Usia 27 Tahun Belum Menikah, Meski Tampak Tegar Aku Menyimpan Kesedihan

Fimela diperbarui 28 Agu 2017, 14:30 WIB

Membaca kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan ini seperti menyelami rasa gundah dan dilema yang kita alami sendiri. Soal kapan nikah dan sikap orang-orang di sekitar kita yang kurang peka.

***

Tunggu! Sebelum aku mulai menceritakan kisahku yang menyedihkan melebihi telenovela, biarkan aku bertanya dulu. Apakah kamu mulai merasa kesepian karena setiap malam yang dipeluk adalah boneka? Apakah saat kamu menyalami teman-temanmu yang duduk manis di pelaminan, senyum yang tersungging sejujurnya mengandung harap? Apakah naluri keibuanmu muncul secara mendadak, melihat video-video aksi bayi-bayi lucu yang menggemaskan? Jika iya, mungkin kalian adalah aku.

Hi! Pekenalkan, aku wanita yang bulan depan akan menginjak usia 27 tahun. Di mana angka itu yang menurut sebagian orang tua, seharusnya aku sudah punya 2 anak. Tapi kenyataan berkata lain, aku masih saja sendiri.  Teman dekat sih, pasti ada. Hanya saja ya begitulah, hanya sekadar dekat. Sampai-sampai aku menjadi lelah, dan mungkin ini sudah sampai pada tahapan pasrahkan segalanya pada Tuhan Yang Maha Esa. Dan kalimat kapan kawin sepertinya sudah seperti bola yang terpelanting ke tanah.

Awal-awal memasuki usia 24an, setelah pendidikanku selesai setiap lebaran datang, hanya hal itu yang membuatku malas berkumpul dengan keluarga. Selalu saja, akan ada beberapa bibir yang entah usil atau memang penasaran, "Eh, sepupumu yang baru lulus kuliah kemarin bulan depan nikah lo, kamu kapan?" Hanya sebaris pertanyaan. Tapi rasanya bisa membuat hari-hariku yang cerah menjadi tertutup awan mendung secara tiba-tiba. Tidak ingin menyangkal, dan hanya bisa tersenyum. Begitu terus, sampai mungkin teman-teman dan keluarga besarku bosan dengan jawabanku.

Tapi, di balik itu semua, hanya pernyataan ibuku lah yg selalu mengganggu pikiranku tentang datangnya jodoh. Suatu malam, selesai kami nonton film bersama, ibu berkata, "Mbak, Mama nggak menyuruhmu untuk cepat-cepat menikah, tapi setidaknya Mama akan tenang kalau Mbak sudah ada yang menjaga." Ah, aku wanita yang notabene pribadi yang cuek dan jarang menangis, seketika itu menitikkan air mata. Tentu saja tidak di hadapan ibuku, karena pasti akan sulit berhenti jika aku melakukannya di depan beliau. Di dalam kamar aku terisak. Rasanya sesak sekali, aku tidak bisa menceritakan apa yang sesungguhnya aku pendam selama ini.

Maka di sinilah, aku akan menulis. Anggap saja aku ini sedang berteriak.

Bu, apakah Ibu tahu? Aku hanya manusia biasa, Bu. Aku juga hanya wanita biasa yang membutuhkan sosok pria yang bisa membimbingku menuju surganya Allah. Tapi, kenyataannya jalan menuju tempat itu begitu terjal untukku. Kegagalan demi kegagalan, pengkhianatan dan kepastian yang tak kunjung datang terus menghantui perjalananku, Bu. Aku juga sangat ingin membahagiakan ibu seperti anak perempuan lain dengan bisa segera menikah. Tidak, bukan muluk dulu menikah, tapi menjalin hubungan yang serius dengan seorang pria.

Dan kalian yang sering menanyakan kapan aku akan menikah, apakah kalian tahu, jika diam-diam aku suka ingin menangis saat datang bertemu teman-teman yang sudah menikah dan memiliki anak? Betapa bahagianya keluarga kecil itu. Bagaimana perasaanku saat aku harus melepas sahabat terdekatku pada akhirnya menemukan tambatan hatinya, imamnya yang akan membawanya menuju surga?

Bagaimana tentang teman-teman di kantor yang menceritakan tentang suami dan anak-anaknya? Memandang seorang wanita yang sepulang kerja dijemput oleh kekasihnya. Merasakan rasanya bisa memasakkan sesuatu untuk orang yang kita cinta. Sampai-sampai tanpa sengaja satu pertanyaan muncul di permukaan, "Tuhan, apakah aku terlalu hina untuk dicintai? Apakah aku tidak tercipta dari  tulang rusuk pria manapun?"

Tapi untunglah, aku masih punya Tuhan untuk bersandar. Meskipun pertanyaan-pertanyaan di atas sering kali membuatku berburuk sangka kepada Tuhan.

Ampuni aku Tuhan, jika terkadang aku masih khilaf tidak merasa bersyukur dengan nikmat dalam aspek lain dalam hidupku. Meskipun jalan itu terjal dan akan membuatku jatuh berkali kali, aku tidak akan menyerah.  

Perkara jodoh, memang sudah diatur oleh-Nya. Tapi, sebagai manusia aku harus tetap berusaha. Dan kumohon dalam usahaku ini, jangan lagi menanyakan kapan “hal” itu akan terjadi, karena aku yakin “hal” itu pasti akan terjadi. Cukup doakan saja, agar aku segera disegerakan.

(vem/nda)