu melebihi diriku sendiri, aku merindukanmu melebihi kenikmatan dunia dan isinya. Abah aku rindu akan nasihat-nasihat dan tuturan manismu. Abah, kapan kita bisa berpelukan dan tertawa bersama lagi? Semoga kebersamaan itu akan hadir kembali dari sekian panjang penantian ini. Sekarang kita hanya akan berjumpa dalam mimpi dan doa-doa malam. Aku memohon pada Allah agar Allah selalu menerangi tempat peristirahatan terakhirmu dengan cahaya surga-Nya.

Selamat Hari Ayah Sedunia, Abah.
Do love and miss you,
Anakmu, Rabiatul Adawiyah Madawat M.





(vem/nda)