Kematian Ayah Sahabatku Menjadi Titik Balik Hidupku

Fimela diperbarui 08 Nov 2017, 18:45 WIB

Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini jadi bukti bahwa seorang putri tak akan pernah bisa benar-benar membenci ayahnya sendiri.

***

“Hati–hati ya kerja di Jakarta.” Pesan itu beliau sampaikan dengan suara yang meracau. Diiringi juga dengan lambaian tangan yang gemetar. Lantas aku dengan hatiku yang serba berkeberatan menancap gas sepeda motor, meninggalkan rumah di ujung gang yang ditinggali oleh Papa seorang diri.

Selanjutnya perjalanan ke Jogja kutempuh dengan isak yang menggigil. Air mata sudah tak lagi berberai namanya, deras mengucur melebamkan mata.

Entah kapan resminya perceraian Mama dan Papa terjadi, aku tak pernah tahu. Yang jelas sejak aku berusia 8 tahun, Papa mulai sangat sering absen hadir di rumah. Aku hanya diberikan pengertian oleh Mama bahwa Papa sibuk mengurus banyak kasus kriminal. Sebagai pengacara, Papa harus sering pergi keluar kota hingga ke luar Jawa untuk memberikan pembelaan kliennya di pengadilan. Sependek ingatanku, Mama selalu berujar bahwa Papa melakukan itu agar hidup kami berkecukupan.

Tahun–tahun berikutnya, masalah semakin pelik. Papa benar–benar menghilang dari kehidupanku. Entah kemana.



Aku yang saat itu masih sangat belia harus melumat pahitnya hidup, tak lagi memiliki figur seorang ayah. Hari–hari berikutnya benakku dibanjiri perasaan iri. Iri pada anak tetangga yang selalu diantar sekolah oleh ayahnya. Iri pada teman sekolah yang ayahnya selalu datang saat pembagian rapor. Iri pada semua anak yang nampak harmonis dengan ayah dan ibunya.

Benakku juga dibanjiri rasa rindu. Rindu pada dongeng pewayangan yang selalu dibacakan Papa setelah aku rampung belajar. Rindu melihat Papa mencangkul halaman belakang rumah untuk ditanami sayur mayur. Rindu mendengar gertakan Papa ketika aku bertengkar dengan adik perempuanku.

Sebenarnya tak banyak momen kebersamaan yang kami lewati bersama sebelum Papa memutuskan untuk pergi. Tapi, itulah sederhananya cinta. Tapi, itulah dalamnya makna kehilangan. Bukan soal seberapa banyak, namun seberapa hangat kebersamaan sehingga menciptakan ingatan di kepala yang tak lekang oleh waktu.

Segala rasa iri, rindu, lambat laun terbalut dengan kebencian yang teramat sangat pada Papa. Bertumbuh kembang menjadi remaja, aku tak lagi mengenal kata ayah dalam kamus hidupku. Tak bisa lagi kueja hakikat peran ayah dalam keluarga. Aku semakin mafhum menjalani kehidupan tanpa Papa. Toh, meski memang tidak baik–baik saja, pertolongan Tuhan selalu nyata adanya.
Kebencianku pada Papa memuncak saat aku memasuki dunia kampus. Benar–benar tak ada ruang di hatiku untuk Papa. Tak ada untaian doa baik yang kupanjatkan untuknya.

Sampai pada suatu kejadian, ayah dari seorang sahabatku meninggal dunia. Aku yang saat itu hadir di pemakaman kemudian terlintas raut wajah Papa. Ah, runtuh juga pertahananku. Aku menangis hebat di tengah tangisan belasungkawa dari para pelayat.



Dalam suatu sujud yang lebih panjang dari biasanya, aku mulai memanjatkan doa penuh harap untuk dipertemukan kembali dengan Papa, apapun keadaannya. Sekonyong–konyong aku menyimpulkan sesuatu bahwa selama ini sejatinya aku merindu. Tapi karena rasa benci menjelma lebih dahsyat, tak sejengkal pun rindu yang bisa kurasa.

Setelahnya aku putuskan untuk mencari Papa.

Perjuangan yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Masa pencarianku selama setengah tahun akhirnya membuahkan hasil. Aku bertemu dengan Papa kembali, setelah sepuluh tahun berlalu.
Dalam pertemuan itu, Papa bertanya banyak hal tentangku. Beberapa kali aku menemukannya menyeka air mata sambil terus berujar “hebat” pada setiap cerita yang kusampaikan tanpa jeda. Kami terus berbagi cerita, melebur bersama membuncahnya kerinduan dalam pertemuan yang cukup singkat.

Sepulang dari pertemuanku dengan Papa, aku terheran–heran. Ke mana rasa benci yang tak berkesudahan itu? Kemana hasrat ingin mencaci maki yang selalu meletup?
Ini absurd, ini tak bisa dicerna logika. Aku berkesimpulan tegas bahwa ini yang namanya cinta sejati. Yang membasuh segala duka luka menjadi doa dan ayat semesta.

Selepas pertemuan itu, komunikasiku dengan Papa berjalan semakin baik. Sebenarnya tidak cukup intensif untuk dikatakan komunikasi antara anak dan orangtua sebab posisi Papa yang sudah memiliki keluarga baru yang belum pernah kukenal. Tapi aku terima hal tersebut sebagai sebuah keikhlasan.

Kini aku yang bertumbuh dewasa, semakin mampu memaknai kehidupan. Sebagai seorang pekerja di ibukota, banyak masalah yang kuhadapi setiap waktunya. Namun demikian banyak juga pertolongan yang aku dapati. Aku meyakini pertolongan itu salah satunya sebagai jawaban doa Papa. Seperti apa yang Papa sampaikan pada lebaran tahun ini sebelum aku kembali ke Jakarta, “Walaupun Papa tidak pernah ada buatmu, tapi doa Papa selalu dekat denganmu, lekat dengan Tuhan.”

Aku meringis saja saat mendengar ungkapan Papa yang terdengar penuh cinta. Napasku tertahan, berujung pada permohonan ampun. Kupastikan sejak saat itu cintaku bertumbuh lebat untuk Papa. Tak sulit untuk membuatku kembali jatuh cinta pada cinta pertamaku. Kupupuk rasa cinta itu terus dan terus sama besarnya dengan cintaku pada Mama. Semoga dalam setiap sujudku mampu mempersatukan Mama dan Papa berumah tangga di surga.




(vem/nda)
What's On Fimela