Tercabik Hatiku, Dituduh Nggak Perawan karena ''Bagian Tubuh Ini'' Melorot

Fimela diperbarui 19 Sep 2017, 14:30 WIB

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba My Body My Pride ini sungguh menguras air mata. Di tengah perjuangan beratnya menghadapi ujian berat di keluarganya, ia mendapat banyak cibiran karena bentuk tubuhnya. Tapi Tuhan tak pernah tidur.

***

Menginjak remaja, saya memasuki masa-masa paling suram. Tak mengenal perawatan wajah. Tak mengerti bagaimana menjaga tubuh. Tak terpikirkan beli baju-baju modis. Apalagi merasakan indahnya menjalin kisah kasih di sekolah. Bisa mengantongi seribu rupiah untuk ongkos pulang pergi dan jajan saja sudah bersyukur sekali. Beruntung dalam kesulitan, orang tua masih memikirkan urusan pendidikan kelima anaknya.

Bapak bukanlah orang gajian. Semua keperluan rumah tangga bergantung dari penghasilan sehari-hari. Dia sosok yang tangguh dan pekerja keras. Sayang masa-masa kejayaannya telah lewat. Usaha pangkas rambut yang telah dirintisnya semenjak bujangan mengalami kebangkrutan hingga tak punya lagi satu pun karyawan. Satu-satunya mobil yang saat itu dijalankan sebagai angkutan umum raib digondol perampok. Juga satu-satunya rumah tempat kami meneduh disita bank. Keadaan ekonomi keluarga semakin memburuk karena kakak lelaki saya yang nomor tiga mengalami gangguan jiwa. Selanjutnya kami mengontrak di rumah petak tiga yang pengap. Dengan menu makanan yang tak lagi memikirkan bergizi atau tidak. Terpenting kenyang. Bisa bertahan hidup.

Sewaktu SMP saya pernah menangis histeris karena kesulitan mengerjakan PR. Saat mengamuk, kakak saya itu merusak dan memecahkan perabotan rumah tanpa ampun. Jangan bayangkan seperti kapal pecah, itu belum seberapa untuk menggambarkan kondisi yang ada. Dan lagi dalam keadaan tidak sadar ia tega melakukan kekerasan fisik kepada kedua orang tua dan keempat saudara kandungnya. Saya tak luput terkena pukulan atau tamparan demi tamparan.

Tertekan, bukanlah kata yang tepat mewakili perasaan saya saat itu. Mungkin lebih besar dari itu. Kesulitan yang bertubi-tubi mempengaruhi pembayaran sekolah. Lagi-lagi bersyukur karena memiliki bapak yang tak hanya tangguh tapi bertanggung jawab. Hutang sana-sini dilakoni sampai memohon keringanan biaya pada pihak sekolah. Dalam keadaan serba kekurangan begini mana mungkin saya tega meminta lebih apalagi untuk sekadar mejeng di mall sambil menikmati segelas es coklat. Bahkan saya sampai tidak tega meminta dibelikan bra (maaf) ketika sebenarnya miniset tak cocok lagi dipakai gadis remaja yang baru memakai seragam putih abu-abu.

Dan barangkali karena hal penting ini luput dari perhatian, tanpa sadar payudara (maaf) saya melorot. Seiring berjalannya waktu ternyata bagian bokong (maaf) juga demikian. Tapi yang terakhir ini bahkan saya tidak tahu penyebabnya. Tidak mau ambil pusing, saya hanya berpikir Tuhan menciptakan manusia unik dan berbeda-beda. Jadi saya biarkan saja fisik saya apa adanya tanpa perlawanan. Plus tubuh kurus kering, wajah berjerawat batu, dan kedua betis yang besar seperti pemain sepakbola. Bisa dibayangkan bagaimana penampakan saya sewaktu SMA. Jelas jauh dari kesan ideal wanita impian para kaum adam.

Sebenarnya semenjak SMP banyak sekali teman-teman yang sengaja melemparkan hinaan yang berkaitan dengan kekurangan fisik saya. Namun lebih-lebih ketika SMA dan memasuki masa kerja. Karena selalu saja dihubungkan dengan kejombloan atau menduga-duga masa lalu saya. "Gimana mau punya pacar, badan selembar, kulit berminyak dan jerawatan begitu!"

Bahkan teman-teman satu pekerjaan tega secara blak-blakan meledek bagian tubuh saya yang melorot. Lalu ketawa-ketiwi seperti hanya saya seorang makhluk paling aneh di dunia ini. Kepedihan bertambah sebab beberapa teman lelaki menuduh saya sudah tidak perawan lagi!

Ya Tuhan! Sakit sekali hati ini. Seandainya mereka tahu, bahkan sampai sudah bekerja pun saya masih gotong royong bersama kedua kakak lelaki dan seorang kakak perempuan saya untuk membiayai pengobatan kakak nomor tiga. Tak pernah terpikirkan menghabiskan gaji untuk kesenangan pribadi. Dan hingga umur 26 tahun tak sekalipun saya merasakan indahnya menjalin hubungan kasih. Dekat dengan teman lelaki saja belum berani. Tuduhan tidak perawan lagi jelas tidak mendasar. Tapi apa perlu menjelaskan?

Bohong jika saya tidak minder. Tapi bukan karena itu saya belum mau berpacaran. Semenjak keluarga saya mengalami banyak masalah, saya memang bertekad tidak menyia-nyiakan pengorbanan orang tua yang sudah menyekolahkan dengan susah payah. Meskipun bukan tergolong murid yang cerdas, bersyukur semenjak SD sampai SMA saya selalu masuk peringkat sepuluh besar. Waktu-waktu luang saya gunakan untuk membaca buku dan mengasah kemampuan menulis. Pacaran saat usia belum matang, ditambah dengan segala permasalahannya hanya akan buang-buang waktu. Lagipula saya butuh cinta yang dewasa, yang bisa menerima permasalahan hidup saya yang pelik, terutama kakak lelaki saya yang bolak-balik keluar masuk rumah sakit jiwa.

Tuhan tidak pernah tidur, ya itu benar. Dia memberikan kekuatan dengan cara-Nya. Kesulitan demi kesulitan terlewati. Sekarang saya sudah menikah dengan seorang lelaki sederhana namun dengan cinta luar biasa. Dia lelaki yang jujur, ramah, pekerja keras, dan terpenting dia menyayangi kakak iparnya dengan sepenuh cinta yang hingga saat ini masih rutin berobat ke psikiater setiap bulannya. Kehidupan saya semakin lengkap karena kehadiran seorang putri yang kini berusia tiga tahun dan tentu saja mimpi saya menjadi penulis sedikit demi sedikit  mulai terwujud.

Teman-teman saya yang dulu mengejek tak percaya melihat potongan tulisan saya yang memenangkan lomba atau mejeng di majalah terpampang nyata di media sosial. Sebenarnya belum seberapa. Sebab hingga sekarang pun saya masih dalam proses belajar. Masih rajin mengikuti workshop menulis dan aktif dalam beberapa komunitas menulis. Namun setidaknya sedikit bisa memberikan pelajaran buat mereka yang sudah menghina.

Mereka juga tidak percaya karena saya mempunyai suami yang berperawakan tinggi dan gagah. Banyak yang memuji lelaki pendamping hidup saya itu ganteng. Namun selalu saya tanggapi biasa saja. Hanya lebih banyak menyebut kalimat syukur dalam hati. Ketika sama-sama berumur 27 tahun kami dipertemukan. Dua tahun kemudian kami mengikrarkan janji suci. Dialah cinta pertama dan terakhir saya, Insya Allah.

Saya masih saya yang dulu. Hanya saja setelah menikah tubuh saya gemuk secara alami. Bahkan menjadi ideal karena tadinya sangat kurus. Beberapa teman memandang iri lantaran bentuk badan saya usai melahirkan tidak mekar dan tidak perlu mati-matian diet. Sekarang saya tahu bagaimana merawat wajah dan tubuh meskipun hanya dengan cara-cara sederhana, tidak berlebihan. Jerawat batu masih sesekali timbul namun suami tidak pernah mempermasalahkan. Paling-paling hanya meledek sewajarnya tanpa bermaksud mengejek.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Tuhan sudah menciptakan setiap manusia lengkap dengan kelebihan dan kekurangan. Menghibur diri dengan menertawakan kekurangan orang lain bukan hanya tak baik, tapi suatu saat bisa menjadi boomerang yang akan mempermalukan diri sendiri.Dan bagi yang sering dihina atau dibully, ikhlaskan saja. Percayalah, Tuhan tidak pernah tidur! Bunga-bunga bersemi tepat pada musimnya.

(vem/nda)
What's On Fimela