Aida Juga Tak Tahu, Sejak Kapan ''Telat Menikah'' Dianggap Dosa Besar?

Fimela diperbarui 21 Agu 2017, 13:00 WIB

Kisah yang ditulis oleh salah satu sahabat Vemale untuk mengikuti Lomba Stop Tanya Kapan ini sangat menyentuh hati. Buat yang lagi galau soal belum juga ketemu jodoh, tulisan ini wajib banget dibaca.

***

“Kapan nikah?”

Kalimat tersebut sudah menjadi teman Aida tiga tahun belakangan. Teman yang begitu setia hingga enggan pergi menjauh. Barangkali telah jatuh cinta!

Di tempat kerja, reunian sekolah, acara keluarga, apalagi kala lebaran datang, dan di manapun Aida menapakkan kaki, selalu saja pertanyaan itu menari, menjadi aksesoris dalam setiap langkah yang ditapakinya. Bahkan, belakangan Aida merasa, ketika cicak di dinding kamar berbunyi, barangkali juga menanyakan hal yang sama. Oh, hanya Allah dan Nabi Sulaiman lah yang tahu.

Semakin ke sini, kalimat tersebut semakin sering terdengar. Mengalahkan jadwal makan tiga kali sehari. Apalagi, setelah didapati satu per satu teman sekolahnya melepas masa lajang. Bahkan, si Sachi—gadis sebelah rumah yang usia lebih muda darinya sebelas tahun—sudah beranak dua.

Tiga puluh tiga memang bukan angka lucu bagi seorang wanita yang belum menikah. Tapi, sungguh, Aida tak pernah sekalipun menolak untuk menjemput jodoh. Namun ketika Allah punya rencana lain, dia bisa apa?

Beberapa kali ia dijodohkan, bertemu banyak pria, sebanyak itu pula kegagalan datang. Terakhir—dua minggu yang lalu—kala perkenalan dengan ‘bakal suami’ menginjak dua bulan, Aida tak putus-putusnya berdoa agar Allah segera memberi petunjuk. Sayang, keesokan harinya, serta-merta lelaki yang dikenalkan dengannya berubah menjadi magnet dengan kutub yang sama. Menjauh.

“Pacaran dulu saja, Da. Teman-temanmu juga melakukan hal yang sama untuk mendapatkan jodoh,” sang ibu mengatakan kalimat tersebut tanpa hambatan, “Ibu malu bertemu tetangga!”

Aida juga tak tahu, sejak kapan ‘telat menikah’ menjadi dosa besar, bak penyakit menular yang harus dijauhi.

Kali ini, bukan jodoh menjadi persoalan yang mengganggu perasaan Aida. Sesuatu tak kasat mata menusuk di relung hati, menyadari pola pikir keluarganya yang mulai ‘menghalalkan’ segara cara untuk menjemput jodoh.

Dia yang terlalu kuno, atau zaman memang sudah sukses menyeret seseorang untuk mengikuti apa yang sedang tren? Aida tak mengerti. Yang ia tahu, bangkai busuk pun bisa dikerubungi lalat. Tidak semua hal baik diigandrungi. Lalu, bersalahkah dia?

“Aida bukan tak mau pacaran, Ibu, tetapi tidak akan pacaran!” tegas, namun dengan nada yang rendah gadis berjilbab cokelat itu mengatakannya.

“Dan kamu akan menjadi perawan tua!”

Oh Tuhan, bukankah ucapan adalah doa? Ditambah keluar dari mulut seorang ibu, hati Aida sesak, seperti ratusan ton batu menghimpit jalan pernapasannya.

“Jodoh, usia, rezeki di tangan Tuhan, Bu.”

“Teguh menikah dengan wanita lain karena kau menolak diajak pacaran!”

“Qodarullah, Ibu.”

“Sudahlah. Malas bicara dengan anak yang tidak ingin mendengar nasihat orangtuanya.” Sang ibu pergi, meninggalkan tontonan sinetron kegemarannya.

Aida menarik napas tipis. Ingatannya melayang pada senja minggu ke tiga di bulan desember tujuh tahun silam. Kala itu, sang ayah yang belum menghadap Allah, tersenyum menatapnya, duduk bersila dengan kopi hitam tanpa gula sebagai minuman kesukaan. Dari teras rumah, warna jingga kemerahan tampak perkasa menggantung di langit, menambah nilai menenangkan.

“Katakanlah, Ayah, kado apa yang ingin ayah dapatkan dariku?” tanya Aida bersemangat.

“Ayah tak ingin apapun, Nak,” Aida tahu ayahnya akan mengatakan hal yang sama. Hapal di luar kepala, berserta titik dan komanya. Setelah kalimat penolakan tersebut, ayahnya akan bercerita, bahwa hari lahirnya hanya dikarang oleh nenek Aida saja. Orang yang hidup di zaman: subuh pergi ke ladang dan malam menganyam tikar, tidak punya waktu mencatat kapan tepatnya sang buah hati dilahirkan. Pun, setiap manusia punya hari lahir, lalu apa yang perlu diistimewakan?

Aida manyun, ketika dilihatnya sang ayah hendak membuka mulut kembali untuk menceritakan hal yang sama, buru-buru Aida memotong. “Kali ini saja, Ayah. Katakan sesuatu yang Ayah inginkan?” mata Aida mengerjap pelan.

Alis sang ayah terangkat, “Sungguh? Putri ayah akan mengabulkannya?”

“Janji!” Aida mengatakannya dengan mantap. Dia sudah bekerja, dan tabungannya pasti cukup membelikan barang kesukaan ayah.

“Jaga kehormatanmu, Nak. Jaga kehormatanmu untuk Ayah. Karena dengan mampu menjaga hal tersebut, kau kelak juga akan mendapatkan penghormatan oleh orang lain, terutama di hadapan suamimu kelak. Karena perempuan selalu dilihat dari masa lalunya.”

Setelah mendengar ‘kado’ permintaan ayah, ragu-ragu Aida mengangguk. Namun jauh di dasar hatinya, anggukan itu mantap. Sampai kapan pun, ia akan memegang janji itu, bukan lagi sebagai janji untuk ayah, tetapi terhadap dirinya sendiri, hingga dia juga bisa bertemu laki-laki yang juga menjaga kehormatan untuk sang istri, untuk dirinya.

(vem/nda)