Kebencian Pada Masa Lalu Terhapus Dengan Kehadiran Sahabat Baru

Fimela diperbarui 30 Jun 2017, 14:09 WIB

Kebencian pada masa lalu kadang menjadi ganjalan untuk masa depan. Terkadang, kehadiran sahabat yang tulus bisa mendamaikan hati yang telah lama terluka. Kisah ini dikirim oleh R. D. sebagai bagian dari Lomba Menulis Kisah Ramadan 2017.

***

Aku akan selalu ingat dengan kejadian itu. Seorang siswi perempuan dengan lutut lecet menangis di dekat tempat pembakaran sampah. Tepat berada di belakang sekolah dasar. Sementara banyak siswa lainnya sedang bermain dengan ceria dan juga tak menghiraukan anak perempuan yang sedang menangis itu. Tak lama kemudian, seorang siswi perempuan yang juga sekelas dengannya, berambut keriting dan berkulit putih, ikut duduk di samping kemudian ikut menangis bersama. Mereka berdua memiliki masalah yang berbeda, tetapi sama-sama merasakan apa itu pengucilan. Salah satu gadis yang menangis itu adalah aku.

Siswa berprestasi dan pintar, itulah yang disematkan padaku sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Aku memang belajar keras agar selalu meraih prestasi serta mendapat beasiswa karena orang tuaku tidak berasal dari kalangan berada. Aku ingin membuat ayah dan ibuku bangga. Bagiku, belajar bukanlah kewajiban melainkan kegemaran. Sejak duduk di kelas 1 SD, aku hampir selalu menjadi juara pertama, hanya di kelas 5 saja prestasiku sempat merosot ke peringkat kedua. Selain belajar, aku juga sangat senang mendorong teman-teman sekelas untuk bisa belajar bersama. Bahkan beberapa teman dekat juga sering kuberi contekan. Aku tahu itu tak baik, tapi mereka adalah teman baikku dan aku tak tega jika mereka mengalami kesulitan.

Menjadi murid berprestasi nyatanya tak selalu manis, pujian para guru di sekolah membuatku mengalami pengucilan. Jika aku ditendang, dipukuli atau dikerjai mungkin aku masih bisa melawan atau berteriak. Bullying yang kualami adalah dengan dianggap sebagai ‘hantu’. Tidak diajak bicara, tidak dianggap ada bahkan oleh teman sebangku. Mereka menuduhku sebagai anak emas guru yang tidak bisa diajak bekerjasama. Seolah lupa betapa banyak waktu yang kuberikan untuk mengajak belajar bersama dan juga banyaknya contekan di saat ujian. Parahnya lagi, satu gadis lain berambut keriting juga dikucilkan hanya karena ia anak yatim serta miskin.

Aku Balas Dendam Kepada Para Pem-bully Itu

Menginjak kelas enam, semua siswa sekolah dasar akan dihadapkan dengan ujian nasional. Di daerahku, lolos dan masuk ke sekolah negeri terutama yang menjadi sekolah terbaik di kabupaten adalah prestasi yang amat dibanggakan. Guru-guru memintaku untuk mengajari kawan-kawan sekelas, sekaligus aku diminta untuk memberi contekan secara sukarela. Hanya agar kami lulus dengan nilai baik dan juga diterima masuk sekolah negeri. Nama sekolah kami akan terangkat jika banyak lulusan yang masuk sekolah menengah pertama favorit.

Pernah ada satu kejadian di saat aku terjatuh di depan kelas sampai lutut berdarah, teman-teman sekelas malah mengejekku dan mengolok-olokku. Aku menahan tangis, lalu menumpahkan di halaman belakang sekolah bersama gadis yatim yang sekarang menjadi satu-satunya kawanku. Mengalami masa-masa penuh depresi, membuatku memilih untuk berubah menjadi tertutup. Di depan guru aku bersikap manis. Di depan kawan-kawan yang munafik itu, aku juga bersikap santai. Mereka mendadak bersikap baik hanya demi contekan yang nanti kuberikan. Tapi aku sudah punya rencana sendiri.

Di saat ujian, aku belajar keras. Kawanku yang yatim itu kuberi banyak contekan, sedangkan kawan-kawan yang suka membully itu kuberi jawaban yang salah. Iya, aku membohongi mereka. Tak ada satupun jawaban yang kuberikan itu sama dengan jawabanku. Bisa ditebak. Nilai mereka jeblok. Aku menjadi lulusan terbaik di sekolah, dan berhasil masuk ke sekolah menengah pertama favorit di kabupaten tanpa kesusahan. Kawanku yang yatim itu juga berhasil masuk ke sekolah terbaik di kecamatan. Sisanya banyak yang harus rela bersekolah di sekolah swasta pinggiran.

Luka Bertahun-tahun Dihapus Oleh Sahabat Baru

Aku sangat membenci masa laluku. Sejak itu, aku tak pernah percaya dengan sahabat. Di mataku, teman yang bersikap baik hanya untuk mengambil keuntungan, terutama karena aku dianggap cerdas. Di sisi lain, aku juga iri dengan teman-teman remaja yang bisa mempunyai teman dekat. Aku ingin punya teman menangis dan tertawa bersama. Selama masa-masa menyepi, aku berteman dengan buku serta menulis.

Akhirnya, Tuhan mempertemukanku dengan tiga orang sahabat baru di bangku SMU. Tiga perempuan beda karakter yang selalu mendampingiku di saat aku marah, sedih atau jatuh cinta. Kami sesekali bertengkar, namun trauma masa kecilku dihapus perlahan. Aku belajar untuk mulai memaafkan masa laluku. Dan beruntungnya, perlahan sahabat-sahabat baru pun bertambah hingga masa kerja. Tujuh orang baru yang walau jarang bertemu, namun siap menjadi pelindung dan tempat menampung ceritaku. Keluarga kedua yang mau mengajariku untuk berani membuka diri.

Rasa takut untuk mempercayai seseorang, perlahan kusingkirkan. Untuk menjalani hidup, terluka memang menjadi salah satu bagiannya. Aku harus berani dan ikhlas untuk memaafkan. Walau butuh waktu lama, perlahan hatiku lebih ikhlas sekarang. Untuk menjadi sahabat sejati, aku juga harus belajar menjadi sahabat yang baik untuk seseorang.

(vem/yel)