Kisah salah satu sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Stop Tanya Kapan ini benar-benar bikin terharu. Ada harapan dan keinginan yang ingin segera diwujudkannya, demi ayah tercinta yang usianya sudah semakin senja.
***
Begitu menyayat hati pertanyaan yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya ini keluar dari bibir ayahku saat beliau pulang dari kerja sembari mengurut kakinya. “Nak, kapan ayah bisa istirahat?” darahku berdesir, aku merasakan jantungku memompa lebih cepat. Namun, aku hanya diam dengan pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang akan bisa dijawab dengan mudah. Tapi bagiku yang baru menempuh semester awal perkuliahan, ini adalah cambukan yang sangat pedih.
Aku semakin merasa bertanggungjawab atas kerja keras ayahku selama ini. Meski tidak banyak, namun aku akan terus berusaha mencetak beberapa prestasi yang membuat ayah bangga, layaknya menyicil hutang.
Kehidupan ini benar-benar sebuah roda besar, kadang kita berada di atas dan kadang juga sebaliknya. Dari awal menikah, kedua orang tuaku bukan lah insan yang berasal dari keluarga yang mampu. Walaupun sangat ingin, ayah bahkan tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena perihal biaya. Karena ekonomi keluarganya lah, ayah harus bekerja sebagai buruh bangunan sejak beliau berumur 18 tahun.
Namun siapa yang sangka Tuhan memiliki rencana lain, karena kegigihannya, beliau mendapatkan banyak tawaran pekerjaan proyek-proyek besar dengan bayaran yang bisa dibilang sangat lumayan pada masa itu. Hingga akhirnya ayah memutuskan untuk menikahi ibuku di usianya yang sudah menginjak 24 tahun.
Usia 48 tahun bukanlah usia yang bisa dibilang muda untuk memiliki seorang keturunan. Ya, jarak lahirku dan kakak keduaku adalah 15 tahun. Meskipun masih berada di puncak roda kehidupan, kedua kakak perempuanku juga tidak memiliki peruntungan nasib yang baik sehingga mereka hanya mampu menempuh pendidikannya hingga sekolah menengah atas.
Sekarang aku sudah berumur 18 tahun dan sedang menempuh kuliah di salah satu universitas negeri di Bengkulu dan aku juga sudah sangat mengerti tentang roda kehidupan keluargaku yang mulai berputar ke arah bawah seiring umur ayah yang semakin berjumlah banyak, 67 tahun. Bukan usia produktif lagi bagi seseorang untuk mengangkat batu dan mengoles semen, ini adalah usia di mana seseorang seharusnya menikmati hasil jerih payahnya selama ini. Namun, seorang ayah tetaplah ingin memberikan yang terbaik untuk putri-putrinya, semua hasil kerja keras di masa puncaknya hanya didedikasikan kepada kedua putrinya agar berhasil dalam pendidikan, tapi takdir berkata lain.
Sekarang usianya tidak muda lagi, fisiknya tidak sekuat dulu, mata dan pendengarannya tidak setajam dulu, namun beliau masih gigih dengan harapan terakhirnya, aku.
Senyum renta yang terukir atas beberapa prestasi yang aku bawa pulang semakin menjadi cambukan bagi diriku untuk secepatnya ingin menyisihkan uang gaji untuk mereka. Ada satu hal yang ingin aku sampaikan pada ayahku namun tak pernah terucap, “Ayah, semangatlah bekerja sebentar lagi. Aku juga akan berusaha secepatnya untuk membahagiakan hari tua ayah dan ibu.”
- Sejak Anak Perempuan Itu Merebutmu, Aku Merindukanmu, Ayah..
- Saya, Bapak dan Motor Butut Kesayangan Kami Berdua
- Meski Bukan Gadis Kuat, Ku Tak Mau Terlihat Cengeng di Depan Ayah
- Surat Cinta Untuk Ayah: Ia Tak Pernah Kurindu, Tak Juga Kubenci
- Ayah, Semoga Kita Bisa Segera Berkumpul Bersama Lagi di Rumah
(vem/nda)