Calon Suamiku Ternyata Punya Anak dan Istri yang Tak Dinafkahinya

Fimela diperbarui 26 Agu 2017, 13:00 WIB

Kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan ini benar-benar menyayat hati dan perasaan. Bagaimana bisa, seseorang yang sudah akan menjadi suami ternyata menyimpan rahasia yang begitu besar.

***

Mataku menerobos keluar jendela, aku melihat tetanggaku yang juga temanku saat SD. Ia sedang menjemur anak keduanya di bawah cahaya pagi sang surya, dulu kami sering bermain dan berangkat sekolah bersama. Ya ia sudah memiliki dua anak, sedangkan usia kami sama yaitu 27 tahun.

Usiaku sekarang memang sudah matang untuk menikah dan mungkin jika aku tidak batal menikah tiga tahun yang lalu aku sekarang sudah memiliki buah hati yang lucu. Entah bercanda atau budaya di negeriku tercinta ini menanyakan “kapan” bagaikan hal yang sangat lumrah, contoh saat bertemu dengan teman lama, di acara pernikahan atau sekadar basa-basi dan bahkan sampai menjadi gosip.

Hampir semua orang ingin memiliki kehidupan normal dengan adanya pasangan yang bisa menjadi teman hidup atau ada istilah baru yaitu pasangan sehidup sesurga dengan anak-anak yang membuat suasana rumah menjadi ramai. Kau juga ingin pasti begitukan, aku hampir akan menikah tiga tahun yang lalu.

Kau tahu, aku sudah membuat desain undangan untuk pesta pernikahanku, aku sudah memilih gaunku dan membayangkan akan menjadi wanita paling cantik pada hari itu. Tepat sebulan sebelum hari pernikahanku, aku bertemu teman lamaku.

Kami bertemu di mall lalu mampir ke foodcourt dengan perbincangan hangat aku bercerita akan menikah dan ia senang mendengarnya lalu ia tak sengaja melihat wallpaper HPku dan ia terkejut.
“Apa ini adalah calon suamimu?” sambil memerhatikan HP-ku.
“Iya, kau kenal?”

Aku hanya berpikir mungkin ia juga teman calon suamiku, tapi ternyata iya mengatakan hal yang tak terduga. Ia bilang bahwa ia adalah tetangga calon suamiku. Calonku memang berasal dari provinsi yang berbeda denganku, dan ternyata itu juga adalah kampung orang tua temanku.  



Ia mengatakan dengan susunan kata yang dibuat agar tak terdengar menjelek-jelekkan. Ia berkata bahwa suamiku sudah menikah dua tahun yang lalu karena kasus MBA (Married by Accident) dan setelah istrinya melahirkan ia meninggalkan istrinya dan tak menafkahi anaknya. Sampai sekarang terkadang istri dan anaknya masih suka datang untuk menanyakan dan meminta pertanggungjawaban dari suaminya.

Aku tak langsung menerima apa yang ia katakan, aku mencari tahu kebenarannya. Aku memang kenal keluarganya dan pernah datang ke rumah orang tuanya tapi aku sama sekali tak tahu tentang hal ini. Yang aku tahu ia di sini merantau dan sudah cukup mapan serta akan menjadi suamiku satu bulan lagi.

Dibantu temanku ini akhirnya aku bisa bertemu dengan istri dari calon suamiku itu, dan anaknya sangat mirip dengan calon pangeranku. Sangat miris mendengar kisahnya karena aku juga seorang wanita, tapi aku tak akan menceritakannya di sini.

Aku juga tak mau hanya mendengar dari satu pihak. Aku bertanya pada calon suamiku dan seperti yang kau duga, ia tak mengakui itu. Hingga akhirnya aku memberikan bukti-bukti dan ia hanya berkata bahwa itu masa lalunya, yang ia mau sekarang hanya membangun rumah tangga baru bersamaku.



Bukannya aku tak menerima masa lalu seseorang, sama sekali tidak. Karena setiap orang pasti memiliki masa kelam, tapi aku tak ingin bahagia di atas air mata wanita lain. Aku membatalkan pernikahan kami, aku berpikir jika ia memang lelaki yang baik ia harus bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.

Perasaanku saat itu tak bisa diungkapkan oleh kata-kata, keluargaku menanggung malu dan semua pesanan kami batalkan tetapi aku bersyukur karena tahu sebelum telanjur menikah dengannya. Ya kau pasti tahu bahwa kasusku batal menikah ramai menjadi perbincangan di daerah rumahku, kami sekeluarga berusaha menutup telinga dan aku memutuskan untuk mengajukan mutasi di tempatku bekerja dan sambil meneruskan S2, untuk berharap agar aku bisa move on.

Aku terus menyibukkan diri dengan bekerja dan kuliah, tapi tentu itu tak membuatku luput dari pertanyaan kapan. Seperti tak ada habisnya, kau akan terus ditanya kapan. Kapan menikah? Kapan punya anak? Kapan punya anak lagi? Kapan punya mantu? Kapan punya cucu? Dan kapan-kapan yang lain.



Tak bisa dipungkiri ini sudah menjadi budaya, tetapi pernahkah kau berpikir bagaimana perasaan orang yang kau tanyai itu? kita tak pernah tahu apa yang sudah benar-benar mereka alami dan tak tahu seberapa besar dampak dari pertanyaan kapan itu.

Bisa berdampak pada psikologi karena merasa tertekan, tidak bisa move on dari masa lalunya dan menjadi tidak bersyukur atas kehidupannya dan terus iri dengan kehidupan orang lain. Aku akan berbagi tips bagaimana menanggapi pertanyaan kapan.

1. Jangan Diambil Hati
Anggaplah bahwa itu hanya basa-basi dan tidak usah ditanggapi dengan terlalu serius, mungkin akan merasa jengkel saat ditanya terus menerus tapi ingat kebahagiaan diciptakan oleh dirimu sendiri jadi tak usah hiraukan ucapan orang lain.

2. Berikan Jawaban yang Tepat
Jika yang bertanya adalah temanmu kau bisa menjawab dengan bercanda seperti, “Memang ingin nyumbang apa kalau aku nikah? Tenda atau catering?” atau, “Jangan hanya bertanya bila tak bisa bantu carikan calon!” jawaban kedua sekalian kode  agar bantu carikan. Atau jawaban paling umum yaitu, “Doakan saja agar secepatnya,” jika yang bertanya adalah orang yang lebih tua.

3. Berbahagialah
Perbaiki kualitas diri dan berbahagialah atas apa yang sudah dijalani, karena saat orang lain melihat kau bahagia mereka akan berpikir bahwa kau baik-baik saja dengan kondisimu saat ini.

4. Jangan Seperti Mereka
Maksudku jangan melulu bertanya kapan, kalau bisa hindari pertanyaan itu. Karena itu bisa memancing kau akan ditanya balik. Atau kalau kau sudah ditanya jangan tanyakan balik juga. Kita harus berusaha tak membudayakan kebiasaan ini dan dimulai dari diri sendiri.

Jodoh akan datang pada waktu yang tepat bukan siapa cepat, begitu pula dengan hal-hal lain seperti anak, mantu, cucu, dll.

Ciptakan kebahagiaanmu sendiri.

Sekian dan terima kasih.



(vem/nda)