Kelanggengan Cinta Kamu Kini Bisa Diukur Lewat Komputer

Fimela diperbarui 18 Okt 2017, 10:22 WIB

Ian McLoughlin, University of Kent

Setiap anak (atau pasangan) yang pernah ditegur karena mereka berbicara dengan nada suara tertentu—seperti berteriak atau bersikap sarkastik— tahu bahwa cara Anda berbicara kepada seseorang dapat sama pentingnya dengan kata-kata yang Anda gunakan. Aktor dan seniman suara memanfaatkannya dengan baik—mereka terlatih menyampaikan makna melalui cara berbicara, terkadang dengan lebih efektif dari hanya kata-kata. 

Tapi seberapa banyak informasi yang dibawa oleh nada suara dan pola percakapan kita dan bagaimana hal itu mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain? Sistem komputasi sudah dapat mengenali orang dari suaranya. Jadi bisakah sistem komputasi memberi tahu kita tentang kehidupan cinta kita? Secara mengejutkan, tampaknya bisa.

Penelitian baru, yang baru saja diterbitkan di jurnal PLOS-ONE, telah menganalisis karakteristik vokal 134 pasangan yang menjalani terapi. Peneliti dari University of Southern California menggunakan komputer untuk mengekstrak bahan-bahan untuk menganalisis ucapan dari rekaman sesi terapi partisipan selama lebih dari dua tahun. Bahan itu—termasuk tinggi rendah suara (pitch), variasi tinggi rendah suara, dan intonasi—semuanya berhubungan dengan aspek suara seperti nada (tone) dan intensitas.

Algoritme pembelajaran mesin (machine-learning) kemudian dilatih untuk mempelajari hubungan antara sifat-sifat vokal tersebut dan hasil akhir terapi. Ini tidak sesederhana mendeteksi suara berteriak atau meninggi— algoritme bisa mendeteksi alur percakapan, siapa berbicara kapan dan untuk berapa lama, juga bunyi dari suara tersebut. Ternyata mengabaikan apa yang dikatakan dan mengingat hanya pola bicara ini saja cukup untuk memprediksi apakah pasangan akan tetap bersama atau tidak.

Yang menarik, rekaman video lengkap dari sesi terapi kemudian diberikan kepada para ahli. Berbeda dengan artificial intelligent (AI), mereka membuat prediksi menggunakan penilaian psikologis berdasarkan atribut vokal (dan lainnya)—termasuk kata-kata yang diucapkan dan bahasa tubuh.

Yang mengejutkan, prediksi mereka tentang kisah akhir para pasangan lebih rendah (mereka benar dalam 75,6% kasus) daripada prediksi yang dibuat oleh AI berdasarkan karakteristik vokal (79,3%). Jelas ada elemen-elemen yang diterjemahkan menjadi kode dalam cara kita berbicara, yang bahkan para ahli pun tidak sadar. Tetapi gabungan penilaian mesin dengan penilaian ahli menghasilkan prediksi tepat yang paling tinggi (79,6% benar).

Pentingnya temuan ini bukan tentang melibatkan AI dalam konseling perkawinan atau membuat pasangan berbicara lebih baik satu sama lain (walau itu manfaat yang akan terjadi). Arti pentingnya adalah mengungkapkan berapa banyak informasi tentang perasaan mendasar kita yang terbentuk menjadi kode dalam cara kita berbicara—beberapa di antaranya sama sekali tidak kita ketahui.

Kata-kata yang tertulis di halaman atau layar memiliki makna leksikal yang berasal dari definisi kamus. Makna leksikal ini dimodifikasi dengan konteks kata-kata di sekitarnya, maka menulis pun bisa menjadi hal yang sungguh rumit. Tapi ketika kata-kata dibacakan dengan suara keras, maka kata-kata menjadi punya makna tambahan yang tersampaikan oleh tekanan kata, volume, kecepatan bicara, dan nada suara. Dalam percakapan biasa, ada juga makna dalam berapa lama setiap pembicara berbicara, dan seberapa cepat satu atau orang lain mungkin menyela.

Pertimbangkan pertanyaan sederhana “Who are you?”. Cobalah berbicara dengan menekankan kata-kata yang berbeda; “ Who are you?”, “ Who are you?” Dan “Who are you?” Dengarkan ini—makna semantik dapat berubah berdasarkan bagaimana kita membaca bahkan saat kata-katanya tetap sama

Apakah komputer membaca ‘indra yang bocor’?

Tidak mengherankan bila kata-kata menyampaikan arti yang berbeda tergantung kepada bagaimana mereka disampaikan. Juga tidak mengejutkan bahwa komputer dapat menafsirkan beberapa makna di balik bagaimana kita memilih untuk berbicara (mungkin suatu hari nanti mereka bahkan bisa mengerti ironi).

Tapi penelitian ini lebih penting daripada sekadar melihat makna yang disampaikan dengan sebuah kalimat. Ia juga mengungkapkan sikap dan pemikiran mendasar yang ada di balik kalimat tersebut. Ini adalah level pemahaman yang jauh lebih dalam.

Peserta terapi tidak membaca kata-kata seperti aktor. Mereka hanya berbicara secara alami—atau sealami yang mereka bisa ketika bicara di ruang terapis. Tetapi analisis tersebut sanggup mengungkapkan informasi tentang perasaan-perasaan yang oleh para pasangan tidak sengaja “dibocorkan” ke dalam percakapan. Riset ini mungkin salah satu langkah pertama dalam menggunakan komputer untuk menentukan apa yang sebenarnya sedang kita pikirkan atau rasakan. Coba bayangkan, apakah di masa depan kita bisa bercakap-cakap dengan smartphone, akankah kita “membocorkan” informasi yang bisa mereka deteksi? Bagaimana tanggapan mereka?

Bisakah komputer memberi tahu kita apakah kita akan langgeng dengan calon pacar kita dengan mendengarkan percakapan kami? Bisakah mereka mendeteksi kecenderungan terhadap perilaku antisosial, kekerasan, depresi, atau kondisi lainnya? Tidak sulit untuk membayangkan perangkat itu sendiri menjadi terapis di masa depan dan berinteraksi dengan kita untuk melacak apakah saran-saran mereka efektif?

Jangan khawatir, masa depan seperti itu masih jauh. Tapi hal ini memang memunculkan keprihatinan pada isu privasi, terutama ketika interaksi kita dengan komputer menjadi semakin dalam sejalan dengan meningkatnya kepandaian komputer dalam menganalisis dunia di sekitar mereka.

Mari kita mundur sejenak dari indra suara (ucapan) dan memikirkan indra kita yang lain. Mungkin saja kita juga “membocorkan” informasi yang bisa dideteksi indra penglihatan (bahasa tubuh, muka memerah), indra peraba (suhu dan gerakan) atau bahkan indra penciuman (feromon).

Jika perangkat cerdas dapat belajar banyak dengan mendengarkan bagaimana kita berbicara, maka berapa banyak lagi yang bisa mereka pelajari dari indra lainnya.

Ian McLoughlin, Professor of Computing, Head of School (Medway), University of Kent

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

(vem/)