Pasar Pustaka Manado, Menyentuh Hati Membangun Asa

Fimela diperbarui 17 Okt 2017, 09:07 WIB

Saya adalah anak Jakarta. Saya lahir dan besar di Ibukota (walau orangtua saya berasal dari suku-suku tertentu). Puluhan tahun tinggal di Jakarta terkadang membuat saya punya pola pikir Jakartasentris alias, semua diukur pakai ukuran ‘orang Jakarta’. Apalagi saya bukan orang yang sering traveling ke luar kota, jadi bisa dibilang, kalau soal gaya hidup masyarakat di luar Jawa, saya ‘kuper’. Kali ini saya mau membagi cerita (dan perasaan saya) ketika memiliki kesempatan melihat gaya hidup masyarakat lain di luar pulau Jawa.

Minggu lalu, saya beruntung berkesempatan untuk pergi ke Manado, Sulawesi Utara. Baru saja kapal mendarat, saya sudah disuguhi hamparan pegunungan indah. Saat perjalanan ke hotel, beberapa kali saya melihat laut yang airnya sangat jernih berwarna biru. Dari sisi wisatawan, saya merasa sangat kagum melihat Manado. Tapi perjalanan saya kali ini bukan untuk berlibur, melainkan melihat Pasar Pustaka.

Pasar Pustaka adalah sebuah gerakan sosial, yang digagas oleh pemudi asli Manado, Tria Divinity Malengsang. Pasar Pustaka ini terletak di pasar tradisional Karombasan. Jangan bayangkan pasar tradisional di Jakarta seperti Pasar Mayestik apalagi Pasar Modern. Pasar Karombasan memiliki gedung tua yang dirawat seadanya. Lapak-lapak pinggir jalan berjajar tanpa aturan. Soal bau, jangan ditanya. Bau sampah, bercampur bau ikan dan daging adalah yang pertama kali tercium oleh indera.

 

Di dalam sebuah lapak berukuran 2x3 meter, Tria membuat sebuah perpustakaan sederhana. Bukunya pun hasil sumbangan yang ia kumpulkan lewat gerakan bakti sosial. Ruangan mungil tersebut juga dijadikan ‘kelas’ bagi Tria dan tim untuk mengajarkan anak-anak pasar.

Anak-anak pasar ini adalah mereka yang orangtuanya berjualan di pasar. Ada juga anak-anak yang memang suka ‘nongkrong’ d pasar tapi tidak memiliki kegiatan berarti. Sebelum ada Pasar Pustaka, kebanyakan anak-anak ini menghabiskan waktu mereka dengan bermain, atau melakukan kegiatan negatif seperti ngelem (menghirup bau lem agar mabuk).

Saya sampai ke Pasar Karombasan sekitar pukul 14.30 waktu Manado. Matahari sore sedang bersinar lucu-lucunya saat itu. Di dalam Pasar Pustaka, sudah ada sekitar 30 anak pasar menyambut saya dan teman-teman jurnalis lainnya dengan semangat. Rasa pengap dan panas tampaknya tak mempengaruhi semangat mereka.

“And at last I see the light

And it's like the fog has lifted

And at last I see the light

And it's like the sky is new

And it's warm and real and bright

And the world has somehow shifted

All at once everything looks different

Now that I see you”

Demikian sepenggal nyanyian para anak pasar saat menyambut kedatangan kami. Hati saya sudah tersentuh sejak itu. Makna lagu soundtrack film “Tangled’ dari Disney itu menjadi sangat dalam ketika saya melihat kondisi anak-anak tersebut. Hati saya kembali dibuat haru dengan melihat bagaimana mereka antusias mendengar pelajaran dari Tria. Dengan fasilitas seadanya dan suasana yang jauh dari kata kondusif, mereka dengan senang hati menerima pelajaran, tanpa mengeluh sekalipun.

 Satu jam saya melihat kegiatan di Pasar Pustaka, tapi banyak hal yang berkecamuk di hati saya. Saat mengobrol dengan sang inisiator, Tria, yang umurnya masih 21 tahun, tujuan dia murni ingin membuat hidup anak-anak tersebut lebih baik. Beruntung Tria bertemu dengan Tim Putri Sulamit yang kemudian menjadikannya Putri Sulamit asal Sulawesi. Program Putri Sulamit inilah yang kemudian membantu Tria mewujudkan misi sosialnya yaitu Pasar Pustaka.

Baca Juga: Program Putri Sulamit, Bukan Sekadar Ajang Kecantikan

Kembali ke anak-anak pasar Karombosan, setelah satu jam berlalu, akhirnya kami pamit pulang. Saya sempat bercanda dengan beberapa anak sebelum kembali ke rombongan. Sesekali, saya dibantu teman-teman jurnalis lokal untuk menerjemahkan beberapa kalimat. Tapi dari beberapa anak yang sempat saya ajak bicara, mereka semua mengaku senang dengan adanya Pasar Pustaka. Karena banyak di antara mereka yang belum punya kesempatan untuk bersekolah. Pasar Pustaka merupakan satu-satunya akses mereka mendapatkan pendidikan.

Semakin sesak dada saya saat seorang anak bertanya pada saya “Kakak, besok datang lagi? Jam berapa?”. Dengan berat hati saya menjelaskan bahwa ini hanya kunjungan singkat. Saya belum tentu kembali dalam waktu dekat. Beberapa anak mengantar saya dan teman-teman jurnalis hingga ke luar pasar. Dengan semangat mereka melambaikan tangannya dan mengucapkan terima kasih. Tak terasa, air mata saya menetes.

 

Baca Juga: Gektri, Putri Sulamit Bali yang Pantang Menyerah

Catatan Editor:

Pasar Pustaka adalah Proyek Sosial Putri Sulamit Sulawesi Utara, Tria Divinity Malengsang. Pasar Pustaka sudah berjalan sejak April 2017 di Pasar Karombasan Manado. Untuk berkontribusi dalam proyek sosial ini seperti menyumbang buku atau ingin menjadi guru sukarela, kirim pesan ke akun instagram @Projectsosial_pasarpustaka atau kunjungi www.putrisulamit.com

(vem/)