17 Tahun Menikah Belum Punya Rumah Sendiri, Cintaku Tetap untuk Keluargaku

Fimela diperbarui 24 Agu 2017, 13:00 WIB

Kisah sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan ini memberi kita pelajaran yang berharga. Soal bersabar dan fokus untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada, meski orang-orang sekitar selalu nyinyir.

***

"Kapan punya rumah?" Pertanyaan itu yang selalu ditanyakan kakakku setiap kali pulang kampung ataupun lewat telepon. Sebenarnya aku sangat mengerti  kenapa kakakku akhir-akhir ini lebih sering bawel menanyakan hal itu. Tujuh belas tahun berumah tangga bukan waktu sebentar dan tradisi di kampungku setiap anak yang telah menikah akan “medang lawang dewe”. Artinya mandiri atau tinggal di rumah sendiri. Entah warisan ataupun hasil kerja sendiri.

Terakhir menelepon kembali mengulas soal rumah, dengan sedikit berapi-api dia berkata, "Masak merantau puluhan tahun tak bisa beli rumah. Banyak orang pada ngomongin masak kalah sama si Agus kerja bangunan aja bisa bangun rumah tembok yang bagus. Si Yanto juga punya rumah punya motor Ninja baru. Ari belum nikah aja punya rumah dan mobil sedan. Suaminya Putri tiap minggu kirim uang sejuta buat istrinya. Suamimu suruh cari kerja yang lain. Masak Jakarta begitu luasnya nggak ada lowongan kerja. Sekolah lulusan tinggi kok kalah sama lulusan SD. Bertahun-tahun masih ngontrak terus."

“Iya, entar aku omongin sama Mas Adam,“ jawabku singkat.

Bukan aku nggak mau punya rumah dan bukan pula aku tidak mengerti kekhawatiran dan kegelisahan mbakku soal nasib masa depanku. Beberapa kali dia menyarankanku untuk pulang kampung saja, tapi aku tak ingin menyusahkannya. Dalam kondisi keuangan yang sedang minim begini pindah ke kampung bukan pilihan tepat. Anakku dua-duanya masih sekolah, masuk SMK paling tidak harus sedia uang Rp10 juta, belum yang SD, belum lagi untuk mengurus surat-surat pindah dan administrasi. Untuk memindahkan perabotan juga biaya. Aku skip opsi itu.

Memang  aku belum punya rumah, dan aku baik-baik saja tinggal di kontrakan meskipun penghasilanya tidak besar tapi di sini suamiku mencari nafkah. Jalan hidup orang tidak ada yang tahu, sebelum ini banyak rencana telah aku susun.

Takdir Allah SWT berkata lain di saat usaha suamiku sedang jaya-jayanya, cobaan datang. Ibu mertua sakit dan suamiku adalah anak satu-satunya. Praktis semua biaya kami yang tanggung. Karena selama ini ibu mertuaku adalah tulang punggung keluarga dengan membuka warung makan di depan rumah dan bapak mertua tidak bekerja. Besarnya biaya pengobatan kanker ibu perlahan-lahan menggerogoti keuanganku. Tabungan habis, mobil terjual, usaha bangkrut karena sering tutup untuk mengurus ibu di kampung.  

Meskipun segala usaha telah di kerahkan tapi Allah lebih sayang pada ibu. Sepeninggal ibu baru terkuak kalo ibu meninggalkan banyak hutang  sekitar Rp15 jutaan. Dengan susah payah kami lunasi dengan mencicil bertahap hingga lunas. Sejak itu hingga sekarang kami belum mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi. Berbagai usaha telah dicoba tapi belum menemui kesuksesan.

Tak lelah selalu berdoa dan berusaha untuk ke depan semoga suamiku mendapatkan pekerjaan atau usaha yang mapan, baik, dan halal. Tiap kali ketemu teman yang menanyakan apakah sudah punya rumah sendiri. Selalu kami jawab dengan senyum, “Masih kontraktor." Toh, hidup ini kami yang jalani. Tak ada masalah kalau tidak sama dengan orang lain. Rezeki itu Allah yang atur. Tetap semangat dan terus berusaha untuk memperbaiki nasib. Abaikan orang yang suka nyiyir, toh mereka tidak tahu apa yang telah kita lalui.

(vem/nda)