Saat Kenyamanan Korban Perkosaan Menjadi Pertanyaan Para Penyidik

Fimela diperbarui 20 Okt 2017, 09:45 WIB

"Pertanyaaan seperti itu (apakah merasa nyaman atau tidak) yang biasanya ditanyakan oleh penyidik sewaktu dalam pemeriksaan, untuk memastikan, apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa, untuk alasan tertentu," demikianlah kutipan pernyataan Jenderal Tito Karnavian, Kapolri saat diwawancara BBC  Indonesia.

Walau lebih lanjut Tito menjelaskan bahwa hal tersebut patut dilakukan untuk membuktikan apakah korban benar-benar korban kekerasan seksual atau tidak, adalah diksi dan bahasa operasional yang digunakan oleh penyidik untuk bertanya dalam proses pemeriksaan untuk mencari tahu ada atau tidaknya persetujuan. Karena itu tidak ada maksud reviktimisasi terhadap pelapor/korban perkosaan.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara penyidik menilai kata ‘nyaman’ tersebut, apakah parameter yang mereka gunakan? Tito tak menjelaskan hingga detail, baginya, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah informasi berharga yang mereka butuhkan untuk kebutuhan penyidikan.

Pernyataan Tito mengusik dan mengingatkan saya pada pernyataan Hakim Daming Sunusi 2013 lalu, yang menyatakan bahwa pelaku dan korban perkosaan sama-sama menikmati, oleh karena itu pelaku tak patut dihukum mati. Seorang hakim mengambil keputusan hukum berdasarkan orgasme korban perkosaan yang sebenarnya adalah sebuah respon biologis tubuh seseorang. Inti bahwa perkosaan merupakan tindakan pemaksaan tanpa consentjustru diabaikan karena keluarnya cairan lubrikasi korban saat diperkosa.

Baca Juga: Saat Korban Perkosaan Mengalami Orgasme

Sedih memang jika kita melihat bagaimana penegakan hukum terhadap perkosaan di tanah air. Menurut "Rape Law Report 2017," Indonesia adalah satu dari sekian negara yang sangat pemaaf terhadap pelaku perkosaan. Bahkan pelaku bisa terbebas dari hukuman jika dia mau menikahi korban. Lucunya, aparat hukum pun mengamini proses ‘damai’ tersebut.

Pencarian keadilan korban perkosaan juga seringkali diberatkan oleh sistem hukum yang berat sebelah. Menurut Anggara Suwahju, peneliti senior dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) seperti yang dikutip dari Tirto.id, saat penyidikan, korban perkosaan kerap mendapatkan perlakukan berbeda dari korban kejahatan yang lain. Para korban dipaksa menunjukkan bukti bahwa mereka diperkosa, jika tidak kasusnya akan berhenti ditengah jalan. Lebih parahnya lagi, perkosaan sering dikaitkan dengan moralitas dan bukan dianggap kejahatan pidana. Perilaku para korban justru yang jadi sorotan. Apakah korban memiliki kebiasaan keluar malam, menggunakan pakaian yang ‘mengundang’, apakah korban memang sudah aktif secara seksual dan sebagainya. Bukannya mendapat keadilan, para korban justru disudutkan dan dianggap ambil bagian dari kejahatan yang menimpanya.

Yang sering dilupakan banyak orang, dan juga sebagian penegak hukum, adalah dasar dari tindakan perkosaan yaitu consent. Saat seseorang terpaksa melakukan hubungan seksual di bawah tekanan itu adalah perkosaan. Bahkan jika itu dilakukan oleh pasangan mereka sendiri. Jadi walaupun perkosaan itu dilakukan di tempat yang pantas, dilakukan oleh seorang yang dekat, dan dilakukan tanpa adanya kekerasan fisik seperti pemukulan, namun jika si korban melakukan itu tanpa persetujuan, itu tetap dikategorikan sebagai perkosaan. Dan segala sesuatu yang dilakukan tanpa adanya persetujuan harusnya tak perlu lagi ditanyakan kenyamanannya.

Saya tak menyalahkan tujuan Pak Tito dan tim untuk mencari fakta dan mencegah adanya laporan palsu dan sebagainya. Hanya saja, semoga proses penegakan hukum bagi para korban perkosaan bisa dilakukan dengan cara yang lebih sensitif tanpa harus membuat si korban diperkosa dua kali.

(vem/kee)