Difabel dari Kecil dan Berkali-Kali Kena Tumor, Hidupku Tetap Kuperjuangkan

Fimela diperbarui 11 Sep 2017, 19:30 WIB

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba My Body My Pride ini sangat menyentuh hati. Kondisi fisiknya yang tak sempurna membuatnya harus berjuang lebih besar. Ditambah lagi dengan operasi demi operasi yang harus ia lakukan demi kesembuhannya. Tapi ada banyak pelajaran istimewa yang bisa kita dapat dari membaca kisahnya.

***

Setiap orang berhak untuk bahagia. Tidak peduli dia seorang yang diberi kesempurnaan fisik oleh Allah atau bahkan seorang difabel. Namun bahagia bisa juga sebuah pilihan, tergantung bagaimana kita mengambil sebuah keputusan mau seperti apa kita menjalani hidup. Apakah kita hanya akan berdiam diri tanpa berusaha untuk bahagia atau berusaha serta berdoa dan kemudian pasrah kepada Allah. Yang jelas Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap ikhtiar yang dilakukan manusia.

Usiaku sudah tidak muda lagi. Tepatnya 43 tahun lebih. Aku dilahirkan dengan kondisi fisik sempurna. Namun ketika usiaku menginjak 1,5 tahun aku terserang polio yang berakibat kaki kiriku lemah. Alhamdulillah karena berbagai upaya yang dilakukan orang tuaku, usia 3 tahun aku bisa berjalan lagi walau dengan kondisi pincang. Orang tuaku adalah pahlawan bagiku. Mereka mendidikku menjadi anak yang percaya diri dan tidak cengeng. Alhasil aku bisa menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi dan bekerja di sebuah lembaga pendidikan Islam di  Bandung.

Waktu kecil aku sudah terbiasa dengan panggilan pincang oleh anak-anak lain. Tak jarang ketika mereka di belakangku mereka meniru cara berjalanku. Aku tidak pernah menghiraukan itu.



Ketika aku berada di sekolah dasar prestasiku terbilang bagus. Rangkingku tidak pernah keluar dari 5 besar. Begitupun di SMP selalu mendapat rangking 1 walau pada saat itu aku bukan peraih NEM tertinggi di sekolah. Kemudian aku berhasil masuk SMAN 24 Bandung (dulu SMAN I Ujungberung), disini pun prestasiku bagus. Ketika kuliah aku pun bisa melaluinya dengan lancar tanpa hambatan berarti. Mungkin karena didukung prestasi akademik itulah aku menjadi pribadi yang percaya diri.

Polio ternyata bukan satu-satunya penyakit yang telah merenggut sebagian kenikmatan hidupku. Tahun 2003 ketika usiaku 29 tahun aku harus menjalani operasi mioma uterus. Saat itu aku sudah bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah sekolah dasar. Tanpa sengaja aku merasakan benjolan perut bagian bawah. Betapa terkejutnya ketika berdasarkan hasil USG dokter mengatakan ada miom yang berukuran 7cm x 7cm x 14cm yang harus segera diangkat. Perasaanku semakin tak karuan karena menurut dokter ada kemungkinan rahimku diangkat. Padahal waktu itu aku masih gadis dan belum punya calon suami. Namun alhamdulillah rahimku masih bisa diselamatkan dan hasil dari patologi anatomi masih tergolong tumor jinak. Tapi aku tidak akan bisa melahirkan normal karena berisiko robek rahim.

Setahun kemudian Allah mengujiku lagi dengan penyakit lain. Di payudara kiri aku merasakan ada benjolan. Lagi-lagi aku harus operasi, hasilnya jinak, dan enam bulan kemudian aku menemukan di payudara kanan ada benjolan, diangkat lagi dan hasilnya pun alhamdulillah jinak. Organ-organ yang menjadi kebanggaanku sebagai wanita telah cedera karena tumor. Aku bersyukur karena semuanya jinak.



Ketika usiaku menginjak 33 tahun, Allah mempertemukan aku dengan seorang laki-laki yang mau menerima aku apa adanya. Aku tidak sanggup menolaknya. Aku berpikir betapa sombongnya aku jika aku menolak cinta seorang laki-laki yang mau menerima perempuan difabel yang rahimnya belum tentu bisa memberikan keturunan. Allah Maha Baik, Dia memberi pasangan sesuai yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Hingga dalam segala hal kami bisa saling melengkapi. Tanggal 11 Januari 2009 kami menikah, ah… jika mengingat tanggal pernikahan kami selalu teringat lagu 11 Januari-nya Gigi.

Setahun kemudian, tepatnya tanggal 09 Januari 2010 anak pertama kami lahir, bayi perempuan yang cantik. Walau lahir prematur, yaitu usia kehamilan 32 minggu dengan berat 2,2 kg, putriku lahir sehat. 3,5 tahun kemudian lahirlah putri kedua kami melalui operasi caesar.

Kelahiran putri kedua melalui caesar adalah kali kelima aku berada di meja operasi. Aku berharap itu yang terakhir kali. Namun takdir berkata lain, 6 bulan setelah kelahiran putri kedua, lagi-lagi aku menemukan benjolan di tubuhku. Kali ini di leher sebelah kanan. Aku segera memeriksakan diri, hasilnya sudah bisa ditebak, aku kembali harus menjalani operasi.



Alhamdulillah tumor tiroid berhasil diangkat dan masih jinak. Kadang aku berpikir kenapa tumor-tumor itu senang hinggap di tubuhku, padahal aku makan dan hidup seperti orang-orang di sekitarku, tidak ada yang istimewa. Aku enggan berpikir lebih jauh, aku hanya berpikir mungkin reaksi tubuh tiap orang berbeda dan intinya inilah cobaan yang harus aku terima. Aku tidak ingin berpikir negatif tentang takdir, semua pasti ada hikmahnya. Aku hanya ingin menikmati setiap proses yang aku jalani, berusaha menerimanya dengan ikhlas dan sabar, dan berharap bahwa itu semua akan menjadikanku pribadi yang lebih baik.

Tahun 2016 lagi-lagi aku harus berurusan dengan dokter. Penyakit polio yang pernah menyerangku yang awalnya kupikir akan berlalu begitu saja, ternyata tidak. Sebenarnya sebelum kelahiran putri kedua kami, aku sudah sering merasakan sakit lutut sebelah kanan. Mulai saat itu aku menuruti anjuran dokter untuk menggunakan alat bantu jalan. Aku menggunakan satu tongkat elbow.

Konsidiku rupanya terus menurun tanpa aku sadari. Sampai suatu hari di bulan September 2016 adalah puncaknya. Aku merasakan sakit di selangkangan kaki kanan dan pinggang bagian belakang. Dokter mengatakan itu karena kondisi kaki yang tidak seimbang. Kaki kanan terlalu diforsir untuk menahan beban tubuh. Aku kemudian disarankan untuk menurunkan berat badan dan fisioterapi. Alhamdulillah selama mengikuti program berat badanku berhasil turun dari 64kg menjadi 55 kg.

Berbeda dengan program diet yang aku jalani yang kuanggap berhasil, kondisi kaki kananku semakin hari semakin melemah. Aku bahkan tidak bisa mengangkat kaki kanan walaupun cuma naik tangga yang tingginya 15 cm. Setiap malam selalu terbangun karena sakit yang menjalar dari pinggang kanan sampai ke arah lutut. Sholat sudah tidak mampu berdiri. Jalan hanya beberapa meter sakitnya bukan main. Fisioterapi yang aku jalani selama 2 bulan tidak ada hasilnya sama sekali. Aku sudah kesulitan berjalan dengan menggunakan satu tongkat, aku akhirnya menggunakan 2 tongkat. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah rumah sakit.



Di rumah sakit kedua aku kemudian kembali menjalani fisioterapi. Hasilnya sama, selama 2 bulan tidak ada perubahan. Obat untuk menekan rasa sakit tidak berpengaruh sama sekali. Obat gosok yang kata petugas apotek paling panas pun tidak berpengaruh. Aku kemudian dirujuk ke RSHS untuk membuat HKAFO. Selain itu aku harus menggunakan sepatu/sandal yang hak sebelah kirinya dibuat lebih tinggi.

Aku kemudian menuruti saran dokter untuk ke rehab medik RSHS. Perjalanan yang lumayan melelahkan, dengan pasien yang jumlahnya ribuan untuk berobat ke poli umum karena aku menggunakan BPJS. Setelah menjalani pemeriksaan dan ngobrol banyak, aku kemudian menyerahkan kesimpulan dari hasil rontgent dari faskes sebelumnya.

Hasilnya sungguh di luar dugaan. Karena ternyata pihak rehab medik RSHS tidak bisa mengabulkan permintaanku untuk membuat HKAFO. Katanya harus berdasarkan rekomendasi dokter ortopedi. Kedua sendi panggulku lepas. Dokter menyarankan agar kakiku sebisa mungkin jangan digunakan untuk beraktivitas untuk mengurangi sakitnya. Aku sendiri heran meski dengan kondisiku aku masih bisa beraktivitas walaupun semampunya. Aku masih menjalani hari-hariku sebagai ibu rumah tangga dan ibu pekerja. Suamiku tidak menyangka kalau kondisiku separah itu.

Keputusannya aku harus operasi ganti sendi panggul kanan yang kondisinya sudah rusak. Lapisan tulang rawannya sudah habis, posisinya sudah naik ke atas, lepas dari tempat yang seharusnya. Sedangkan untuk kaki kiri yang kata dokter lepas sama-sekali bahkan sudah muter tidak bisa dioperasi. Katanya percuma kaki kiri diganti karena nanti akan lepas lagi-lepas lagi mengingat ototnya terlalu lemah jadi tidak akan bisa menahan implant. Menurut dokter target untukku jika sudah sembuh menggunakan 1 tongkat.

Hari-hari berikutnya selama 1,5 bulan aku menjalani pemeriksaan untuk persiapan operasi. Ketika semua pemeriksaan sudah beres, aku tidak bisa secepatnya dioperasi. Ada antrean panjang yang juga sedang menunggu kamar perawatan di RSHS. Maklum ini rumah sakit terbesar, terlengkap di Jawa Barat. Pasien yang datang dari berbagai daerah.



1,5 bulan berikutnya, tepatnya tanggal 03 Mei 2017 aku sudah dapat kamar. Masya Allah, setelah dapat kamar pun aku tidak bisa langsung dioperasi, karena masih ada antrean kamar operasi. 3 minggu aku menunggu. Hari-hariku dihabiskan di ruang rawat kelas II ruang kemuning. Sedih rasanya aku yang merasa sehat dan masih mampu untuk bekerja harus meninggalkan kedua putriku dan pekerjaan kantor.

Aku bawa laptop ke rumah sakit. Banyak pekerjaan yang belum sempat aku selesaikan karena kabar yang tiba-tiba bahwa aku harus masuk pada hari itu juga. Banyak cerita dan kenangan selama berada di sana. Sesama penghuni kamar yang rata-rata tidak sebentar berada di sana sudah seperti saudara. Keakraban dengan para perawat di sana membuat aku merasa berada di tengah-tengah keluarga. Hal yang membuat aku sering menangis karena teringat dua putriku. Aku tidak bisa menyaksikan acara pentas seni akhir tahun mereka, aku tidak bisa mendampingi si sulung belajar menghadapi UAS, dan tidak bisa menghadiri pembagian raport kenaikan kelas.

Semua urusan rumah tangga dan sekolah anak ditangani suamiku. Tiap hari suamiku datang ke rumah sakit menjelang malam karena harus mengurus  buah hati kami terlebih dulu dan pulang kembali ke rumah selepas shalat subuh setelah segala keperluanku di rumah sakit dipenuhi.


Sampai akhirnya tibalah hari besar itu. Tanggal 26 Mei 2017 yang bertepatan dengan tanggal kelahiranku aku menjalani operasi ganti sendi panggul kanan. Pukul 07.00 aku masuk ke ruang operasi. Pukul 12.00 siang aku tersadar berada di ruang pemulihan. Pukul 14.00 aku baru dipindah ke ruang perawatan.



Selama 3 minggu berada di rumah sakit keluargaku tidak ada yang menemui, kecuali suamiku yang tiap malam menemani. Bukan salah mereka, tiap kali mereka akan datang selalu kularang, “Tidak usah, aku kan sehat, nanti saja kalau sudah operasi.” Benar saja, ketika aku tiba di ruang perawatan orang tua, atasan, adik-adik, uwa, semuanya berkumpul. Paska operasi setiap hari selalu saja ada yang datang baik keluarga, teman maupun rekan kerja. Tidak peduli bukan waktunya besuk, mereka akan mencari cara agar bisa menemuiku. Alhamdulillah aku sangat merasakan kasih sayang dan perhatian orang-orang di sekitarku.

Paska operasi, 6 hari aku berada di rumah sakit. Seharusnya hari ke-3 pasien operasi ganti sendi panggul sudah mulai belajar jalan. Tapi aku tidak bisa. Kondisi kaki kiri tidak bisa diandalkan sama sekali. Bahkan untuk sedikit bergeser pun kaki dan panggul kanan tetap yang berperan padahal masih dalam keadaan cedera. Hari ke-6 mau tidak mau aku harus keluar dari rumah sakit karena limit biaya yang dicover BPJS sudah habis. Kondisiku pada saat itu belum bisa duduk, tapi aku paham dengan aturan itu.

Sekarang 3,5 sudah implant sendi panggul terpasang di kaki kananku. Aku sudah kembali beraktivitas mengerjakan pekerjaan rumah semampunya, mengurus anak, dan bekerja sebagai tenaga administrasi di yayasan pendidikan islam seperti biasanya. Aktivitasku masih belum bisa lepas dari kursi roda, walker, atau 2 tongkat.

Bagaimanapun keadaannya aku ingin menjalani hidup senormal meski aku seorang difabel. Karena letak kebahagiaanku adalah ketika aku bisa mandiri dan berguna untuk orang-orang di sekitarku. Alhamdulillah aku berhasil menjalani semua proses itu. Proses memenuhi hak tubuhku untuk mendapatkan perawatan sebaik mungkin. Aku bangga dengan diriku, aku ingin membuat bangga anak dan suamiku.





(vem/nda)
What's On Fimela