Di antara keriuhan berita-berita minggu-minggu ini tentang kepulangan papa, eh yang terhormat Bapak Ketua DPR Setya Novanto dari rumah sakit, aksi borong senjata dan sejumlah spekulasi soal motif dibelakang tragedi penembakan paling brutal dalam sejarah Amerika, ada berita pendek yang sungguh memikat. Pendek saja tapi sangat mengena. Istilah kids zaman now, berita ini sungguh ‘jleb’. Tapi tenang, ini bukan berita yang menyebalkan sejuta umat soal kelakuan bos biro perjalanan umroh. Tetap tenang, karena ini juga bukan soal peserta kontes putri sejagad dari negeri jiran yang tampil dengan gaya jaran kepang.
Sepotong berita ini muncul di berbagai media, mengutip Kepala Humas Pengadilan Agama Bekasi yang menyebut 80 persen perceraian di Bekasi dipicu oleh WhatsApp dan sosial media lainnya. Data yang disuguhkan oleh kantor ini adalah koleksi kasus sepanjang Januari-September 2017, di mana tercatat sebanyak 2.231 kasus perceraian dengan faktor pemicu terbesar adalah perselingkuhan atau 1.862 kasus di antaranya.
Mengejutkan sih sama sekali tidak, menyedihkan iya. Jadi menarik karena pernyataan bapak humas tentang media sosial yang menjadi kambing hitam kandasnya biduk perkawinan seribu lebih pasangan warga Bekasi itu.
Negosiasi: Kompromi Antara Dua Ego
Sejak zaman pernikahan dikenal dalam peradaban manusia, pasang surut dan dinamika hubungan pasangan akan selalu ada, wong namanya menyatukan dua pribadi yang berbeda, lengkap dengan keluarga besar masing-masing, lalu hidup di bawah satu atap, tinggal di lingkungan sosial dengan segala drama dan tetek-bengek norma. Mudah sekali membayangkan bagaimana battle of two egos mencoba untuk tetap stabil dan tidak goyah oleh urusan-urusan di luar peperangan domestik antara dua insan manusia.
Peperangan atau bukan, menyatukan dua gagasan yang mencakup beragam selera dari soal makanan, warna cat tembok kamar, tempat tidur sampai cara menghabiskan akhir pekan atau libur panjang. Selalu ada negosiasi untuk mencapai kata sepakat, ada tarik-ulur dan perlu kompromi, kesediaan untuk (sekali dua kali) mengalah dan memahami.
Jangan khawatir, masih panjang daftarnya untuk menjadikan rumahtangga itu adalah salah satu tugas terberat utama orang dewasa – tak heran buat banyak orang status menikah menjadi pilihan kesekian. Urusan dengan besan atau ipar, persoalan pengasuhan anak, tata kelola keuangan rumah tangga hingga pilihan
Gorden bisa saja menjadi pemicu konflik hubungan suami-istri. Belum lagi soal hati yang berpindah, soal janji macam till death do us part yang teringkari. Pernikahan memang bukan perkara sederhana, sudah banyak cerita kita dengar dari teman-teman (bahkan pengalaman pribadi) bagaimana kerepotan persiapan pernikahan dan kehidupan perkawinan yang penuh dengan air mata dan gelak tawa datang silih berganti.
Saya juga hanya seorang praktisi yang masih terus belajar, dan yakinlah tidak pernah ada satu resep yang cocok untuk segala pasangan. Karena manusia itu unik, tidak ada yang persis sama baik fisik dan karakter, maka sudah selazimnya jika kita sendirilah yang harus mencari apa dan bagaimana formula yang pas untuk situasi kehidupan kita. Jutaan buku dan berjam-jam konseling atau sekadar nasihat dari kanan kiri sih boleh saja diresapi namun pada praktiknya, akan kembali ke pribadi masing-masing. Jadi jauhkanlah harapan untuk mendapat tip dan saran dari cerita ini. Mungkin next time.
Kemudahan Tidak Membawa Nikmat Kembali ke Bekasi
Walaupun ada yang menggemaskan karena mayoritas berita hanya menulis “angka perceraian tinggi karena medsos” tetapi tidak ada yang memberi perbandingan tinggi atau rendah itu dibandingkan dengan tahun berapa untuk kurun waktu yang sama. Gemes.
Hanya disebutkan bahwa menurut berita-berita yang mengutip humas PN Agama itu kebanyakan dari pasangan yang bercerai ini adalah mereka yang menikah di bawah 15 tahun. Dengan hitungan semacam itu, besar kemungkinan pasangan-pasangan ini berusia di kisaran 30 tahun, atau lebih muda. Pantes. Kalau memang hitung-hitungan ini benar, mereka berasal dari Generasi Y. Atau disebut juga Gen Y, yang menurut majalah Time (salah satu yang fenomenal cerita sampul soal Me Me Me Generation) keluaran tahun 2013 menyebutkan karakter generasi Y – lahir antara 1980 akhir hingga awal 2000 – adalah tidak gentar terhadap perubahan, bahkan cenderung tidak sabar. Mereka adalah generasi yang tumbuh dan terpapar pada teknologi informasi, akrab dengan internet dan membentuk pribadi mereka dengan berjejaring sosial. Gen Y ini menurut artikel Time tersebut, singkatnya, adalah generasi yang egosentris, berpusat pada diri sendiri dan narsistik. Tanpa bermaksud membenarkan perceraian atas generasi apapun. Insiden ini akan selalu ada, terlepas dari zaman batu atau zaman robot.
Jangankan di zaman sekarang, ketika alat komunikasi dan cara berkomunikasi berlipat-lipat mudahnya dan banyak yang dalam jangkauan kantong. Ironisnya dengan segala kemudahan dan ketersediaan alat dan media untuk mendukung komunikasi, seringkali menjadi penghambat atau pemecah hubungan.
Bayangkan dulu sebelum telepon genggam ada, long distance relationship punya persentasi keberhasilan bertahan mungkin sekitar 40% atau kalaupun bertahan, komunikasi menjadi persoalan besar. Sebelum telepon genggam berarti hanya ada telepon dengan jaringan. Mundur lagi ke belakang sebelum itu, surat menyurat menjadi salah satu media komunikasi. Coba dengar lagi lagu milik Vina Panduwinata, surat cintaku yang pertama membuat hatiku gembira. Tuh, baru dapat surat saja sudah girang sampai nyanyi-nyanyi.
Mundur lagi jauh ke zaman nenek moyang yang mewariskan satu ungkapan "witing trisno jalaran soko kulino” yang menyiratkan kalau kedekatan atau rasa sayang itu terbentuk karena terbiasa – terbiasa ketemu, terbiasa ngobrol bareng. Mungkin pada masa itu kebiasaan semacam itu sangat memungkinkan karena ruang gerak kita juga terbatas. Kangen sama pacar yang jauh tapi bertemu setiap hari dengan teman kantor. Nah kan, perselingkuhan terjadi bukan karena ada sasaran, tetapi juga karena ada kesempatan.
Dan di masa sekarang dengan media komunikasi yang semakin mudah dan dalam jangkauan, sungguh bukan hal yang sulit untuk membayangkan mengapa dengan mudah perselingkuhan terjadi. Walaupun harusnya mengapa hubungan dengan pasangan masing-masing tidak menjadi lebih baik karena kemudahan media komunikasi, harusnya sih iya ya.
Di zaman serba Internet, menjadi masuk akal karena media sosial adalah ruang lapang yang demokratis dan memberi banyak peluang atau kanal komunikasi dengan orang yang jauh secara jarak dan mereka yang pernah dekat di masa lalu. Media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter memberi kesempatan untuk mendeklarasikan keberadaan kita, mengumumkan personal branding kita dan membuka kesempatan untuk interaksi dengan para pengikut dan pengemar. Ada teman yang suka sekali mengunggah kegiatan dari bangun sampai menjelang tidur – dan tidak lupa dong tag suaminya dalam semua postingnya. Suaminya bahkan sering ikut nimbrung berkomentar. Sering terpercik pertanyaan bagaimana komunikasi di rumah ketika mereka bertemu, apakah postingan-postingan keren hari ini akan dibahas lalu diulas?
Inikah model komunikasi suami-istri di zaman digital ini? Perhatian dan sayang bisa diberikan dalam satu klik, atau dengan satu dua kalimat, di platform tertentu bahkan tidak lebih dari 140 karakter. Banyak cinta bisa diwakili oleh emoji. Ciuman virtual pun bisa dilakukan dengan membeli aplikasi dan alat bantu – eh, barang ini beneran ada lho. Jangan salahkan kalau ada yang lebih witty kasih komentar atau lebih mesra muji-mujinya, dengan mudah bisa jatuh tresno.
Singkat kata sebenarnya media sosial memberi lebih banyak ada kesempatan CLBK melalui sosial media dengan cinta pertama masa di SMP atau SMA, atau gebetan zaman kuliah. Hubungan yang tersambung kembali, posting foto-foto zaman sekolah lalu berlanjut dengan flirting di jalur pribadi dan ujung-ujungnya kopdar.
Mudah sekali ditebak bagaimana proses itu terjadi dan berlanjut. Salah atau benar, ya sudahlah bukan urusan kita. Yuk, kembali kita ke laptop masing-masing dan buka Facebook, siapa tahu ada yang ngajak reunian dan kalau ada, jangan lupa siapin gincu dulu.
*Gincu Merah adalah ibu bekerja dan sahabat Vemale.
- Pria Perlu Ikut Serta dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan
- 4 Faktor Aneh yang Ternyata Membuatmu Berisiko Alami Perceraian
- Smaller Intimate Wedding, Konsep Pernikahan yang Hangat dan Akrab
- Dear Suami, Aku Bekerja Bukan Demi Uang Tapi Juga Demi Kesehatan Jiwaku
- Sering Disepelekan, Berikut 3 Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pernikahan