Untuk Cinta Pertamaku, Aku Sungguh Rindu Padamu

Fimela diperbarui 06 Nov 2017, 13:40 WIB

Kisah sahabat Vemale yang disertakan dalam Lomba Ayah Aku Rindu ini sungguh mengharukan. Betapa besar rasa rindunya pada sang ayah tercinta yang kini sudah berada di surga.

***

Ngiung! Ngiung! Ngiung!

Suara sirine itu tidak asing di telingaku. Berasal dari sebuah truk berukuran besar, berwarna merah dengan gulungan selang yang sangat tebal. Di sisi pintunya terdapat tangga besi yang kokoh. Tangga itu bisa dilipat dan memanjang. Setiap kali kendaraan ini melintas, pastilah ada api besar yang menyala sembarangan.

Truk pemadam kebakaran melintas, membuatku kembali merindukannya. Rindu yang akan terus mengalir untuknya. Beliau yang sangat dekat denganku. Semasa aku kecil hingga ajal menjemputnya. Kerinduanku akan sosok penuh kehangatan. Beliau yang selalu menjadi idolaku.

Banyak yang mengatakan bahwa cinta pertama seorang wanita adalah kepada ayahnya, maka itu berlaku juga padaku. Aku sangat cinta padanya. Jatuh cinta, mungkin semenjak aku berada di rahim ibuku. Beliau menjadi panutan dalam perjalanan hidupku. Kisah hidup yang beliau ceritakan padaku menjadi motivasi bagiku untuk melakukan segala hal dengan baik. Berjuang meraih impian dengan usaha yang keras, berdoa dan berpasrah pada Sang Pencipta atas hasil dari perjuangan itu.



Masih lekat dalam ingatanku, ketika aku bersandar di pangkuannya setiap kali, selepas beliau bermunajat pada Sang Khalik. Dekapan tangan kokohnya membuatku nyaman berlama-lama. Mendengar lantunan puji kepada Sang Maha Pengasih menambah mesranya padaku. Beliau tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiranku dalam sujud khusyuknya.

Setiap kali aku menunggunya selesai shalat, ada senyum hangat menyambutku dalam peluknya. Ya, aku masih ingat, sangat ingat akan kenyamanan itu yang membuatku semakin cinta padanya. 

Banyak hal menjadi kenangan indah bersama beliau. Kado istimewa yang pernah beliau berikan masih kusimpan rapat. Hadiah spesial di hari bertambahnya usiaku. Kala itu, aku duduk di bangku kelas 1 SMP, kalau sekarang kelas tujuh namanya. Saat itu mentari mulai tergelincir di ujung barat. Sinar jingga berbaur membias di antara awan-awan biru dan kelabu. Aku berdiri, bersandar di daun pintu berwarna cokelat tua. Memainkan tirai kuning emas di sisi kanannya. Aku menunggu pangeran cinta pertamaku.
 
"Wah, ada yang ulang tahun ya?" suaranya mengagetkanku yang tengah berjongkok di samping pintu.

"Yeay! Bapak sudah pulang," sahutku sumringah melihat beliau sudah ada di hadapanku.
"Bapak punya hadiah spesial," ucapnya sambil berjongkok.
 
Beliau mempersembahkan punggunggnya untuk menopang tubuhku. Aku menyambutnya gembira. Kedua tanganku melingkar erat di lehernya. Kupeluk erat punggung itu. Tangan kokohnya melengkung di kaki kanan dan kiriku. Beliau lalu bangkit, menggendongku, berlari-lari kecil. Memutar tubuhnya hingga aku menjerit girang seperti balita di punggung ayahnya. Kami tenggelam dalam suka cita.

Usiaku saat itu menginjak tiga belas tahun. Hadiah istimewa dari kekasih pertamaku. Kebahagiaan yang tak akan pernah sirna, walau kini ia telah tiada.

"Anak bapak ini ternyata sudah besar. Punggung bapak hampir copot, berat juga," ungkapnya setelah menurunkanku dari punggunggnya.



Aku tertawa bahagia. Kupeluk erat tubuhnya. Bau khas keringatnya terus melekat hingga kini. Hadiah teristimewa yang kudapat sepanjang hidupku. Sebuah bukti cinta kasihnya padaku. Meski wajah teduhnya tak dapat lagi bisa kuraba, namun bingkai kenangan itu menjadi penawar rindu di jiwa. Beliau yang selalu menjadi idolaku. Pujaan hati gadis kecilnya hingga kini. 

Ngiung! Ngiung! Ngiung!
Sirine itu kembali membuatku rindu padanya.

Wahai Sang Maha Pencipta, atas perintahMu beliau kembali padaMu. Atas kasih sayangMu beliau berpulang ke pangkuanMu. Kutitipkan salam rinduku untuknya. Mohon jagalah ia, seperti ia menjagaku dulu. Kasihi ia, seperti cintanya padaku. Rindu ini akan terus ada untuknya.

Untuk cinta pertamaku, aku rindu padamu.








(vem/nda)
What's On Fimela