Sophia Komninou, Swansea University
Pola makan sehat “clean eating” amat cocok diterapkan oleh para orang tua yang ingin anak-anak mereka memiliki kebiasaan sehat sesegera mungkin. Tak terlalu mengherankan sebenarnya: “clean eating” adalah jargon sempurna bagi para orang tua yang selama ini berhadapan dengan rak-rak supermarket berisikan makanan bayi yang kandungan gulanya tinggi dan bergizi rendah.
Beberapa pola makan sehat memang menitikberatkan pada keseimbangan—misalnya mengurangi asupan makanan yang diproses dan menambahkan asupan makanan utuh. Tetapi beberapa ada pula yang ekstrem. Contohnya, ada yang menyarankan mengurangi gluten, atau makanan utuh seperti biji-bijian serta produk susu dan olahannya, sembari menyarankan kita untuk mengonsumsi “makanan super” untuk meningkatkan kesehatan.
Ada alasan mengapa beberapa diet disebut diet “seimbang”, karena ada bahaya yang mengintai ketika anak-anak mengikuti pola makan yang ekstrem. Mereka tidak saja berisiko kekurangan asupan kalori, tapi juga berpotensi mengalami kurang gizi, serta defisiensi vitamin dan mineral.
Kelompok makanan
Gluten—sebuah protein yang terdapat dalam biji-bijian seperti gandum, gandum hitam, dan jelai (barley)—kerap kali menjadi target utama bagi pola makan clean eating. Beberapa orang memang memiliki penyakit celiac, yang artinya tubuh mereka memiliki reaksi peradangan terhadap gluten, tetapi kebanyakan orang tidak bermasalah dengan gluten sama sekali.
Berbagai organisasi kesehatan dan gizi terkemuka sedunia justru merekomendasikan produk biji-bijian atau sereal sebagai basis pola makan yang sehat. Contohnya Badan Kesehatan Publik Inggris, Akademi Nutrisi dan Diet, dan Kementerian Pertanian Amerika Serikat.
Sereal juga makanan pokok dalam diet di kawasan Mediterania dan mengandung karbohidrat yang diperlukan tubuh manusia supaya bisa berfungsi, dan merupakan bahan bakar utama bagi otot dan otak bayi, balita, dan anak-anak. Jika mereka dijauhkan dari karbohidrat, pertumbuhan mereka bisa melambat.
Selain menyarankan menghindari gluten, filosofi clean eating yang ekstrem juga memiliki anggapan bahwa karbohidrat itu berbeda-beda, meski molekulnya sama saja. Orang dibuat percaya bahwa gula rafinasi itu jahat, racun yang akan menyabotase kesehatan. Sementara itu, mereka dengan enteng mengonsumsi smoothie yang “hijau” atau “berprotein” yang kandungan gulanya sama seperti soft drink tanpa merasa bersalah.
Mereka justru merasa telah memberi manfaat bagi tubuh mereka dan anak-anak, karena mengonsumsi minuman bergizi dan berserat. Mereka juga menganggap kue yang menggunakan sirup agave, madu, atau gula kelapa (untuk menggantikan gula rafinasi) sebagai alternatif untuk hidup sehat, bisa dimakan tanpa rasa bersalah.
Beberapa pola makan sehat yang ekstrem juga menganjurkan menghindari produk susu dan olahannya, yang jelas merupakan sumber kalsium alami yang efisien. Secangkir susu atau yogurt, atau selapis keju, dapat mengandung 300-400 mg kalsium, sementara seporsi makanan non-susu lainnya tidak sampai 100 mg (kecuali ikan kecil yang dimakan bersama tulangnya).
Orang dewasa rata-rata memerlukan sekitar 1.000 mg kalsium tiap hari. Anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan perlu lebih banyak lagi. Remaja, misalnya, memerlukan 1.300 mg kalsium sehari. Jika pola makan tidak dirancang dengan benar, diet non-susu dapat memperlambat pertumbuhan anak serta mengurangi kekuatan tulang mereka.
Pada saat yang bersamaan, pemberian “makanan super” seperti kubis, ubi bit, dan biji chia, belum tentu cocok bagi anak yang masih kecil. Kubis dan ubi bit secara alamiah mengandung nitrat yang tinggi, dan dapat bersifat beracun bagi bayi. Sementara itu biji chia mengembang dalam perut sehingga berpotensi membuat sakit perut.
Perilaku sehat
Di samping dampak secara fisik, menerapkan pola makan clean eating juga dapat mengubah perilaku anak terhadap makanan. Mengapa? Cara paling efektif untuk menciptakan atau meningkatkan keinginan adalah membatasi akses. Bayi yang masih kecil, yang masih belum mengetahui keberadaan “buah terlarang” tentu tidak akan meminta makan buah itu. Tetapi ketika akses itu dibuka dan anak-anak merasakan makanan baru yang enak, mereka tidak dilengkapi kemampuan untuk mengatur keinginan alamiah mereka itu.
Pola makan sehat seharusnya tidak hanya mempromosikan makanan yang menunjang kesehatan fisik, tapi juga perilaku yang menunjang hubungan lebih baik dengan makanan. Tren pola makan clean eating jangan sampai melupakan bahwa makanan lebih dari sekadar bahan bakar bagi tubuh. Makanan adalah sesuatu yang tercipta dari berabad kebudayaan yang dinikmati orang.
Pada akhirnya, membantu anak menjadi sehat dan bahagia bukanlah soal “kotor” atau “bersih”, melainkan mengajari mereka menikmati makanan bergizi, dan menyadari komposisi diet yang seimbang.
Sophia Komninou, Lecturer in Infant and Child Public Health, Swansea University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
(vem/kee)