Aku Mencintaimu, Maka Berjuanglah Bersamaku

Fimela diperbarui 13 Jul 2017, 16:10 WIB

Aku memang bukanlah wanita yang sempurna, bukan berasal dari keluarga berada, wajahku juga tak secantik artis Korea. Tadinya, aku tak pernah memikirkan perkara cinta. Buat perempuan sepertiku, perkara cinta hanya buang-buang waktu saja. Lebih baik, aku memikirkan karier dan kesuksesan di masa depan. Hingga lulus sarjana, aku tak pernah ambil pusing untuk urusan asmara. Toh, jodoh dan mati sudah ada yang mengatur, kenapa manusia harus repot? Yang aku pikirkan hanya jika nanti aku berhasil, maka keluargaku pun akan bahagia. Itu saja.

Sejak masih SMA, aku sudah terbiasa bekerja. Hingga saat masuk bangku kuliah, karierku sudah mulai bagus, meski masih bekerja freelance. Aku pun mampu membiayai kuliah hingga wisuda. Aku memang bukan berasal dari keluarga yang mampu, tapi aku tak mau orang memandangku sebelah mata. Semua kesulitan yang aku alami murni pilihanku, bukan paksaan dari orang tuaku. Semua itu  kulakukan untuk kesejahteraan keluarga ku kelak.

Kau pun hadir saat perjuangan ku mulai terasa ringan. Terima kasih karena memilih wanita sepertiku, menerima semua kekurangan dalam diriku, yang tak mungkin bisa kusebutkan satu per satu. Aku sangat menghargai ketulusanmu, cintamu, dan pengorbananmu. Setiap aku membutuhkanmu, kau pun selalu ada di sampingku.  

Namun, terkadang hatiku terluka, saat aku mengingat masa laluku dan masa lalumu. Kuhabiskan masa mudaku untuk berjuang demi pendidikan dan keluargaku. Kemudian, aku menangis saat harus menerima kenyataan bahwa masa lalumu jauh berbeda dengan masa laluku. Kau bukan orang baik, bahkan sangat buruk. Masa muda yang harusnya kau habiskan untuk menuntut ilmu dengan baik di dalam kelas, justru kau habiskan untuk memacari wanita-wanita cantik, berkelahi, tawuran, bersenang-senang, tanpa memikirkan masa depan. Dan, tentu saja kau tak pernah memikirkan betapa menderitanya jodohmu nanti jika mengetahui keburukan-keburukan yang pernah ada di dalam dirimu. Mungkin juga jodohmu itu aku.

Dulu, bahkan hingga sekarang, aku sangat membenci remaja nakal seperti itu. Tak pernah terlintas sedikit pun di dalam benakku bahwa aku akan berhubungan dengan orang seperti itu. Untuk membayangkannya saja aku sudah muak. Nyatanya, masa lalumu memang seperti itu. Dan, kau berani masuk ke dalam hidup wanita yang membencimu. Seandainya kau datang lebih awal, mungkin aku takkan pernah mau berhubungan denganmu, bahkan untuk sekadar “berteman baik”.

Aku pun protes kepada Tuhan atas ketidakadilan yang harus kujalani ini. “Tuhan, Kau bilang akan memberiku jodoh yang seperti diriku, cerminanku. Kurasa aku tak pernah macam-macam. Aku begitu patuh kepada kedua orang tuaku, aku tak pernah mengobral cinta kepada pria, bahkan aku selalu menjauhi pria-pria yang berusaha mendekatiku karena aku tak mau pacaran. Waktuku kuhabiskan untuk belajar dan bekerja keras. Kenapa Engkau justru mengirim lelaki yang sangat jauh dari cerminan diriku. Aku ini wanita mandiri, punya karier bagus, punya pendidikan tinggi, wajahku juga tidak buruk. Begitu banyak pria baik-baik yang sudah kutolak, lalu kenapa justru dia? Harusnya aku bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari dia kan Tuhan?”

Lalu, saat berdiri di depan cermin, aku melihat bayangan dirimu. Tak terlihat kebohongan di matamu. Pandanganmu seakan-akan berkata, “Terima kasih, sudah berjuang bersamaku. Aku tahu kau sangat membenci masa laluku. Jadi, kumohon maafkan masa laluku. Percayalah, aku sangat menyesalinya. Beri aku kesempatan untuk berubah. Tinggallah bersama masa depanku. Tolong, tetaplah bersamaku, seberat apa pun itu.”

Hatiku serasa dihantam petir. Namun, kuputuskan untuk berjuang lagi. Jika dulu aku berjuang seorang diri, sekarang bersamamu. Kukorbankan sedikit mimpiku untuk impian kita. Aku tahu cermin tak pernah bohong, sama sepertimu yang tulus mencintaiku. Aku tahu kau sangat ingin mengubah hidupmu yang kelabu menjadi terang bersamaku. Rasa sakit dan penyesalan terhadap masa lalumu tentu jauh lebih berat dari kekecewaan yang pernah kutuduhkan pada Tuhan. Betapa jahatnya aku, jika aku meninggalkanmu hanya untuk kesenanganku sendiri. Biarlah masa lalumu menjadi cerita yang tak perlu ditulis dalam ingatan.

Tuhan, maafkan diriku yang pernah menganggap-Mu tak adil. Terima kasih telah menyadarkanku dari kesombongan, keangkuhan, dan keegoisan yang bersemayam dalam diriku. Terima kasih telah memberiku kesempatan mencintai dan dicintai. Terima kasih telah memberiku kesempatan untuk berjuang bersama orang yang kusayangi. Maafkan diriku yang selalu mengeluh kepada-Mu. Aku tahu Engkau memiliki rencana luar biasa. Andai dia tidak memilihku, mungkin saat ini aku sudah terluka karena lelaki sempurna lainnya.

Buatmu yang sedang bersamaku, kau mungkin bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih sempurna. Namun, tak banyak yang bersedia mengenyahkan ego, impian, dan kesenangannya untuk sekadar melangkah dari muara sungai ke puncak gunung. Belum lagi, jika jalan yang dilalui adalah jalan terjal dan penuh kerikil tajam.

Kau tahu, Tuhan memberi lintasan yang bernama “kita”? Dengan begitu untuk mencapai puncak tertinggi, kau dan aku harus melaluinya berdua. Aku akan menjadi kakimu jika kau lelah, aku akan menjadi matamu jika kau tak mampu melihat, aku akan menjadi telingamu saat kau tak mampu mendengar. Kuberikan pundakku sebagai tempatmu bersandar. Kuberikan hatiku sebagai tempatmu berteduh. Namun, jika kau berbelok atau menyerah di tengah perjalanan ini, aku tak berjanji akan menemanimu berjalan lagi.

(vem/nda)