Suka Duka Tinggal di Asrama, Rasa Senasib Ciptakan Persahabatan yang Kuat

Fimela Editor diperbarui 06 Sep 2021, 14:23 WIB

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kocok-Kocok Ceria ini seru banget. Tinggal di asrama dengan teman-teman yang seru selama 3 tahun, ada banyak suka duka yang dirasakan. Termasuk arisan untuk menentukan giliran bersih-bersih kamar, hehe.

***

Pernah dengar nama “Kikagada”? Di mana? Kapan? Apa? Ya, kami menyebut diri kami sebagai Kikagada, singkatan dari Kita Kamar Tiga Dua, karena susah senang kami selama tiga tahun ini selalu bersama dan terabadikan di kamar ini.

Ketika dikenang, ini sudah 2 tahun berlalu tanpa mereka. Formasi kami yang selalu lengkap bersebelas, kesana dan kemari berseragam dan beriringan bersama. Serunya hari-hari itu selalu terbayang di kepala kecilku. Bahkan terkadang ada sesuatu terjebak di bola mataku, seakan ingin turun dan menyebabkan hujan. Sebenarnya aku bukan bagian dari mereka dari awal, namun aku memutuskan untuk bersama di tahun kedua masa putih abu-abu kami.

Di awal pertemuan itu, kami berempatbelas, dengan empat ruang kamar yang disekat-sekat. Memang, tinggal di asrama tidaklah senyaman di rumah pribadi. Hari-hari kami harus mendengar keluh kesah, teriakan, tawa canda, bahkan tangisan. Kesebelasan kami bermula pada tahun awal tahun ketiga, dua dari kami merayakan kelulusan dan seorang dari kami harus berpindah ke tempat asalnya.

Pagi hari kami, bukan, dini hari kami selalu dipenuhi dengan antrean. Ya, antrian kamar mandi. Seperti yang kau tahu, kami tidak tinggal di hotel dengan fasilitas yang di atas rata-rata. Siapapun yang bangun dahulu, dia bisa memasang antrean kamar mandi paling depan. Rutinitas kami sama saja seperti rutinitas santriwati pada umumnya, berjama’ah-mengaji-sekolah dan terus seperti itu secara berkelanjutan.

Kebersamaan kami di pagi hari selalu menyenangkan. Berkumpul di ruang tengah, berbagi makanan apapun untuk sarapan, saling menatap sambil bergurau atau mungkin saling mengejek. Ini sangat menyenangkan, bahkan lebih dari kata itu. Ketika jam sekolah sudah mendekati, kami pun bersiap bersama. Tahu hal yang paling menyenangkan dari ini? Ya, mengaca bersama. Ketika kami harus memilih mengantri dan terlambat atau berdesakan dan bersiap dengan cepat, mengaca bersama adalah pilihan paling tepat. Tapi hal ini lah kebahagiaan sederhana kami, kebersamaan. Keseruan kami tidak berhenti di situ, perjalanan kami ke sekolah selalu dihiasi gurauan ringan hingga tak pernah terdenga cuitan lelah dari kaki-kaki kecil kami.

Bagian waktu yang paling aku suka dari 24 jam adalah malam hari. Kenapa? Karena di malam hari kami bisa saling berbagi kata kesal, lelah, atau rindu rumah. Kami ingin selalu mengungkapkan hal-hal kecil yang terjadi hari ini di sekolah, karena terkadang mereka tak tahu apa yang terjadi padaku hari ini dan aku tak tahu apa yang terjadi kepada mereka hari ini. Pernah sesekali kami saling mengungkap emosi. Semua yang sedang menyelinap di hati, keluar dari mulut-mulut kami.

Kata maaf memang sering terdengar, tapi keheningan paling menguasai. Suatu hari bahkan, emosi kami pada salah seorang di antara kami sedang memuncak, hingga tak bisa terkendali. Amarah yang meledak sebanding dengan air mata yang menetes. Tak lagi kami saling menatap, tangan sibuk mencari genggaman, hingga usai karena lelah. Bila dikenang memang itu pertama dan terakhir kalinya adegan menegangkan dalam drama kami.

Bila malam Jum’at tiba, kami akan menggelar arisan. Tentunya bukan uang yang akan dimenangkan. Tapi nama-nama yang esok akan ro’an (bersih-bersih) di kamar. Kegiatan ini yang paling kami benci. Dua dari kami harus rela membersihkan seluruh kamar sedangkan yang lainnya akan membersihkan bagian asrama bersama anak-anak dari berbagai kamar.

Seperti yang kau tahu, hari libur kami bermigrasi di hari jum’at, jadi akan ada kebebasan di malam hari sebelum Jum’at sampai keesokan harinya. Tetapi agenda rutin ini menjadi pengingat bagi kami untuk tidak bermalas-malasan meskipun pada hari libur, dan ya ini sedikit mengganggu jatah libur kami. Yang paling menyenangkan adalah kami akan berlama-lama berdiam diri di kamar untuk menunggu para uztadzah melakukan aksi “obrak-obrak” dari kamar ke kamar. Setiap kamar akan digedor dengan senjata andalan (gastok) yang suaranya sangat memecah keheningan satu gedung. Ada rasa menyenangkan menjahili ustadzah-ustadzah ini, sampai-sampai menjadi kebiasaan hari Jum’at kami.

3 x 365 1/4 hari sudah berlalu, malam ini malam terakhir kami bersama. Ada rasa senang dan bahagia yang sedang menyelimuti, tapi tersirat rasa khawatir di raut muka kami. Bagaimana kami bertemu lagi nanti? Bagaimana kehidupan tanpa mereka nanti? Berbagai hal perlu dipertanyakan setelah perpisahan esok hari. Pasti yang aku tahu, mereka mencoba menyembunyikan kekhawatiran-kekhawatiran kecil itu.

Berdalih dengan rasa kagum terhadap baju wisuda esok, berdalih dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam, bahkan seseorang berdalih dengan tawa kerasnya, menertawai baju yang terlalu besar dipasangkan pada diriku yang kecil. Sampai esok hari tiba, rasanya senang sekali menghadapi hari. Semua orang sedang sibuk bersiap, bersiap mengenakan riasan-riasan di wajah. Ya, hari ini kami menjadi wisudawati.

Setelah berbagai hal yang kami lalui, kami sebut ini pencapaian kami. Berbekal pengalaman dan syahadah, kami berjanji bersama. Wahai teman, setelah ini kenanglah aku, hubungi aku jika perlu, menangislah melalui suaramu, karena mungkin nanti kita tak akan sempat untuk bertemu. Wahai teman, hari ini episode terakhir drama hidup kita, esok adalah nyata, ingat-ingatlah pesanku, ingatlah janji kita, tak ada air mata. Wahai teman, lanjutkanlah perjuanganmu, buktikan lalu tunjukkan padaku, sebesar apa pencapaianmu.

Untukmu sahabatku, yang sedang kutunggu, salam hangat dan teramat rindu,

KIKAGADA

(vem/nda)

What's On Fimela