Sama-Sama Bekerja, Kenapa Perempuan Tidak Dapat Hak Sama Dengan Laki-Laki?

Fimela diperbarui 03 Agu 2017, 12:01 WIB

Ladies, apakah kamu saat ini sedang terikat bekerja di sebuah perusahaan? Jika ya, apakah kamu sudah mengetahui hak-hakmu sebagai seorang pekerja yang seharusnya dipenuhi oleh perusahaan tempatmu bekerja? Kalau belum, kamu wajib tahu lho!

Banyak perusahaan yang kurang, bahkan tidak mensosialisasikan hak-hak yang seharusnya diterimakan oleh para pekerja perempuannya. Padahal hak-hak ini ada dan melekat dengan kodrat, harkat dan martabat para pekerja perempuan. Seperti misalnya hak menyusui, hak cuti haid hingga hak mendapatkan makan-minum bergizi dan perlindungan keamanan bagi pekerja perempuan dengan jam kerja larut malam.

Gender gap pay dan asumsi pekerja perempuan tidak berani menuntut

Seringkali soal hak pekerja perempuan ini menjadi permasalahan yang mengganjal di hati. Hal ini sejalan dengan gender gapyang dialami oleh para pekerja perempuan dibandingkan laki-laki. Pada level pekerja seperti buruh tani, tenaga perempuan dihargai lebih rendah ketimbang laki-laki. Hal ini diungkapkan oleh M. Imdadun Rahmat, Komisioner Komnas HAM saat diwawancarai oleh redaksi Vemale, Kamis (3/8). "Hak-hak pekerja perempuan untuk imbalan yang sama di Indonesia masih menjadi masalah. Terutama soal pekerja perempuan digaji lebih rendah, padahal memiliki tanggung jawab sama. Hal ini terjadi di semua jenis pekerjaan kantoran, pabrikan maupun pekerjaan tradisional." Walau adanya perkembangan baik untuk penyerataan upah pekerja level menengah ke atas, tetapi pada sektor pekerjaan yang lebih rendah dan kasar, pola umumnya masih memberikan imbalan yang lebih rendah terhadap perempuan.

Menurut M. Imdadun, adanya gender gap payini dikarenakan asumsi yang keliru soal produktivitas perempuan yang dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Padahal kenyataan di lapangan, produktivitas perempuan dan laki-laki sama. Selain itu, adanya anggapan para pekerja perempuan menurut saja dengan nominal gaji dan hak yang diterimanya, walau tak sesuai. "Asumsi keliru bahwa perempuan nurut untuk digaji rendah, tidak protes, tidak mengajukan tuntutan. Padahal sekarang ini banyak perempuan yang menyerukan hak-haknya melalui aktivis."

Hukum sudah ada, tapi ...

Jika kita menilik aturan perundang-undangan dan hukum tenaga kerja yang berlaku di Indonesia, cukup banyak yang memaparkan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki. Namun, masalahnya adalah pada implementasi di lapangan.

"Karena aspek penegakan tidak jalan, tidak ada pengawasan implementasi. Kalau ada penyelewengan, tidak dilakukan mekanisme punishment," ujar M. Imdadun. Lebih lanjut, M. Imdadun menyatakan bahwa Komnas HAM telah mendorong aparatur pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang mentok. "Komnas HAM sudah melakukan teguran-teguran terhadap aparatur negara yang tidak tegas mengawasi dan memberikan tekanan-tekanan, dan juga punishment pada perusahaan nakal. Juga seringkali proses dengan negosiasi dan mediasi pengembalian hak-hak yang tidak dipenuhi perusahaan dengan pekerjaannya. Dengan mekanisme ini, (Komnas HAM) banyak menangani kasus-kasus sengketa perusahaan dengan karyawan."

Perjuangan pekerja perempuan Islandia hingga 50 tahun

Soal gender gapdalam dunia kerja juga dialami oleh negara selain Indonesia. Salah satu yang paling besar adalah yang dilakukan oleh para pekerja wanita Islandia di tanggal 24 Oktober 1975.

Kala itu, lebih dari 90 persen perempuan di Islandia sepakat turun ke jalan, berhenti dari segala aktivitas hariannya hari itu, untuk menyuarakan keadilan. Terutama masalah kesetaraan upah/gaji dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Di bulan Oktober 2016 yang lalu, ribuan pekerja perempuan Islandia sepakat meninggalkan pekerjaan mereka pada jam 14.38 (atau 2.38 PM) untuk memprotes tentang upah dan hak pekerja perempuan yang dinilai lebih kecil daripada laki-laki.

Selama 50 tahun lebih, para pekerja perempuan Islandia tidak mendapat upah yang sesuai, sekalipun mereka berada pada posisi dan punya tanggung jawab pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Mereka dikontrak dan 'dinilai' bukan dari tingkat pendidikan atau pekerjaan yang mereka lakukan, tetapi dari perbedaan gender.

Dan perjuangan mereka masih akan terus berlanjut ...

Bagaimana dengan Indonesia?

Berdasarkan data yang dilansir dari laporan World Economy Forum, Indonesia menempati rangking ke 88 dari 144 negara, dengan skor 0.682 untuk ketidaksetaraan gender dalam hal ekonomi. Sementara itu, jumlah pekerja perempuan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun hingga lebih dari 50 persen. Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dalam hal pemeliharaan serta perlindungan hak para pekerja, khususnya pekerja perempuan.

Untuk para pekerja kelas menengah ke atas, kebanyakan tidak mengalami perbedaan dalam hal gaji yang diterima. Namun, pada jaminan sosial yang diterima berbeda. Misalnya, istri dan anak-anak pekerja laki-laki ditanggung biaya kesehatannya oleh perusahaan. Tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi pekerja perempuan. Tentunya hal ini memberatkan bagi pekerja perempuan tunggal (single mom) padahal keduanya sama-sama mengabdi pada perusahaan dan punya tanggung jawab yang sama.

Sudah selayaknya setiap pekerja dinilai dari apa yang mereka kerjakan, bukan sekedar dilihat dari jenis kelaminnya saja. Bagaimana pendapatmu soal hal ini, Ladies?

(vem/wnd/wnd/z)