Kisahku Menjalani Long-Distance Marriage, Terpisah Jarak Justru Menguatkan

Fimela diperbarui 18 Jul 2017, 13:00 WIB

Hai Redaksi Vemale,

Beberapa hari lalu tulisan saya tentang momen bangga menjadi ibu dimuat oleh Vemale melalui Facebook. Dan saya sangat berterimakasih pada redaksi Vemale. Bahkan saya sampai terharu ketika tulisan itu sudah di-sharelebih dari 6.6K.

Sekarang saya ingin menulis mengenai LDM (Long Distance Marriage), karena saya juga mengalaminya. Kebetulan saya orang Jawa, dan saya melihat sebuah stiker ditempel di kaca rumah Bapak saya bertuliskan, "Kawruh uwuh dadi penyuluh." Itu kalimat Bapak saya yang diabadikan dalam bentuk stiker dan ditempel di banyak tempat di rumah beliau.

Saat saya tanya artinya, beliau menjelaskan bahwa tulisan itu berarti pengetahuan yang tak seberapa (sebuah kata kiasan untuk kenggambarkan bahwa pengetahuan itu tak lebih berharga dari sampah atau uwuh dalam bahasa Jawa) tapi mungkin saja bisa jadi pelita (penyuluh) yang menerangi. Dari situ saya berpikir mengapa tidak membagi cerita saya pada orang lain melalui Vemale, karena semua artikel Vemale itu menginspirasi.

LDM atau Long Distance Marriage, menjalani sebuah pernikahan tapi harus berpisah jarak yang jauh dari pasangan. Saya rasa banyak pasangan suami istri yang menjalani hubungan semacam ini. Hubungan ini memang bukan hubungan ideal sebagai pasangan suami istri. Namun, karena banyak kondisi hal ini mungkin saja terjadi. Bukan hanya itu saya, jutaan pasangan di luar sana juga mengalaminya.

Apa alasan memilih menjalani hubungan semacam ini?

LDM (Long Distance Marriage) mungkin saja terjadi karena banyak hal, seperti, tuntutan pekerjaan. Bisa juga karena tuntutan pendidikan, tapi bisa juga ini adalah sebuah pilihan yang dilakukan pasangan karena berbagai latar belakang. Bahkan saya pernah mendengar sebuah kisah yang cukup menarik.

Kisah ini tentang seorang suami yang rela mengurus putra-putri mereka sementara sang istri sedang belajar untuk menjadi seorang chef karena sang istri hobi memasak. Bukan hanya tinggal terpisah berbeda kota, mereka bahkan rela tinggal berjauhan, berbeda benua, demi mimpi sang istri. Dan itu bentuk cinta dan dukungan terbesar suami pada istrinya untuk mengaktualisasikam diri. That's great, what we call it love.

Sementara saya dan suami memilih tinggal terpisah demi si buah hati. Kedengaranya janggal, tapi ya itulah kami, lama sekali kami berdiskusi sampai akhirnya kami memutuskan untuk melakukannya.

Suami saya memiliki impian bahwa dia akan hidup bersama anak dan istrinya di sebuah kota yang tenang, jauh dari kemacetan dan hiruk pikuk, suasana di mana udara pagi masih segar. Tidak terburu-buru, semua santai, dan kami memilih Jogja. Kota itu tempat asal saya. Saya lahir dan besar di sebuah desa di pinggiran Jogja, tepatnya kabupaten Gunungkidul. Sementara suami saya lahir di Medan, besar di Bengkulu, tapi suami saya pernah mencicipi indahnya Jogja selama dia kuliah. Bahkan setelah lulus kuliah juga sempat tinggal dan bekerja di Jogja. Kami membangun rumah sederhana di Jogja, dan saya pindah terlebih dahulu ke Jogja bersama putri kecil kami. Sementara karena tuntutan pekerjaan suami saya masih harus tinggal di Jakarta.

Untuk menjalani sebuah hubungan semacam ini dibutuhkan komitmen yang sangat kuat. Selain itu yang tidak kalah penting adalah kepercayaan, keterbukaan, dan komunikasi yang baik satu sama lain. Ketiga pilar ini yang menyangga kelanggengan sebuah hubungan apalagi ketika jarak memisahkan.

Yuk, kita bahas yang pertama!
Sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, bohong jika saya tidak punya pikiran macam-macam mengingat suami saya berada jauh dari saya. Dia punya lingkungan kerja, tentu banyak rekan kerja yang modis, menarik, dan cerdas. Jika saya mengikuti kekhawatiran saya, saya mungkin akan lelah menginterogasi suami saya setiap hari mengenai setiap detail kejadian sepanjang hari. Dan suami saya juga akan menjadi sangat frustasi ketika merasa tidak dipercaya. Akhirnya saya memilih untuk percaya pada suami saya dan menjadi damai. Saya merasa damai menjalani hari-hari merawat si kecil. Sesekali interogasi kecil perlu juga dilakukan agar semua tetap on track, hanya memastikan saja.

Yang kedua apa?
Komitmen, ya kami selalu memanfaatkan momen untuk saling mengingatkan masa-masa sulit kami berdua. Bagaimana kami bersama-sama merangkak dari nol, dan semua perjuangan yang kami lalui sampai saat ini. Pencapaian yang kami dapat tidak ada yang cuma-cuma, dan itu membuat kami mengingat komitmen kami, dan semakin hari membuat komitmen kami berdua menjadi lebih kuat.

Jauhnya jarak yang memisahkan kami bukan alasan untuk bisa lebih dekat. Justru jarak itu memupuk rindu kami, dan membuat pelukan kami semakin erat ketika kami berjumpa untuk beberapa saat. Tanpa komitmen yang kuat hubungan semacam ini seperti rumah yang didirikan di atas pasir, diterpa angin sedikit saja akan roboh. Namun jika komitmen bersama pasangan masing-masing cukup kuat, itu artinya rumah tangga sudah dibangun di atas pondasi yang baik.

Last but not least
Komunikasi, ya tidak jarang kami bertengkar lewat pesan singkat atau telepon. Tapi kami tetap berkomunikasi meski mungkin sulit, terutama soal perkembangan si kecil. Hal itu kami lakukan untuk menjaga bara api asmara kami. Karena menurut kami cinta yang dewasa itu bukan cinta yang berkobar-kobar, karena cinta yang berkobar akan mudah membakar dan habis begitu saja.

Kami memegang filosofi "bahwa cinta itu haruslah seperti arang di dalam tungku" dia tidak berkobar, tapi tetap menyala. Dia tidak statis, dia dinamis, dia konsisten memberikan kehangatan. Itulah cinta versi kami, yang kami pelihara hingga saat ini. Dan komunikasi ibarat "kipas bambu" yang akan membuat bara api tetap menyala. Cara kami berkomunikasi juga seperti ketika kami mengipas, tidak perlu menggebu-gebu, tidak juga penuh emosi, tapi jangan terlalu lemah,atau terlalu jarang juga, dengan secukupnya dan hanya perlu konsisten. Seperti ketika mengipas, tidak perlu sekuat tenaga, karena kita akan mudah lelah, kipaslah ringan, pastikan anginnya menyentuh bara, dan nyalanya menjadi tetap, dan hangatnya terjaga.

Ya tiga hal itu kami jaga dan kami pelihara.

Mengapa saya ingin sekali share tentang hal ini? Karena banyak sahabat saya juga mengalaminya, memang tak jarang ada yang gagal, tapi banyak juga yang berhasil. Banyak juga yang menjustifikasi bahwa hubungan semacam ini seperti sebuah omong kosong yang pasti berakhir dengan kegagalan.

Saya dan suami sudah membuktikan, hubungan semacam ini memang berat, tapi bisa juga berhasil kok. Bahkan saya dan suami sejak pacaran sudah menjalani LDR. Setelah menikah saya sempat menikmati indahnya hidup bersama suami saya. Bagaimana saya menikmati melihatnya tertidur pulas, bagaimana saya melihatnya makan dengan lahap hasil karya (masakan) saya. Tapi tidak lama, akhirnya kami sekarang harus terpisah lagi. Tapi ini adalah kesepakatan kami demi masa depan yang kami impikan. Semoga kisah kami ini bisa menjadi penyemangat teman-teman di luar sana yang sedang mengalami hal serupa.

Dari jutaan yang mencoba mungkin tiga perempatnya gagal, tapi jangan lupa, ada seperempat dari mereka yang menikmati proses dan akhirnya menikmati buah manis keberhasilan hubungan ini. Tidak ada LDR atau LDM yang abadi, mereka hanya memiliki waktu terbaik untuk bersatu, nikmatilah sampai saat itu tiba.

(vem/nda)