Era Digital: Mbok Ya Jangan Cuma Update Status, Tapi Juga Upgrade Perilaku

Fimela diperbarui 05 Sep 2017, 14:30 WIB

Di masa sebelum adanya internet, kehidupan nyata kita adalah segala-galanya. Segala hal yang berbau maya atau absurd, hanya ada di dalam kepala kita.

Zaman itu adalah ketika "ngobrol" atau "chatting" masih bisa diartikan sebagai kegiatan fisik yang melibatkan saraf-saraf mulut hingga tenggorokan (dan laring), lalu memiliki probabilitas sentuhan antar kulit dengan frekuensi yang bervariasi, serta mengandung unsur suara, kontak mata bahkan ada kemungkinan hujan saliva dengan berbagai intensitas.

Masa itu sudah berlalu, everybody. Kita sudah move on ke era Internet, seperti sekarang ini. Suka atau tidak suka, kita sudah sampai pada titik di mana candu media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan merambah ke segala kalangan dan usia. Mulai dari bocah yang masih semerbak harum minyak telon hingga oma-opa beraroma Rheumason (maaf, terpaksa sebut merek).

Jangan kaget kalau akan lebih sulit nyebutin lima nama ikan daripada sepuluh nama bayi-bayi, anak selebriti, yang sudah memiliki akun Instagram dan aktif menjadi endorser produk ini itu. Karena tidak berhadiah sepeda, ya sudahlah kita lewati saja. Asal tahu sama tahu, lagian kita kan juga tidak mau jadi endorser buat mereka.  

Bahkan dalam enam tahun terakhir belanja pulsa, menurut sebuah penelitian yang dikutip oleh Beritagar.id,  melonjak jauh meninggalkan belanja buah dan walaupun belum setinggi belanja beras di beberapa kota di Indonesia. Disebutkan dalam penelitian tersebut kebutuhan akan pulsa/data sudah menjadi kebutuhan sekunder, bukan lagi tertier.

Dunia dalam genggaman kita
“Tiap malam ngecek IG si mawar (nama disamarkan, anak salah satu selebriti), emesh banget. Karena tiap hari lihat jadi kangen kalau ga lihat postingannya,” ini saudara saya yang cerita kebiasaan sebelum tidurnya. Ini contoh kecanduan yang susah dijelaskan dengan kata-kata. Sayangnya, banyak kasus seperti ini.



Saat ini media sosial adalah segala-galanya, bahkan doa atau mantra yang urusannya samawi dan sangat pribadi pun dipanjatkan di kolom status Facebook dan Twitter, seolah-olah Tuhan atau para dewa berakun yang terverifikasi, atau jangan-jangan supaya kita terlihat (oleh orang lain) bagaimana berimannya kita.

Candu, yang dahulu mengandung makna "yang berlebihan sehingga menjadi negatif", sekarang juga menjadi sebuah kewajaran. Kecanduan handphone, mati gaya kita kalau batere kritis atau tuna Wi-Fi.  

Menurut para pakar, media sosial memiliki efek yang hampir sama dengan efek pelukan. Ada semacam kehangatan yang menyeruak melingkupi kita, membuat kita bahagia. Studi yang pernah dilakukan oleh RadiumOne menunjukkan setiap kita memposting status, share atau sekedar like, kita menciptakan ekspektasi untuk memperoleh respons atas tindakan kita itu.

Peran fitur notifikasi dalam telepon pintar kita menjadi semacam pertanda "kebahagiaan kecil" akan segera datang. Ooh, siapa kira-kira yang menyukai foto kita. Hormon dopamin akan mengirim sinyal ke otak dan otak akan bekerja mengirim perintah untuk bahagia. Begitulah kurang lebih.  

Perubahan fungsi organ tubuh pun juga terjadi. Kalau dulu jari-jari punya keterbatasan menjadi piranti untuk komunikasi untuk menyampaikan simbol-simbol tertentu. Hebat lalu kita acungkan jempol, bedebah kau terwakili dengan jari tengah dan seterusnya.  Sekarang, jari-jari mengambil alih kerja mulut kita. Meneruskan apa yang ada di hati kita yang kita ingin seluruh dunia melihat kita seperti apa, di pikiran kita yang kita ingin orang tahu, bahkan apa yang kita rasakan.

Saya pernah janji bertemu teman untuk urusan pekerjaan. Sambil ngobrol, seruput kopi, lalu ngomongin mantan sesekali dia mencuri lihat layar HP-nya. Selanjutnya ada keheningan karena tatapan matanya tertuju pada layar selebar 5,5 inchi itu, seolah layar itu menelannya hidup-hidup. Hanya karena komentar orang, teman sana dilanda amarah membuncah, mengetik seperti seorang juara dunia, membalas argumen-argumen orang -- di Twitter.  Twitwar apalah itu. Mungkin persoalan yang sedang diperdebatkan adalah masalah hakiki apa yang yang dia percayai, atau idola bangsa yang diperjuangkan untuk selalu menjadi yang terdepan.

Tentu saja, saya diam-diam sudah maafkan kekhilafan itu. Yak, kami masih berteman sangat baik – di dunia maya.

Cerita dunia maya, bahaya di kehidupan nyata
Percaya atau tidak, sudah banyak kasus yang menunjukkan bagaimana satu posting di Facebook atau di Instagram milik pribadi yang mengakibatkan gonjang-ganjing dalam kehidupan nyata seseorang.  Bahkan di platform microblogging seperti Twitter, satu posting dengan kurang dari 140 karakter, bisa menghancurkan karir, ambisi politik atau niat baik seseorang bisa dan sangat mungkin diputar balikkan, bahkan dihancurkan hanya dalam hitungan menit oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat.



Seperti beberapa minggu lalu, saya beruntung menonton sebuah acara talkshow di sebuah stasiun televisi swasta yang mengundang seorang ibu yang suami dan anak batitanya menjadi subyek sebuah posting di Facebook. Suami ibu ini difoto sedang berjualan bakso di sebuah kota kecil di Jawa Timur sementara anak batitanya tidur dengan memelas di emperan sebuah rumah. Cepat sekali respon para netizen menunjukkan simpati, rasa kemanusiaan, kepedulian untuk bapak dan anak serta caci maki untuk ibunya, yang dalam keterangan foto disebutkan kabur dari rumah, meninggalkan tanggung jawab akan anak batitanya.

Kenyataannya, seperti diceritakan dalam talkshow tersebut, si ibu terpaksa pergi dengan membawa adik dari batita itu untuk bekerja di kota lain. Bukan kabur, bukan lari dari tanggungjawab.

Sejujurnya, pada awalnya saya juga berpikir bapak penjual bakso ini luar biasa, mencari nafkah sambil mengasuh anak semuda itu.

Akibat dari satu posting Facebook itu, hidup si ibu berantakan. Bayangkan perselisihan, kata-kata penuh kebencian dan syak wasangka serta cekcok mulut yang berkepanjangan terjadi paska viral nya foto itu.

Kasus di atas hanya satu dari jutaan kasus serupa di dunia. Bukan yang pertama dan pasti bukan yang terakhir. Terlepas dari motifnya apa, siapa yang mengunggah foto-foto dan yang memberi sedikit cerita tentang kondisi bapak anak tersebut, hal tersebut sudah cukup meyakinkan bagaimana masih banyak dari kita yang berperilaku seolah-olah sosial media adalah dunia lain. Dunia maya seolah-olah tidak bersentuhan dengan keseharian kita sehingga kita bisa berperilaku sesuka hati kita, termasuk merekam detik-detik sebelum gantung diri. Saya sungguh kehabisan kata-kata untuk kasus itu, kasihan anak istri dan keluarga yang ditinggalkan.

Cerita digital sepanjang hayat
Koran dan majalah bisa kedaluwarsa karena umurnya terbatas. Koran hari ini bisa berakhir jadi pembungkus kacang keesokan harinya. Tetapi berita daring akan bertahan lama, lebih lama dari yang kita bisa bayangkan.



Majalah Forbes Indonesia, misalnya, baru-baru ini mencegah sejarah yang menyesatkan dengan mengumumkan pencabutan gelar Anniesa Hasibuan, bos First Travel, sebagai salah satu wanita inspiratif 2017. Pencabutan gelar dilakukan terkait kasus hukum yang sedang membelit Anniesa Hasibuan dan suaminya, Andhika Surachman. Keputusan yang layak diacungi jempol (dengan emoticon jempol tentu saja).

Mengapa? Karena pada saat kasus First Travel sudah selesai (entah kapan itu) dan mungkin akan perlahan mulai menghilang dari pemberitaan, karena akan ada kasus-kasus besar lain, anak cucu kita tidak akan menemukan berita Anniesa Hasibuan adalah salah satu perempuan inspiratif yang secara resmi diterbitkan oleh Forbes Indonesia, lalu mereka bingung dengan nilai-nilai yang pernah dianut nenek moyangnya. Forbes memberi bahan sejarah yang baik.



Dengan pemahaman semacam ini sudah seharusnya kita mulai berpikir ulang bahwa kita bisa bersembunyi di balik posting status dan foto, berjuang menampilkan profil yang kita dambakan. Namun dengan alasan dunia maya memberi kita kebebasan untuk berekspresi, maka kita bisa menulis kritik atau membicarakan orang dengan seenaknya. Ingat ya, ada UU ITE dan orang dengan mudah bisa melaporkan tulisan atau meme yang mengandung ujaran kebencian. Meskipun kita berdalih itu hanya bercanda atau tidak ada unsur kesengajaan menebar kebencian.  

Jadi sudah saatnya melihat bahwa cara kita berinteraksi dengan sesama pengguna media sosial, (seharusnya) mencerminkan perilaku kita dalam berhubungan dengan orang lain dalam kehidupan nyata. Kita tidak ingin dicubit, ya jangan mencubit. Di kehidupan nyata, mungkin agak sulit buat kita mencolek, misalnya, Deddy Corbuzier, di dunia maya, semua jadi lebih mudah. Kemudahan inilah yang sering kita gunakan dengan teledor.

Kolom-kolom komentar di akun Instagram selebriti (bukan hanya di Indonesia) seringkali jadi ajang adu makian antara hater dan penggemar. Lha ini yang punya akun diam saja (saya kok curiga si empunya menikmati adu makian ini) orang-orang yang tidak punya hubungan darah bahkan karyawannya juga bukan, malah ngotot-ngototan, saling maki. Bisa sampai ratusan ribu komentar, lho.

Bisa jadi salah satu dari mereka yang berseberangan itu adalah tetangga RT atau bahkan sama-sama orangtua dari sekolah si kecil. Kita tidak pernah tahu, dan kalau sampai kita tahu, apa iya permusuhan di akun sang bintang akan kita bawa di lapangan dekat rumah.  

Makanya, yuk ah upgrade perilaku dan cara kita hidup di zaman ini.

*Gincu Merah adalah ibu bekerja dan sahabat Vemale.




(vem/nda)